Thursday, April 16, 2015

Metode penelitian folklore

1. Apa yang dimaksud dengan kode etik penelitian folklore  jelaskan ..?
Meneliti   folklor  sungguh indah karena yang diteliti adalah hidup manusia yang indah pula. Liku-liku hidup penuh dengan tantangan pahit getir .hidup itu terungkap lewat folklore karena folklore adalah cermin dari manusia. Oleh karena itu,folklore sama halnya mengelami misteri indah manusia.bukankah  Bornouw (1982:241) juga menyatakan bahwa meneliti folklor akan sampai pada . “the enjoyment of life”. Artinya,sebuah kenikmatan hidup itu salah satunya ada dalam folklore. Oleh karena,dalam pandangan folklor “life can be beautiful”, Artinya hidup itu sendiri indah. Hidup adalah seni. Di antara seni adalah foklor. Jadi, mempelajari folklore juga menikmati hidup dan keindahan.
2. Jelaskan tentang penelitian folklore teradisi dan kolektipitas..?
Penelitian folklore memang perlu di dasari apa dan bagaimana folklore Finnegan (1992: 5-8) berpendapat bahwa dalam folklore memang ada istilah yang membuat peneliti bingung atau (disputed). Suatu saat peneliti akan bingung dengan istilah oral dan orality, tradisi, sastra lisan, verbal art, folk art dan masih banyak lagi. Oral artinya bersifat lisan, adapun folklore sering terkatergorikan orally. Folklore memiliki tradisi. Tradisi (Lisan) bercirikan :
A.    Verbal, berupa kata – kata
B.     Tanpa tulisan,
C.     Memiliki kolektif rakyat,
D.    Memiliki makna foundamental, ditransmisikan dari generasi ke generasi
Folklore amerika, Dundes (1965:3) mendefenisikan secara etimologis. Menurut dia folklore berasal dari kata folk dan lore. Dari kedua kata ittu berarti ada ketergantungan satu sama lain, sehingga membentuk makna folklore. Folk merujuk pada kelompok populasi, folk juga berarti kolektive. Kolektive tersebut juga vulgas in populo, yang sering kontras dengan istilah masyarakat. Masyarakat dimaknai sebagai kolektive yang memiliki peradaban ( civilization). Folk dipandang tidak beradab (uncivilized) atau tergolong liar (savage primitive society). Istilah semacam ini, sebenarnya tidak begitu relevan oleh karena itu di era sekrang folk telah berkembang kea rah beradab.
Dari pendapat _ pendapat diatas dapat di ketengahkan bahwa folklore sangat luat jangkauannya. Penelitian folklore pun amat terbuka meliputi segala hal tentang hidup manusia. Pengenalan kembali tradisi seni,etika,tingkahlaku dan berbagai hal kehidupan nenek moyang yang telah turun temurun merupakan wilayah garapan peneliti folklore yang lebih penting lagi penelitian folklore tentu akan menyangkut masalah – masalah kehidupan kolektif baik tradisional maupun modern.
3.Apa beda folklore anak remaja dan dewasa.?
A. Dunia remaja paling tidak tersentuh oleh peneliti folklore. Oleh karena, penggolongan folklore remaja belum banyak dilakukan kecuali itu kehadiran folklore mungkin juga lepas dari segmen – segmen umur manusia. Folklore tidak atau jarangyang di format untuk remaja, terlebih lagi, dunia remaja adalah umur yang gonjang- ganjing, umur ini banyak pilihan terutama ke rarah modernitas dan postmodernitas. Oleh sebab itu amat jarang remaja yang mendalami folklore remaja tergolong transisi . banyak inisiasi yang terkait dengan folklore yang sebenarnya namun para ahli folklore jarang yang mau berkonsentrasi pada masalah remaja. Akibatnya folklore remaja kurang berkembang. Kecuali itu, daya tolak remaja pada hal – hal yang bersifat tradisi telah berkembang mereka umumnya ingin hal – hal yang aneh. Begitu jika asumsi dasar folklore adalah bersifat btradisional. Padahal semestinya tidak demikian. Kearah yang inovatif juga tidak sedikit. Bahsa gaul remaja,sebenarnya menarik ditinjau dari askpek folklore.
B. Folklore dewasa, istilah folklore dewasa memang masih terdengar aneh. Bahkan, ada yang berpendapat, semua folklore out milik orang dewasa. Seluruh folklore dapat dibaca dari kacamta orang dewas. Hal ini tidak salah, sebab orang dewasa termasuk mahkluk kompleks. Mereka tentu mampu mengekpresikan apa saja sesuai dunianya. Dunia orang dewasa lain dengan pusaran anak dan remaja. Oleh karena kematangan jiwa endapan masalah dan sejumlah tuntutan juga beda, maka folklore yang dihasilkan juga semakin komprehenship.
Saya memandang orang dewasa sudah memiliki kematanganideologi. Ungkapan folklore tidak tertutup kemungkinan akan berkisar pada maslah ideology. Menurut Storey (2003 :3) Ideologi meliputi dua hal.
1.Ideologi dapat mengacu pada suatu pelembagaan gagasan – gagasan sistematis yang di artikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu misalnya : ketika kita bebicara tentang “ideology professional”, maka sebenarnya sedang menbahas tentang gagasan ‘ Gagasan mendasar yang member informasi tentang visi dan praktik kelompok professioan ltertentu. Kita juga bias berbicara tentang “ ideolgi partai buruh.” Disini, kita akan mengacu pada sekumpulan gagasan politik, ekonomi dan social yang menyuarakan aspirasi dan aktifitas partai tersebut.
2. Defenisi ideology yang menyiratkan adanya penopengan. Penyimpangan, atau penyembunyian realitas tertentu. Disini, ideology digunakan untuk menunjukan bagaimana teks – teks dan praktik – praktik dunia tertentu mengahdirkan berbagai citra tentang realitas yang sudah di distorsi atau di selewengkan.
4. Jelaskan presfektif tentang penelitian folklore !
A. PERFEKTIF HUMANISTIN DAN HOLISTIK
Presfektif juga disebut pendekatan antara presfektif dan pendekatan terkandung pesan sebagai cara pandang dalam peneliitian. Penelitian folklore seharusnya memiliki presfektif yang jelas, agar yang hendak dilakukan lebih terfokus. Sebenarnya pendekatan folklore boleh apa saja. Penelitian folklore tidak mematok harus dengan pendekatan tertentu  dengan pedekatan tertentu, melainkan amat terbuka kerja sama dengan pendekatan lain. Yang paling penting hasilnya dapat dipertangungjawabkan sebagai penelitian folklore. Dari sisi pandang sastra, Budaya, seni dan seterusnya folklore dapat di wawas lebih jauh.
Dananjaja (1997:47-48) Menjelaskan panjang lebar tentang presfektif penelitisn folklore di Indonesia dasar pijakan penelitian folklore Indonesia sebenarnya dari asing. Sebaimana diketahui para ahli folklore di dunia dapat di golongkan menjadi tiga, yakni para ahli folklore Humanistis ( Humanistic Folklorist) Yang berlatar ilmu bahasa dan kesusastraan; para ahli folklore anthropologist ( anthropological Folklorist) yang berlatar belakang ilmu antropologi danahli folklore modern yang berlatar belakang ilmu – ilmu interdisipiner.
B. PERSFEKTIF ETNOPUITIKA
1. konsepsi etnopuitika
Pendekatan etnopuitika jarang dilakukan oleh para peneliti folklore. Pendekatan ini sebenarnya hendak mencari makna folklore berdasarkan teks. Teks yang telah di transkrip dan diterjemahkan kemdian ditinjau dari kacamata entopuitika. Etnopuitika adalah tinjauan keilmuan folklore yang berasal dari kata etno dan puitika. Etno berarti kebangsaan ( suku tertentu) dan puitika berarti keindahan. Entopuitika berarti tinjauan folklore dari sisi keindahan, dikatikan dengan bangsa pemiliknya. Secara lebih luas, Koster (1998 :29-49) Mencoban memaparkan konsep kajian puitika, kusus pada sastra lisan. Konsep kajian ini sebeanrnya dapat digunakan pada penelitian folklore sebab sastra lisan juga bagian dari folklore. Sastra lisan sebenarnya unsure lore , dalam studi folklore. Oleh sebab itu pemahaman folklore. Hanya saja dalam studi sastra lisan memang aspek folk reality kecil. Meskipun demikian, sebenarnya peneliti akam amat tergantung bagaimana pemfokusan  aspek yang didalami saja.
C. PERsFEKTIF NATURALISTIK
Penelitian naturalistik adalah persfektip penelitian yang mengungangkap fenomena sebagaimana adanya. Salah satu kecerdasan penelitian folklore menurut Dorson(1972 : 5-6) Adalah ketrampilan memanfaatkan data folklore secara naturalisitik. Dalam hal ini peneliti memanfaatkan data yang berasal dari
a.      Filedwork, artinya karya yang berasal dari lapangan.
b.      The use of archives, artinya memanfaatkan data berupa arsip.
c.      Use of the folk museum, adalah menggunakan data folklore dari museum atau pusat dokumentasi,
d.      Use of indexes,a rtinya memanfatkan indeks folklore secara oftimal, dan
e.      Using printed sources artinya menggunakan data dari sumber tercetak. Dari berbagai keterampilan memanfaatkna data ini, penelitian folklore tetap terjaga secara naturalisitik mana kala campur tangan peneliti tidak terlalu banyak.

D. PERSFEKTIF PRAGMATIK
Penelitian apapun sebenarnya harus sampai pasa asfek guna. Aspek guna ini yang disebut pragmatic. Maka pragmatik dapat di artikan sebagai cabang pemaknaan folklore kea rah kegunaan. Penelitian kea rah pragmatic folklore berarti akan menuju pada kegunaan folklore bagi kehidupan luas. Asumsi dasar yang di pegang oleh peneliti adalah, setiap folklore memilki kegunaan siapa saja.
Wawasan pragmatik sebenarnya telah lama ada ketika Wellek dan Werren ( 1989 ) Menelusuri konsep useful dalam sastra, berarti telah mempersoalkan asfek pragmatik. Pada waktu M.H.Abram gigih memperjuangkan asfek pendekatan pragmatic dalam studi sastra, berarti juga sedang memikirkan kegunaan sastra. Dalam bidang folklore pun tidak jauh dari hal tersebut bahwa folklore diciptakan untuk kegunaan tertentu. Mungkin sekali folklore berguna untuk humor, obat, kesenangan, koreksi masyarakat dan sebagainya. Hal semacam ini juga di gagas oleh bebrapa ahli folklore, seperti Dundes,Brutvan, Bascom, Culin, Jansen, Dan sebagainya. Umumnya para ahli memang ada eksplisit mempelajari kegunaan folklore dan ada yang inplisit.
E.PERSFEKTIF FENOMENOLOGI
Persfektif fenomenologi adalah sudut pandang penelitian folklore dari sisi fenomena yang ada. Realitas menjadi dasar penelitian fenomenologi memang wawasan filosofi (efistemologist) artinya bagaimana data folklore harus di analisis berdasarkan fenomena yang muncul. Pemaknaan folklore harus didasarka realitas itu sendiri. Namun demikian yang disebut fenomena folklore lebih dari yang kasat mata. Jika bertumpu pada Husserl(Muhadjir,2000:17) objek ilmu itu tidak terbatas pada yang empiric (sensual), melainkan mencakup fenomena persefsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan dan bahkan transcendental.

5. Apa yang dimaksud dengan teori difusi dan migrasi ?
A. Antara teori difusi dan migrasi teori persebaran folklore biasanya banyak diperbincangkan di kalangan antropolog. Halini memang harus di sadari karena keterkaitan folklore dengan antropologi jelas sulit terpungkiri. Bascom (1965:25-33) Menegaskan bahwa keterkaitan folklore dengan antropologi amat dekat. Antropolog fisik, etnologi, etnografi, arkeologi dan sejenisnya banyak mewarnai studi folklore. Terlebih lagi bidang antropogi budaya , jelas akan bersrntuhanakan bersetuhan dengan folklore, dalam bidang ini, di yakini bahwa folklore tntu akan disebarkan tidak hanya secara lisan melainkan secara tertulis atau dengan yang lainnya.
B. Teori difusi
Teori difusi biasanya digunakan oleh para antropolog, untuk memahami persebaran buadaya. Ternyata teori ini juga penting dalam penelitian folklore. Folklore sebagai bagian kebudayaan, juga akan menyebar sesuai kepentingan. Persebaran ini, adapula yang menyebut migrasi. Difusi dan migrasi, sebenarnya mirip. Difusi lebih kearah persebaran budaya secara ideologis, sedangjan migrasi adalah perpindahan secara geografis.
6. Jelaskan penelitian interdisipliner folklore !
A. POLA FIKIR INTERDISIPLIN FOLKLORE
Dalam konteks interdisiplin folklore pernyataan Foley (1986:2) cukup bagus direnungkan bahwa “ an interdiscipnary field that from promises to gain substantially in significance a growing number of scholars and academic specialties during the decade”. Dari pernyataan ini jelas telah saatnya interdisipliner penelitian folklore harus terjadi. Interdisipliner justru dimingkinkan bias menjawab tantangan mas yang akan dating. Subtansi keilmuan akan lebih signifikan ketika dilakukan secara interdisiplin.


B. INTERDISIPLIN FOLKLORE DAN FILOLOGI
Ahli yang pertama - tama yang berani membuat buku filologi lisan adalah Hutomo (1999). Meskipun ahli lain juga sering menghubungkan antara folklore dan filologi,tetapi tidak secara ekplisit beberapa pernyataan Hutomo terhadapat filologi lisan tampaknya muncul setelah demikian panjang dia meneliti kentrung dituban. Dari aktivitas dia itu ada variasi teks kentrung yang semestinya di analisi dari filologi lisan.
C. INTERDISIPLIN FOLKLORE DAN POLITIK
Anggapan bahwa politik kotor tidak selalu betul. Dalam folklore mungkin bisa berkebalikan dengan asumsi itu. Folklore dapat merefleksikan yang manis. Politik yang tidak injak sana dan injak sini, terdapat pada folklore humanis. Untuk lebih akuratnya pemahaman asfek politik dalam folklore telah di paparkan oleh Dananjaja (2003:50-65), khusunya membhasa keterkatian politik dan folklore di Amerika dan Indonesia. Kedua di negara ini memiliki folklore yang sama – sama penting bagi perkembangan politik. Ketika seorang folklorist menggunakan istilah politik istilah politik dan folklore, ia mengartikannya dalam hubungan antara kehidupan politik dan ungkapan folk dengan cara – cara sebagai berikut :
1.      Folklore dari politik
(the folklore of politics), yang berarti folklore yang timbul dari proses dan konflik politik;
2.      Politik dari folklore ( the politics of folklore ), yang berarti pengaruh pada kehidupan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana akibat kebudayaan folk mereka, serta penciptaan penyebaran kebudayaan tersebut:
3.      Politik dari ilmu folkoristik ( the politics of folkloristics), yakni implikasi yang terjadi akibat mempelajari folklore:
4.      Peraturan – peraturan politik dari kebijaksanaan folklore terapan( the politics of applied folklore policy), yang berarti berbagai implikasi dari aturan – aturan pemerintah, korporasi dan non pemerintah terhadpa implementasi program folklore dan kebudayaan;
5.      Interpretasi – interpretasi politik mengenai folklore oleh para akademisi (political interpretations of folklore by scholars;
6.      Organisasi dari politik dan lembaga soisal alternative ( folk political organization an alternative social institutions) yang berarti bagaimana caramya hubungan kekuasaan diantara individu – individu dan kelas – kelas social di ungkapkan dan di negosiasikan secara informal dalam masyarakt atau dalam kelompok – kelompok keci berhubungan dengan kelompok masyarakat yang lebih besar.
7.      Kepercayaan politik sebagai folklore ( political belief as folklore), yakni apa yang disebut sebagai kajian ideology dari suatu persfektif yang berpusat pada kepercayaan ( belief  centered perspective).
E.     INTERDISIPLIN SEJARAH DAN FOLKLORE
Sejarah itu sendiri kadang – kadang fiktif. Sejarah penuh rekayasa oleh karena sejara sebenarnya mirip kisah. Kisah boleh di buat – buat begitu pula sejarah dalam folklore. Folklore dengan sendirinya sudah bersifat imajinatif. tentu saja dalam folklore serentetan peroistiwa yang imajintif pula, meskipun bersangkut paut dengan sejarah.
Ahli folklore yang telah banyak membeberkan teori analisi sejarah dalam folklore adalah Vancina(1985). Dua jilid buku yang ditulis berjudul oral traditional A study in historical methodology dan oral tradition as history adalah karya besar dalam menurut sejarah lewat folklore, khususnya tradisi lisan. Asumsi dasar wilayah kajian ini adalah folklore merupakan sumber sejarah folkore diciptakan lepas dari sejarah lingkukan. Oleh sebab itu mengungkap folklore sama halnya menangkap asfes sejarah.

F.      INTERDISIPLIN FILASAFAT DAN FOLKlORE
Unsure – unsure pendapat dalam folklore sudah tidak perlu diragukan lagi Karen pad hakikatnya folklore adalah endapan pengalaman hidup. Sebagai renugan hidup, tentu folklore memiliki sumbangan penting dalam wilaya filsafat. Filsafat hidup manusia tentu berbeda – beda. Ke aneka ragama falsafah hidup ini juga akan terkadung dalam bemacam- macam folklore.
Dalam kaitan itu, Hutomo (1996) telah memafarkan penelitian folklore dari asfek filosofi. Yang digarap adalah falsafah hidup orang blora. Tentu saja, penelitian itu lebih eksklusif falsafah hidup orang blora,mungkin mencerminkan filsafat orang jawa, khususnya orang pesisir. Bahasanya berbeda dengan bahsa jawa di daerah lain. Bahasa jawa di daerah blorandisebut “dialek leh” dan ruang lingkupnya meliputi daerah Rembang, Bojonrgoro,Babat, bagian utara Ngawi, Purwadadi/Grobogan, sebagian Pati dll.
Dinamakan “ dialek leh” sebab  ahasa jawa orang blora mempunyai cirri khusus. Kata putih,mulih,dan ngantih di cucapkan puteh, muleh, dan nganteh. Disamping itu masih ada cirri lain. Kata waluh dan sepuluh di ucapkan waloh dan sepuloh. Kemudian, kata ganti pemilik mu diucapkan em, misalnya omahmu di ucapkan omahem, bojomu bojoem.


No comments:

Post a Comment