1. Apa yang dimaksud
dengan kode etik penelitian folklore
jelaskan ..?
Meneliti folklor
sungguh indah karena yang diteliti adalah hidup manusia yang indah pula.
Liku-liku hidup penuh dengan tantangan pahit getir .hidup itu terungkap lewat
folklore karena folklore adalah cermin dari manusia. Oleh karena itu,folklore
sama halnya mengelami misteri indah manusia.bukankah Bornouw (1982:241) juga menyatakan bahwa
meneliti folklor akan sampai pada . “the
enjoyment of life”. Artinya,sebuah kenikmatan hidup itu salah satunya ada
dalam folklore. Oleh karena,dalam pandangan folklor “life can be beautiful”,
Artinya hidup itu sendiri indah. Hidup adalah seni. Di antara seni adalah
foklor. Jadi, mempelajari folklore juga menikmati hidup dan keindahan.
2. Jelaskan tentang
penelitian folklore teradisi dan kolektipitas..?
Penelitian folklore
memang perlu di dasari apa dan bagaimana folklore Finnegan (1992: 5-8)
berpendapat bahwa dalam folklore memang ada istilah yang membuat peneliti
bingung atau (disputed). Suatu saat
peneliti akan bingung dengan istilah oral dan orality, tradisi, sastra lisan,
verbal art, folk art dan masih banyak lagi. Oral artinya bersifat lisan, adapun
folklore sering terkatergorikan orally. Folklore memiliki tradisi. Tradisi
(Lisan) bercirikan :
A.
Verbal, berupa kata – kata
B.
Tanpa tulisan,
C.
Memiliki kolektif rakyat,
D.
Memiliki makna foundamental,
ditransmisikan dari generasi ke generasi
Folklore amerika,
Dundes (1965:3) mendefenisikan secara etimologis. Menurut dia folklore berasal
dari kata folk dan lore. Dari kedua kata ittu berarti ada
ketergantungan satu sama lain, sehingga membentuk makna folklore. Folk merujuk
pada kelompok populasi, folk juga berarti kolektive. Kolektive tersebut juga
vulgas in populo, yang sering kontras dengan istilah masyarakat. Masyarakat
dimaknai sebagai kolektive yang memiliki peradaban ( civilization). Folk
dipandang tidak beradab (uncivilized) atau tergolong liar (savage primitive society). Istilah semacam ini, sebenarnya tidak
begitu relevan oleh karena itu di era sekrang folk telah berkembang kea rah
beradab.
Dari pendapat _
pendapat diatas dapat di ketengahkan bahwa folklore sangat luat jangkauannya.
Penelitian folklore pun amat terbuka meliputi segala hal tentang hidup manusia.
Pengenalan kembali tradisi seni,etika,tingkahlaku dan berbagai hal kehidupan
nenek moyang yang telah turun temurun merupakan wilayah garapan peneliti
folklore yang lebih penting lagi penelitian folklore tentu akan menyangkut
masalah – masalah kehidupan kolektif baik tradisional maupun modern.
3.Apa beda folklore
anak remaja dan dewasa.?
A. Dunia remaja paling
tidak tersentuh oleh peneliti folklore. Oleh karena, penggolongan folklore
remaja belum banyak dilakukan kecuali itu kehadiran folklore mungkin juga lepas
dari segmen – segmen umur manusia. Folklore tidak atau jarangyang di format
untuk remaja, terlebih lagi, dunia remaja adalah umur yang gonjang- ganjing,
umur ini banyak pilihan terutama ke rarah modernitas dan postmodernitas. Oleh
sebab itu amat jarang remaja yang mendalami folklore remaja tergolong transisi
. banyak inisiasi yang terkait dengan folklore yang sebenarnya namun para ahli
folklore jarang yang mau berkonsentrasi pada masalah remaja. Akibatnya folklore
remaja kurang berkembang. Kecuali itu, daya tolak remaja pada hal – hal yang bersifat
tradisi telah berkembang mereka umumnya ingin hal – hal yang aneh. Begitu jika
asumsi dasar folklore adalah bersifat btradisional. Padahal semestinya tidak
demikian. Kearah yang inovatif juga tidak sedikit. Bahsa gaul remaja,sebenarnya
menarik ditinjau dari askpek folklore.
B. Folklore dewasa,
istilah folklore dewasa memang masih terdengar aneh. Bahkan, ada yang
berpendapat, semua folklore out milik orang dewasa. Seluruh folklore dapat
dibaca dari kacamta orang dewas. Hal ini tidak salah, sebab orang dewasa
termasuk mahkluk kompleks. Mereka tentu mampu mengekpresikan apa saja sesuai
dunianya. Dunia orang dewasa lain dengan pusaran anak dan remaja. Oleh karena
kematangan jiwa endapan masalah dan sejumlah tuntutan juga beda, maka folklore
yang dihasilkan juga semakin komprehenship.
Saya memandang orang
dewasa sudah memiliki kematanganideologi. Ungkapan folklore tidak tertutup
kemungkinan akan berkisar pada maslah ideology. Menurut Storey (2003 :3)
Ideologi meliputi dua hal.
1.Ideologi dapat
mengacu pada suatu pelembagaan gagasan – gagasan sistematis yang di
artikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu misalnya : ketika kita
bebicara tentang “ideology professional”, maka sebenarnya sedang menbahas
tentang gagasan ‘ Gagasan mendasar yang member informasi tentang visi dan
praktik kelompok professioan ltertentu. Kita juga bias berbicara tentang “
ideolgi partai buruh.” Disini, kita akan mengacu pada sekumpulan gagasan
politik, ekonomi dan social yang menyuarakan aspirasi dan aktifitas partai
tersebut.
2. Defenisi ideology
yang menyiratkan adanya penopengan. Penyimpangan, atau penyembunyian realitas
tertentu. Disini, ideology digunakan untuk menunjukan bagaimana teks – teks dan
praktik – praktik dunia tertentu mengahdirkan berbagai citra tentang realitas yang
sudah di distorsi atau di selewengkan.
4. Jelaskan presfektif
tentang penelitian folklore !
A. PERFEKTIF HUMANISTIN
DAN HOLISTIK
Presfektif juga disebut
pendekatan antara presfektif dan pendekatan terkandung pesan sebagai cara
pandang dalam peneliitian. Penelitian folklore seharusnya memiliki presfektif
yang jelas, agar yang hendak dilakukan lebih terfokus. Sebenarnya pendekatan
folklore boleh apa saja. Penelitian folklore tidak mematok harus dengan
pendekatan tertentu dengan pedekatan
tertentu, melainkan amat terbuka kerja sama dengan pendekatan lain. Yang paling
penting hasilnya dapat dipertangungjawabkan sebagai penelitian folklore. Dari
sisi pandang sastra, Budaya, seni dan seterusnya folklore dapat di wawas lebih
jauh.
Dananjaja (1997:47-48)
Menjelaskan panjang lebar tentang presfektif penelitisn folklore di Indonesia
dasar pijakan penelitian folklore Indonesia sebenarnya dari asing. Sebaimana
diketahui para ahli folklore di dunia dapat di golongkan menjadi tiga, yakni
para ahli folklore Humanistis ( Humanistic Folklorist) Yang berlatar ilmu
bahasa dan kesusastraan; para ahli folklore anthropologist ( anthropological
Folklorist) yang berlatar belakang ilmu antropologi danahli folklore modern
yang berlatar belakang ilmu – ilmu interdisipiner.
B. PERSFEKTIF
ETNOPUITIKA
1. konsepsi etnopuitika
Pendekatan etnopuitika
jarang dilakukan oleh para peneliti folklore. Pendekatan ini sebenarnya hendak
mencari makna folklore berdasarkan teks. Teks yang telah di transkrip dan
diterjemahkan kemdian ditinjau dari kacamata entopuitika. Etnopuitika adalah
tinjauan keilmuan folklore yang berasal dari kata etno dan puitika. Etno
berarti kebangsaan ( suku tertentu) dan puitika berarti keindahan. Entopuitika
berarti tinjauan folklore dari sisi keindahan, dikatikan dengan bangsa
pemiliknya. Secara lebih luas, Koster (1998 :29-49) Mencoban memaparkan konsep
kajian puitika, kusus pada sastra lisan. Konsep kajian ini sebeanrnya dapat
digunakan pada penelitian folklore sebab sastra lisan juga bagian dari
folklore. Sastra lisan sebenarnya unsure lore , dalam studi folklore. Oleh
sebab itu pemahaman folklore. Hanya saja dalam studi sastra lisan memang aspek
folk reality kecil. Meskipun demikian, sebenarnya peneliti akam amat tergantung
bagaimana pemfokusan aspek yang didalami
saja.
C. PERsFEKTIF
NATURALISTIK
Penelitian naturalistik
adalah persfektip penelitian yang mengungangkap fenomena sebagaimana adanya.
Salah satu kecerdasan penelitian folklore menurut Dorson(1972 : 5-6) Adalah
ketrampilan memanfaatkan data folklore secara naturalisitik. Dalam hal ini
peneliti memanfaatkan data yang berasal dari
a.
Filedwork,
artinya karya yang berasal dari lapangan.
b.
The
use of archives, artinya memanfaatkan data berupa
arsip.
c.
Use
of the folk museum, adalah menggunakan data
folklore dari museum atau pusat dokumentasi,
d.
Use
of indexes,a rtinya memanfatkan indeks folklore secara
oftimal, dan
e.
Using
printed sources artinya menggunakan data dari sumber
tercetak. Dari berbagai keterampilan memanfaatkna data ini, penelitian folklore
tetap terjaga secara naturalisitik mana kala campur tangan peneliti tidak
terlalu banyak.
D. PERSFEKTIF PRAGMATIK
Penelitian apapun
sebenarnya harus sampai pasa asfek guna. Aspek guna ini yang disebut pragmatic.
Maka pragmatik dapat di artikan sebagai cabang pemaknaan folklore kea rah
kegunaan. Penelitian kea rah pragmatic folklore berarti akan menuju pada
kegunaan folklore bagi kehidupan luas. Asumsi dasar yang di pegang oleh
peneliti adalah, setiap folklore memilki kegunaan siapa saja.
Wawasan pragmatik
sebenarnya telah lama ada ketika Wellek dan Werren ( 1989 ) Menelusuri konsep useful dalam sastra, berarti telah
mempersoalkan asfek pragmatik. Pada waktu M.H.Abram gigih memperjuangkan asfek
pendekatan pragmatic dalam studi sastra, berarti juga sedang memikirkan
kegunaan sastra. Dalam bidang folklore pun tidak jauh dari hal tersebut bahwa
folklore diciptakan untuk kegunaan tertentu. Mungkin sekali folklore berguna
untuk humor, obat, kesenangan, koreksi masyarakat dan sebagainya. Hal semacam
ini juga di gagas oleh bebrapa ahli folklore, seperti Dundes,Brutvan, Bascom,
Culin, Jansen, Dan sebagainya. Umumnya para ahli memang ada eksplisit
mempelajari kegunaan folklore dan ada yang inplisit.
E.PERSFEKTIF
FENOMENOLOGI
Persfektif fenomenologi
adalah sudut pandang penelitian folklore dari sisi fenomena yang ada. Realitas
menjadi dasar penelitian fenomenologi memang wawasan filosofi (efistemologist)
artinya bagaimana data folklore harus di analisis berdasarkan fenomena yang
muncul. Pemaknaan folklore harus didasarka realitas itu sendiri. Namun demikian
yang disebut fenomena folklore lebih dari yang kasat mata. Jika bertumpu pada
Husserl(Muhadjir,2000:17) objek ilmu itu tidak terbatas pada yang empiric
(sensual), melainkan mencakup fenomena persefsi, pemikiran, kemauan, dan
keyakinan dan bahkan transcendental.
5. Apa yang dimaksud
dengan teori difusi dan migrasi ?
A. Antara teori difusi
dan migrasi teori persebaran folklore biasanya banyak diperbincangkan di
kalangan antropolog. Halini memang harus di sadari karena keterkaitan folklore
dengan antropologi jelas sulit terpungkiri. Bascom (1965:25-33) Menegaskan
bahwa keterkaitan folklore dengan antropologi amat dekat. Antropolog fisik,
etnologi, etnografi, arkeologi dan sejenisnya banyak mewarnai studi folklore.
Terlebih lagi bidang antropogi budaya , jelas akan bersrntuhanakan bersetuhan
dengan folklore, dalam bidang ini, di yakini bahwa folklore tntu akan
disebarkan tidak hanya secara lisan melainkan secara tertulis atau dengan yang
lainnya.
B. Teori difusi
Teori difusi biasanya
digunakan oleh para antropolog, untuk memahami persebaran buadaya. Ternyata
teori ini juga penting dalam penelitian folklore. Folklore sebagai bagian
kebudayaan, juga akan menyebar sesuai kepentingan. Persebaran ini, adapula yang
menyebut migrasi. Difusi dan migrasi, sebenarnya mirip. Difusi lebih kearah
persebaran budaya secara ideologis, sedangjan migrasi adalah perpindahan secara
geografis.
6. Jelaskan penelitian
interdisipliner folklore !
A. POLA FIKIR INTERDISIPLIN
FOLKLORE
Dalam konteks
interdisiplin folklore pernyataan Foley (1986:2) cukup bagus direnungkan bahwa “ an interdiscipnary field that from
promises to gain substantially in significance a growing number of scholars and
academic specialties during the decade”. Dari pernyataan ini jelas telah
saatnya interdisipliner penelitian folklore harus terjadi. Interdisipliner
justru dimingkinkan bias menjawab tantangan mas yang akan dating. Subtansi
keilmuan akan lebih signifikan ketika dilakukan secara interdisiplin.
B. INTERDISIPLIN
FOLKLORE DAN FILOLOGI
Ahli yang pertama -
tama yang berani membuat buku filologi lisan adalah Hutomo (1999). Meskipun
ahli lain juga sering menghubungkan antara folklore dan filologi,tetapi tidak
secara ekplisit beberapa pernyataan Hutomo terhadapat filologi lisan tampaknya
muncul setelah demikian panjang dia meneliti kentrung dituban. Dari aktivitas
dia itu ada variasi teks kentrung yang semestinya di analisi dari filologi
lisan.
C. INTERDISIPLIN
FOLKLORE DAN POLITIK
Anggapan bahwa politik
kotor tidak selalu betul. Dalam folklore mungkin bisa berkebalikan dengan
asumsi itu. Folklore dapat merefleksikan yang manis. Politik yang tidak injak
sana dan injak sini, terdapat pada folklore humanis. Untuk lebih akuratnya
pemahaman asfek politik dalam folklore telah di paparkan oleh Dananjaja
(2003:50-65), khusunya membhasa keterkatian politik dan folklore di Amerika dan
Indonesia. Kedua di negara ini memiliki folklore yang sama – sama penting bagi
perkembangan politik. Ketika seorang folklorist menggunakan istilah politik
istilah politik dan folklore, ia mengartikannya dalam hubungan antara kehidupan
politik dan ungkapan folk dengan cara – cara sebagai berikut :
1.
Folklore dari politik
(the folklore of politics), yang berarti folklore yang timbul dari proses dan konflik politik;
(the folklore of politics), yang berarti folklore yang timbul dari proses dan konflik politik;
2.
Politik dari folklore ( the politics of
folklore ), yang berarti pengaruh pada kehidupan dan kesejahteraan rakyat,
sebagaimana akibat kebudayaan folk mereka, serta penciptaan penyebaran
kebudayaan tersebut:
3.
Politik dari ilmu folkoristik ( the
politics of folkloristics), yakni implikasi yang terjadi akibat mempelajari
folklore:
4.
Peraturan – peraturan politik dari
kebijaksanaan folklore terapan( the politics of applied folklore policy), yang
berarti berbagai implikasi dari aturan – aturan pemerintah, korporasi dan non
pemerintah terhadpa implementasi program folklore dan kebudayaan;
5.
Interpretasi – interpretasi politik
mengenai folklore oleh para akademisi (political interpretations of folklore by
scholars;
6.
Organisasi dari politik dan lembaga
soisal alternative ( folk political organization an alternative social
institutions) yang berarti bagaimana caramya hubungan kekuasaan diantara
individu – individu dan kelas – kelas social di ungkapkan dan di negosiasikan
secara informal dalam masyarakt atau dalam kelompok – kelompok keci berhubungan
dengan kelompok masyarakat yang lebih besar.
7.
Kepercayaan politik sebagai folklore (
political belief as folklore), yakni apa yang disebut sebagai kajian ideology
dari suatu persfektif yang berpusat pada kepercayaan ( belief centered perspective).
E.
INTERDISIPLIN SEJARAH DAN FOLKLORE
Sejarah
itu sendiri kadang – kadang fiktif. Sejarah penuh rekayasa oleh karena sejara
sebenarnya mirip kisah. Kisah boleh di buat – buat begitu pula sejarah dalam folklore.
Folklore dengan sendirinya sudah bersifat imajinatif. tentu saja dalam folklore
serentetan peroistiwa yang imajintif pula, meskipun bersangkut paut dengan
sejarah.
Ahli
folklore yang telah banyak membeberkan teori analisi sejarah dalam folklore adalah
Vancina(1985). Dua jilid buku yang ditulis berjudul oral traditional A study in historical methodology dan oral tradition
as history adalah karya besar dalam menurut sejarah lewat folklore,
khususnya tradisi lisan. Asumsi dasar wilayah kajian ini adalah folklore
merupakan sumber sejarah folkore diciptakan lepas dari sejarah lingkukan. Oleh
sebab itu mengungkap folklore sama halnya menangkap asfes sejarah.
F.
INTERDISIPLIN FILASAFAT DAN FOLKlORE
Unsure
– unsure pendapat dalam folklore sudah tidak perlu diragukan lagi Karen pad
hakikatnya folklore adalah endapan pengalaman hidup. Sebagai renugan hidup,
tentu folklore memiliki sumbangan penting dalam wilaya filsafat. Filsafat hidup
manusia tentu berbeda – beda. Ke aneka ragama falsafah hidup ini juga akan terkadung
dalam bemacam- macam folklore.
Dalam
kaitan itu, Hutomo (1996) telah memafarkan penelitian folklore dari asfek
filosofi. Yang digarap adalah falsafah hidup orang blora. Tentu saja,
penelitian itu lebih eksklusif falsafah hidup orang blora,mungkin mencerminkan
filsafat orang jawa, khususnya orang pesisir. Bahasanya berbeda dengan bahsa
jawa di daerah lain. Bahasa jawa di daerah blorandisebut “dialek leh” dan ruang
lingkupnya meliputi daerah Rembang, Bojonrgoro,Babat, bagian utara Ngawi,
Purwadadi/Grobogan, sebagian Pati dll.
Dinamakan
“ dialek leh” sebab ahasa jawa orang
blora mempunyai cirri khusus. Kata putih,mulih,dan ngantih di cucapkan puteh,
muleh, dan nganteh. Disamping itu masih ada cirri lain. Kata waluh dan sepuluh
di ucapkan waloh dan sepuloh. Kemudian, kata ganti pemilik mu diucapkan em,
misalnya omahmu di ucapkan omahem, bojomu bojoem.
No comments:
Post a Comment