OLEH
: FAISAL EFENDI
N
I M : 100705001
FAKULTAS
SASTRA
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Sinopsis
Novel yang
berjudul “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini menceritakan kisah kehidupan seorang anak gadis
bernama Mariamin. Mariamin tinggal dipondok bambu beratapkan ijuk dekat sungai
yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok. Di waktu senja Mariamin atau yang
biasa dipanggil Riam seperti biasanya duduk di sebuah batu besar di depan
rumahnya menunggu kekasih nya datang. Mariamin sangat sedih karena Aminu’ddin,
kekasihnya itu menemuinya untuk berpamitan sebab dia akan pergi ke Medan untuk
mencari pekerjaan supaya dia bisa menikahi kekasihnya itu dan bisa mengeluarkan
Mariamin dan keluarganya dari kesengsaraan. Aminuddin seorang anak muda berumur
delapan belas tahun. Dia adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang
kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak.
Adapun kekayaannya itu berasal dari peninggalan orangtuanya tetapi karena rajin
bekerja, maka hartanya bertambah banyak. Ayah Aminu’ddin mempunyai budi yang
baik. Sifat-sifatnya itu menurun pada anak laki-laki satu-satunya, Aminu’ddin.
Aminuddin bertabiat baik, pengiba, rajin, dan cerdas.
Setelah
Aminu’ddin pulang, Mariamin pun masuk kedalam rumahnya untuk menyuapi ibunya
yang sedang sakit. Mariamin tidak ingin membuat ibunya sedih oleh karena itu ia
berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya karena harus berpisah dengan orang
yang dicintainya walaupun itu hanya sementara. Ibunya sangat mengenal gadis itu
sehingga dia mengetahui kalau Mariamin sedang bersedih. Ibunya mengira
kesedihan anaknya itu karena dia sedang sakit sebab sakitnya ibu Mariamin sudah
lama sekali. Setelah selesai menyuapi ibunya, Mariamin pergi ke kamarnya untuk
tidur. Mariamin tidak dapat memejamkan matanya, Pikirannya melayang
mengingatkan masa lalunya ketika dia masih kecil.
Dahulu
ayah Mariamin, Sutan Baringin adalah seorang yang terbilang hartawan dan
bangsawan di seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia suka berperkara,
maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya jatuh miskin dan hina. Berapa
kali Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti berpengkara, tetapi tidak
diindahkannya ia malah lebih mendengarkan perkataan pokrol bambu tukang
menghasut bernama Marah Sait. Ibu Mariamin memang seorang perempuan yang
penyabar, setia sederhana dan pengiba berlawanan dengan Sutan Baringin,
suaminya yang pemarah, malas, tamak , angkuh dan bengis. Mariamin dan
Aminu’ddin berteman karib sejak kecil apalagi mereka masih mempunyai hubungan saudara
sebab ibu Aminu’ddin adalah ibu kandung dari Sutan Baringin, ayah Mariamin
ditambah lagi Mariamin sangat berhutang budi kepada Aminu’ddin karena telah
menyelamatkan nyawanya ketika Mariamin hanyut di sungai.
Setelah 3
bulan Aminu’ddin berada di Medan, dia mengirimkan surat kepada Mariamin
memberitahukan kalau dia sudah mendapat pekerjaan, Mariamin pun membalas surat
dari Aminu’ddin tersebut. Mariamin sangat bahagia menerima surat dari
Aminu’ddin yang isinya menyuruh Mariamin untuk berkemas karena Aminuddin telah
mengirim surat kepada orangtuanya untuk datang ke rumah Mariamin dan mengambil
dia menjadi istrinya serta mengantarkannya ke Medan. Tetapi ayah Aminu’ddin
tidak menyetujui permintaan putranya
itu, biarpun istrinya membujuknya supaya memenuhi permintaan Aminu’ddin.
Mariamin sudah mempersiapkan jamuan untuk menyambut kedatangan orang tua
Aminu’ddin. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, malah yang datang
adalah surat permintaan maaf dari Aminu’ddin. Dalam surat itu memberitahukan kalau
kedua orang tua nya sudah berada di Medan dengan membawa gadis lain sebagai
calon istrinya. Aminuddin sangat kecewa dan hatinya hancur tetapi dia tidak
bisa menolak karena tidak ingin mempermalukan orang tuanya dan dia tidak mau
durhaka pada orangtua Mariamin gadis yang solehah itu menerima maaf Aminu’ddin,
dia menerima semuanya sebagai nasibnya dan harapannya untuk keluar dari
kesengsaraan pun sudah pudar. Setelah dua tahun lamanya Mariamin pun menikah
dengan orang yang belum dikenalnya, pria itu bernama Kasibun. Usia Kasibun agak
tua, tidak tampan dan dia pintar dalam tipu daya, selain itu dia juga mengidap
penyakit mematikan yang mudah menular pada pasangannya.
Aminu’ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya ketika itu suaminya sedang bekerja di kantor. Kasibun sangat marah setelah dia mengetahui kedatangan Aminu’ddin apalagi ketika Mariamin menolak berhubungan suami-istri.
Aminu’ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya ketika itu suaminya sedang bekerja di kantor. Kasibun sangat marah setelah dia mengetahui kedatangan Aminu’ddin apalagi ketika Mariamin menolak berhubungan suami-istri.
Suaminya
yang bengis itu tidak segan-segan menamparnya, memukulnya dan berbagai
penyiksaan lainnya. Akhirnya karena dia sudah tidak tahan lagi Mariamin
melaporkan perbuatan suaminya itu pada polisi. Sampai akhirnya mereka bercerai.
Kesudahannya Mariamin terpaksa Pulang ke negrinya membawa nama yang kurang
baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang
di pinggir sungai Sipirok. Hidup Mariamin sudah habis dan kesengsaraannya di
dunia sudah berkesudahan. Azab dan Sengsara dunia ini sudah tinggal di atas
bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.
1.2 Latar
Belakang
Salah satu
jenis prosa fiksi baru adalah novel. Salah satu contoh novel yaitu Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar. Novel angkatan 20an ini menceritakan kehidupan
Mariamin yang penuh dengan sengsara. Kesengsaraan itu dirasaakan bagai azab
yang tak kunjung berhenti menimpanya.
Untuk dapat
memahami novel ini secara mendalam, kami menganalisis novel ini dengan
menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan analitis, historis, didaktis,
emotif, dan sosiopsikologis. Kami menggunakan semua pendekatan tersebut
bertujuan agar pembaca dapat lebih memahami pesan yang disampaikan penulis
dalam novel tersebut.
1.3 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan analitis?
2. Bagaimana analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan historis?
3. Bagaimana analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan didaktis?
4. Bagaimana analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan sosiopsikologis?
5. Bagaimana analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan emotif?
1.4 Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan analitis.
2. Mengetahui analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan historis.
3. Mengetahui analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan didaktis.
4. Mengetahui analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan sosiopsikologis.
5. Mengetahui analisis novel Azab dan
Sengsara berdasarkan pendekatan emotif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pendekatan Analitis
Pendekatan
analitis adalah pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang
menampilkan gagasan atau mengimajinasikan ide-idenya, sikap pengarang dalam
menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik, dan mekanisme hubungan dari
setiap unsur intrinsik sehingga membangun keselarasan dan kesatuan dalam rangka
membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Dalam
analisis sebuah lakon melalui pendekatan analitis adalah sebagai berikut.
2.1.1
Tema dan amanat
Tema
adalah gagasan, ide atau pikiran pokok utama di dalam karya sastra, baik terungkap maupun tersirat. Tema dalam sebuah
novel ini adalah
“Kesengsaraan kedua anak
manusia karena kasih tak sampai”.
Sedangkan amanat dalam novel ini adalah (1) Allah S.W.T menjadikan laki-laki dan perempuan dan
mempersatukan mereka itu dengan maksud, supaya mereka itu berkasih-kasihan; si
perempuan menyenangkan hati suaminya dan si suami menghiburkan hari istrinya.
Maka seharusnyalah mereka sehidup semati, artinya; kesengsaraan sama di
tanggung, kesenangan sama dirasa. Itulah kewajiban seorang suami istri. (2) Jika menjadi
orang tua janganlah pernah sekali-kali menjodohkan anak kita dengan pilihan
kita sendiri, biarlah sang anak memilih orang yang benar-benar bisa mengerti, menemani,
mencintai dan menerima apa adanya serta menjadi teman baginya untuk sehidup dan
semati, dan jangan pernah memandang materi suatu kaum, sebanarnya Tuhan itu
Maha Kaya. (3).
Mensyukuri dan manfaatkan sebaik mungkin harta atau rizki yang Allah berikan
kepada kita, niscaya Dia akan menambahkannya dan janganlah memandang orang dari
segi fisik atau kekayaannya, tetapi pandanglah dari segi ketaqwaannya. (4)
Menolong sesama adalah kewajiban setiap insan, seberat apapun derita yang
menimpa, kita harus selalu sabar, tegar, selalu berdoa, husnudzon kepada Sang
Pencipta, dan tidak patah semangat karena setiap kebaikan atau pun keburukan
yang kita perbuat, pasti akan mendapat balasan yang setimpal.
2.1.2
Penokohan (karakterisasi,
perwatakan)
Penokohan
adalah proses penampilan ‘tokoh’ sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu
pementasan lakon. Tokoh serta karakter dalam lakon drama ini adalah sebagai
berikut.
1. Mariamin adalah seorang gadis yang cantik, lemah lembut,
berbakti kepada orang tua dan baik hati. Karakter baik hati dan berbakti kepada
orang tua dapat dilihat dari penggalan percakapan, “Makanlah Mak dahulu, nasi
sudah masak,” kata Mariamin seraya mengatur makanan dan sajur jang dibawanja
sendiri dari gunung untuk ibunja yang sakit itu.
2. Aminudin adalah seorang anak yang
berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong, berbakti dan sangat pintar. Berbudi
pekerti luhur, jiwa penolng Aminudin dapat dilihat dari penggalan dialog : “Ia
menolong mencangkul sawah Mak Mariamin.. Udin mempunyai kasihan, itulah
sebabnya ia menolong mamaknya.” Mendengar itu, suaminya tinggal diam; Ia tiada
marah mendengar umpatan itu.
3. Sutan Baringin adalah seorang yang suka membuat
masalah dan takabur dengan hartanya. Watak tidak baiknya itu dapat dilihat dari penarasian
penulis sebagaimana berikut ini ; Sutan Baringin terbilang hartawan lagi
bangsawan seantero penduduk sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka
berperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan
penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhir jatuh miskin, sedang yang dicarinya
dalam perkara itu tiada seberapa bila dibandingkan dengan kerugian-kerugiannya.
4. Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang penyayang dan baik
hati. Wujud kasih sayang itu sebagaimana dapat dilihat dari penggalan dialog
berikut ini ; “Anakku sudah makan?” bertanya si ibu seraya menarik tangan budak
itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.
5. Baginda Diatas atau ayah Aminuddin
adalah seorang kepala kampung atau
bangsawan yang kaya raya dan disegani serta dihormati. Hal itu dibuktikan dengan penggalan narasi langsung dari penulis sebagai
berikut ; “Dia (Aminudin) adalah anak
kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di
seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak”.
6. Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang
sama seperti suaminya Baginda Diatas, dia juga penyayang.
Kutipan:
“Adinda pun tahu juga, anak kita itu
Kakanda cintai, sebagaimana Adinda mencintai dia’.
“adinda amat setuju dan memuji perbuatan
anak kita itu. Sungguhpun ia muda, tetapi telah tua pikirannya, ia telah punya
perasaan kepada mereka yang dalam kemiskinan itu”
Orang kaya sifatnya baik hati,
penolong dan tidak sombong atas harta-hartanya
Kutipan:
“Ya, ya, jangan susah hati, pulanglah,
bawalah uang ini akan belanjamu”
“Uangmu ini hendak aku simpan, dan
apabila berguna bagimu, beri kabar kepadaku, nanti kukirim ketempat tinggalmu”.
7. Kasibun adalah
laki-laki hidung belang yang bertingkah laku buruk dan kasar terhadap istrinya(Mariamin)
dia juga sering menyiksa istrinya dan tidak punya rasa belas kasiyan.
Kutipan:
“Tutup
mulutmu! Saya mau tidur!”, kalau matanya berat dan ia malas bangkit dari tempat
tidur, tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin, apapun yang kena tidak
dipedulikannya.
8. Baginda Mulia sifatnya baik, sopan, suka berdamai, ia juga
lebih suka persaudaraan dari pada harta.
Kutipan:
“Apalah gunanya kita berselisih
karena harta peninggalan nenek kita. Bukankah kebaikan dari orang bersaudara
itu lebih berharga dari pada emas dan perak? Itupun harapan Adindaini akan
kemurahan Kakanda, eloklah kita berdamai supaya semangat mendiang nenek kita
jangan gusar atas perbuatan kita itu”.
9. Marah Sait(Pakrol Bambu/Pengacara)
sifatnya jahat, licik, cerdik, pintar dan mata duitan.
Kutipam:
“Bersumpah? Apakah susahnya itu.
Takutkah engkau dimakan sumpah? Akulah yang akan mencari orang itu sampai dapat
asal engkau menyediakan ini(uang)...?
10. Istri Aminudin
6. Mariamin adalah seorang gadis yang
cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan baik hati.
7. Aminudin adalah seorang anak yang
berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong, berbakti dan sangat pintar.
8. Sutan Baringin adalah seorang yang
berwatak keras dan sombong.
9. Nuria atau ibu Mariamin adalah
seorang yang lembut, penyayang dan baik hati.
10. Baginda Diatas atau ayah Aminuddin
adalah seorang kepala kampong atau bangsawan yang kaya raya dan disegani serta
dihormati.¨
11. Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang
sama seperti suaminya Baginda Diatas.
12. Kasibun adalah laki-laki hidung
belang yang bertingkah laku buruk dan kasar terhadap istrinya(Mariamin).
13.
Istri Aminuddin
14.
Baginda Mulia
15. Marah Sait (Pakrol Bambu atau
Pengacara)
2.1.3
Alur (Plot)
Alur dalam
novel “Azab dan Sengsara” ini menggunakan alur campuran, yaitu alur maju dan
alur mundur.
Konflik
dimulai ketika Aminuddin
mengatakan kepada Mariamin bahwa dia akan merantau ke Medan untuk mencari
pekerjaan. Mariamin yang ditinggalkan merasa sangat bersedih dan putus asa.
Ditambah lagi ibunda Mariamin sedang sakit parah. Hal ini menambah kepedihan
hati Mariamin. Namun ketika Aminuddin meminta ayahnya untuk membawa Mariamin ke
Medan untuk dinikahinya, ayahnya justru membawa gadis lain yang dianggap lebih
pantas menjadi isteri Aminuddin karena
status sosial yang sederajat dengan mereka.
Konflik
memuncak ketika Mariamin harus menikah dengan pria pilihan ibunya yaitu seorang
kerani bernama Kasibun. Mariamin sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan
setelah menikah dengan Kasibun. Ia justru harus mengalami kepahitan karena sang
suami memperlakukannya bagai binatang. Setiap hari Mariamin disiksa dan
dianiaya oleh Kasibun.
Peleraian
dimulai ketika Mariamin sudah tidak tahan lagi atas perlakuan Kasibun. Kemudian
ia melaporkan tindakan itu ke polisi dan Kasibun pun ditangkap dan harus
membayar denda kepada Mariamin serta harus memutuskan tali pernikahannya dengan
Mariamin. Ia pun kembali ke gubuknya di Desa Sipirok. Pada akhirnya azab dan sengsara
Mariamin pun berakhir. Anak shaleh itu menemui ajalnya. Nyawanya bercerai
bercerai dengan badan. Arwah yang suci itu naik ke tempat yang mahamulia. Azab
dan sengsara dunia ini telah tinggal diatas bumi, berkubur dengan jazad badan
yang kasar itu.
2.1.4
Setting (latar):
Latar tempat:
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
3. Sungai di kota Sipirok.
4. Rumah Mariamin yang besar.
4. Rumah Mariamin yang besar.
5. Di Medan (Deli) di rumah Kasibun (suami Mariamin)
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
7. Kampung A yang dikepalai oleh
Bapaknya Aminuddin
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A
Azab dan Sengsara
Nama
Novel dan Pengarang
Nama
Novel : Azab dan Sengsara
Pengarang : Merari Siregar
Ø Sinopsis
Novel Azab dan Sengsara
Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah
Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga
tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia
memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin yang memiliki
paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua laki-laki yang berusia empat
tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup
bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh
keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Semua
permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak mau mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Di Medan Aminuddin bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin. Bahkan dalam suratnya mengatakan hendak meminang Mariamin untuk dijadikan istrinya.
Aminuddin menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin. Tapi ayah Aminuddin malah membawa perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminuddin. Pendapat itu bersumber dari seorang dukun yang dimintai pendapat ayah Aminuddin. Dengan sangat terpaksa, kecewa, dan menyesal Aminuddin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular kepadanya.
Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang kembali ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini.
Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak mau mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Di Medan Aminuddin bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin. Bahkan dalam suratnya mengatakan hendak meminang Mariamin untuk dijadikan istrinya.
Aminuddin menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin. Tapi ayah Aminuddin malah membawa perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminuddin. Pendapat itu bersumber dari seorang dukun yang dimintai pendapat ayah Aminuddin. Dengan sangat terpaksa, kecewa, dan menyesal Aminuddin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular kepadanya.
Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang kembali ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini.
Ø .
Unsur Intrinsik
A. Tema
: Tidak selamanya
kebahagiaan dapat diperoleh dengan mudah harus ada
pengorbanan
B. Penokohan (karakterisasi,
perwatakan)
Penokohan
adalah proses penampilan ‘tokoh’ sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu
pementasan lakon. Tokoh serta karakter dalam lakon drama ini adalah sebagai
berikut.
1) Mariamin adalah seorang gadis yang
cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan baik hati. Karakter baik
hati dan berbakti kepada orang tua dapat dilihat dari penggalan percakapan,
“Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak,” kata Mariamin seraya mengatur makanan
dan sajur jang dibawanja sendiri dari gunung untuk ibunja yang sakit itu.
2) Aminudin adalah seorang anak yang
berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong, berbakti dan sangat pintar. Berbudi
pekerti luhur, jiwa penolng Aminudin dapat dilihat dari penggalan dialog : “Ia
menolong mencangkul sawah Mak Mariamin.. Udin mempunyai kasihan, itulah
sebabnya ia menolong mamaknya.” Mendengar itu, suaminya tinggal diam; Ia tiada
marah mendengar umpatan itu.
3) Sutan Baringin adalah seorang yang suka membuat
masalah dan takabur dengan hartanya. Watak tidak baiknya itu dapat dilihat dari penarasian
penulis sebagaimana berikut ini ; Sutan Baringin terbilang hartawan lagi
bangsawan seantero penduduk sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka
berperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan
penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhir jatuh miskin, sedang yang dicarinya
dalam perkara itu tiada seberapa bila dibandingkan dengan kerugian-kerugiannya.
4) Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang penyayang dan baik
hati. Wujud kasih sayang itu sebagaimana dapat dilihat dari penggalan dialog
berikut ini ; “Anakku sudah makan?” bertanya si ibu seraya menarik tangan budak
itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.
5) Baginda
Diatas atau ayah Aminuddin adalah seorang kepala kampung atau bangsawan yang kaya raya dan disegani
serta dihormati. Hal itu dibuktikan
dengan penggalan narasi langsung dari penulis sebagai berikut ; “Dia (Aminudin)
adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang
terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak”.
6) Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang
sama seperti suaminya Baginda Diatas, dia juga penyayang.
C. Alur (Plot)
Alur dalam novel “Azab dan
Sengsara” ini menggunakan alur campuran, yaitu alur maju dan alurmundur.
Konflik dimulai ketika Aminuddin mengatakan kepada Mariamin
bahwa dia akan merantau ke Medan untuk mencari pekerjaan. Mariamin yang
ditinggalkan merasa sangat bersedih dan putus asa. Ditambah lagi ibunda
Mariamin sedang sakit parah. Hal ini menambah kepedihan hati Mariamin. Namun
ketika Aminuddin meminta ayahnya untuk membawa Mariamin ke Medan untuk
dinikahinya, ayahnya justru membawa gadis lain yang dianggap lebih pantas
menjadi isteri Aminuddin karena status
sosial yang sederajat dengan mereka.
Konflik memuncak ketika Mariamin
harus menikah dengan pria pilihan ibunya yaitu seorang kerani bernama Kasibun.
Mariamin sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan setelah menikah dengan
Kasibun. Ia justru harus mengalami kepahitan karena sang suami memperlakukannya
bagai binatang. Setiap hari Mariamin disiksa dan dianiaya oleh Kasibun.
Peleraian
dimulai ketika Mariamin sudah tidak tahan lagi atas perlakuan Kasibun. Kemudian
ia melaporkan tindakan itu ke polisi dan Kasibun pun ditangkap dan harus
membayar denda kepada Mariamin serta harus memutuskan tali pernikahannya dengan
Mariamin. Ia pun kembali ke gubuknya di Desa Sipirok. Pada akhirnya azab dan
sengsara Mariamin pun berakhir. Anak shaleh itu menemui ajalnya. Nyawanya
bercerai bercerai dengan badan. Arwah yang suci itu naik ke tempat yang
mahamulia. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal diatas bumi, berkubur
dengan jazad badan yang kasar itu.
D. Setting (latar):
Latar tempat:
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
3. Sungai di kota Sipirok.
4. Rumah Mariamin yang besar.
4. Rumah Mariamin yang besar.
5. Di Medan (Deli) di rumah Kasibun (suami Mariamin)
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
7. Kampung A yang dikepalai oleh
Bapaknya Aminuddin
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A
Latar
waktu:
Terjadi pada senja, pagi hari,
siang, dan malam hari
Latar suasana:
Menyedihkan, senang, haru,
tegang.
E. Sudut Pandang
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)
F. Gaya dan Nada
Gaya
penulisan novel ini adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dicampuri
oleh bahasa Melayu. Novel ini belum menggunakan EYD atau ejaan yang
disempurnakan. Selain itu pada setiap awal bab pengarang menggunakan
penggambaran-penggambaran baik itu mengenai alam yang menjadi latar cerita
maupun penggambaran tentang tokoh-tokoh dengan menggunakan bahasa yang indah.
Misalnya “ Maka angin itu pun bertambahlah sedikit kerasnya sehingga daun dan
cabang-cabang kayu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai menunjukkan
kegirangannya, karena cahaya yang panas itu sudah bertukar dengan hawa yang
sejuk dan nyaman rasanya.
Latar waktu:
Terjadi
pada senja, pagi hari, siang, dan malam hari
Latar suasana:
Menyedihkan, senang, haru,
tegang.
2.1.5
Sudut Pandang
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)
2.1.6
Gaya dan Nada
Gaya
penulisan novel ini adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dicampuri
oleh bahasa Melayu. Novel ini belum menggunakan EYD atau ejaan yang
disempurnakan. Selain itu pada setiap awal bab pengarang menggunakan penggambaran-penggambaran
baik itu mengenai alam yang menjadi latar cerita maupun penggambaran tentang
tokoh-tokoh dengan menggunakan bahasa yang indah. Misalnya “ Maka angin itu pun
bertambahlah sedikit kerasnya sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-goyang
perlahan-lahan sebagai menunjukkan kegirangannya, karena cahaya yang panas itu
sudah bertukar dengan hawa yang sejuk dan nyaman rasanya.
2.2 Pendekatan
Historis
Pendekatan
historis menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang
peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa terwujudnya prosa fiksi yang dibaca, serta tentang bagaimana
perkembangan kehidupan penciptaan maupun
kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.
Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara, 13 Juli 1896.
Masa kecil dilalui penulis berdarah Batak ini di kampung halamannya. OIeh
karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwanya amat dipengaruhi oleh kehidupan
masyarakat Sipirok. Saat itu, ia kerap menjumpai kepincangan-kepincangan
khususnya mengenai adat, salah satunya kawin paksa.
Setelah beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat
keadaan sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai
dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah
kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok.
Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi
karya tulisnya yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat
pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis
yang ditandai dengan berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur (Komisi untuk
Bacaan Rakyat) di tahun 1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar
bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan
para pelajar sekolah bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita
rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun.
Seiring berjalannya waktu, prosa Indonesia mulai berkembang menjadi lebih
modern karena semakin banyaknya pengarang yang ‘bergaul’ dengan karya sastra
barat, terutama Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran.
Perkembangan itu semakin tampak saat Commissie Voor de VoLfcslectuur berubah
nama menjadi Balai Pustaka. Perubahan itu juga disertai penambahan tugas, yaitu
melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru.
Selain sebagai pengarang,
Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor
berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah
karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam
kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan
Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit
tahun 1879.
Salah satunya dengan menampilkan kemandirian pada tokoh-tokoh cerita. Yang
dimaksud dengan istilah kemandirian di sini adalah, para tokoh itu dapat
menentukan nasibnya sendiri dan tidak tergantung pada lingkungan dan ikatan
masyarakat. Kemandirian itulah yang tercermin dalam roman karya Merari Siregar,
Azab dan Sengsara, dengan tokoh utamanya seorang gadis Batak bernama Mariamin.
Kesadaran Mariamin terlihat ketika ia mengakhiri penderitaan yang menimpa
dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan tokoh
Mariamin ini dimaksudkan Merari untuk menggugah para pembaca tentang
penderitaan akibat kawin paksa. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini
digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin
dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak
di rumah.
Dalam roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada
pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena
maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan
kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang
dikutip dari situs Laman Badan Bahasa, "Saya mengarang ceritera ini,
dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di
tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya
diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini
meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka,
cuma waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata
dan terang."
Secara keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan
20-an pada umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan
menipisnya kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan
pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain tercermin dalam
penggunaan pantun dan syair.
Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya
sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan
mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul
"Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang
berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche
Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879.
Ide cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras
dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan
bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia
Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha
memberantas pemabukan, mereka masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu,
misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.
Ketika menyadur Si Jamin dan Si Johan, Merari sempat menemui hambatan saat
memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
ukuran kemiskinan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan di Indonesia,
begitu pula dengan kehidupan spiritualnya. Orang miskin di Eropa melarikan diri
dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang
meminum minuman keras adalah orang kaya. Pria Eropa pergi ke gereja bersama
anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke masjid tanpa istri
dan anak perempuannya.
Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan, masih ada beberapa
karya Merari lainnya meski tidak semasyur dua karya tadi, karya-karya itu
adalah Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kota
Betawi, serta roman Cinta dan Hawa Nafsu.
Selain dikenal sebagai sastrawan, dalam kesehariannya ia bekerja sebagai
guru. Profesinya sebagai guru sedikit banyak berpengaruh pada gaya bercerita
dan karya sastranya, baik karya asli maupun saduran. Penggunaan bahasa yang
lancar dan rapi, ia tonjolkan dalam setiap karyanya untuk menarik pembaca. Di
samping bahasa yang enak dibaca, Merari juga memberi nasihat, mengecam
ketidakadilan, serta memberi pujian pada tindakan yang tidak menyalahi aturan
ataupun norma yang berlaku dalam masyarakat.
Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah
di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian
dilanjutkan ke Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ yang berlokasi di Gunung Sahari,
Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di
sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot
Van Oost En West.
Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di dunia
pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari ibukota provinsi
Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di Jakarta, tepatnya di Rumah
Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di Opium end Zouregie di daerah Kalianget,
Madura, hingga akhir hayatnya.
Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang
anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna
Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang
lahir 25 Juli 1932.
2.3 Pendekatan
Didaktis
Pendekatan
didaktis berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun
sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan maupun sikap itu dalam hl ini akan
mampu terwujud dalamdalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis,
sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah
pembaca. Nilai-nilai yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara diantaranya:
1. Nilai Moral
Dari novel Azab dan Sengsara ini terdapat beberapa nilai
moral yaitu kepatuhan seorang anak
kepada orang tuanya. Mariamin contohnya. Ia sangat berbakti pada ibunya. Dengan
sabar dan ikhlas ia merawat ibunya yang sakit parah. Ia tak sedikit pun
menyakiti hati ibunya dengan memperlihatkan rasa sedihnya karena ditinggal oleh
Aminuddin. Selain itu, ia juga bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Hal
tersebut memperlihatkan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Begitu
pula ketika ibunya menginginkannya untuk menikah dengan seorang kerani yang
bernama Kasibun, Mariamin tidak berani menolak karena tidak ingin menyakiti
hati ibunya. Rasa patuh itu pun diperlihatkan oleh Aminuddin, ia yang sangat
menginginkan Mariamin menjadi istrinya terpaksa harus menikahi gadis lain,
karena ayahnya tidak menyetujui jika ia menikah dengan gadis yang status
sosialnya tidak sepadan dengan keluarganya.
Nilai
moral lain yaitu isteri yang sangat berbakti dan mencintai suaminya apa adanya
yang diperlihatkan oleh Nuria ibunda Mariamin. Ia tetap dengan tulus mencintai
Sultan Baringin padahal perangai Sultan Baringin sangat buruk dan bahkan sering
manyakiti hatinya. Dalam keadaan melarat pun ia masih tetap mencintai suaminya
itu, merawatnya disaat sakit hingga ajal menjemputnya.
Selain
itu adik Sutan Baringin yang bernama Baginda mulia juga memperlihatkan kepada
pembaca tentang nilai moral. Ia sangat menghormati kakaknya, padahal Sultan
Baringin sangat membencinya dan bahkan menuduhnya ingin merebut harta warisan
tinggalan neneknya. Ia pun tak begitu saja membenci kakaknya itu, ia berusaha
agar Sultan Baringin dapat menerimanya dan tidak menuduhnya ingin merebut harta
warisan. Namun kakaknya yang keras dan tetap menuntut agar diproses secara
hukum.
2. Nilai Agama
Sebagai
seorang umat yang beragama, ketika menghadapi cobaan hidup kita harus tetap
bersabar, berusaha menghadapinya dengan tabah, dan bertawakal kepada Allah. Hal
ini tercermin pada novel ini. Mariamin yang selalu mendapatkan sengsara karena
kehidupan yang melarat, tidak bisa bersatu dengan kekasihnya, serta memperoleh
suami yang jahat. Ia tidak sekali pun menyalahkan Tuhan karena telah memberikan
cobaan yang berat. Begitu juga dengan ibunda Mariamin yang senantiasa sabar dan
tabah dalam menghadapi suaminya yang selalu menyakitinya dengan ucapan maupun
perbuatan yang kasar. Ia juga tidak sekali pun menyalahkan nasib.
3. Nilai Budaya
Nilai
budaya yang menonjol pada novel ini yaitu adat masyarakat Sipirok waktu itu
masih sangat kental akan adat melayu. Masih jelas sekali adanya perjodohan.
Dalam hal perjodohan ini pun masih ada aturan yang berlaku, yaitu anak orang
terpandang haruslah menikah dengan anak orang terpandang pula. Kemudian
masyarakat yang masih sangat menghormati Kepala Kampungnya. Kepala kampung
dianggap sebagai orang yang sangat tinggi kedudukannya.
4. Nilai Pendidikan
Nilai
pendidikan yang dapat kita petik dari novel Azab dan Sengsara yaitu anak
haruslah patuh pada kedua orang tua dan menuruti apa kata mereka selama itu
bukan perbuuatan maksiat. Selain itu bahwa kita harus belajar untuk dapat
bersabar karena orang yang bersifat baik belum tentu merasakan hidup yang baik
pula.
5. Nilai
Sosial
Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, penggambaran hubungan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut
meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama
manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya.
Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong
Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan
untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk
sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong
Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang
mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia
sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah.
Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya
mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan
oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama.
Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap
suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal
pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah, masyarakat
membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena
sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa.
6. Nilai Kekeluargaan
Nilai-nilai kekeluargaan juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan.
Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari
Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek
moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga).
Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih
dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada
marga yang lain.
Secara kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas
kekerabatan masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi
akan berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah
yang menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya.
Selain sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari
Siregar ini digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama.
Hal ini dapat dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin.
Walaupun Baginda Diatas telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap
menjamu Baginda Diatas sebagaimana layaknya seorang tamu.
Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku tetap menyambung tali
silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga Aminuddin dan keluarga
Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin menerima Baginda Diatas
(ayah Aminuddin) dengan ramah-tamah. Begitu pula sebaliknya, Baginda Diatas
memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena tergolong keluarga miskin.
Hubungan silaturahmi ini jelas sekali tergambar ketika Aminuddin berkunjung
ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan berita bahwa Mariamin telah
menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya. Aminuddin mengunjungi Mariamin
karena dianggap sebagai saudara sekampung.
2.4 Pendekatan
Sosiopsikologis
Pendekatan
sosiopsikologis berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya,
kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap
lingkungan kehidupannya atau zamannya pada saat prosa fiksi diwujudkan.
Kisah cinta abadi penuh duka antara Maraiamin dengan Aminudin. Dua sejoli
yang dipisahkan oleh harapan akan nasib baik di tanah rantau, ternyata
mendatangkan petaka yang memupus cinta Mariamin hingga ke lubang kematian. Inilah
parodi yang paling gelap tentang stereotipe kota dan desa, bahwa tidak
selamanya tanah rantau yang bagi kebudayaan Minang dianggap tanah harapan,
selalu bisa memberi kebahagiaan. Aminuddin yang terjebak ke dalam nilai-nilai
baru yang dianggapnya lenih baik, pada akhirnya tak pernah merasa kasih sayang
sejati. Ia adalah potret manusia gagal yang senantiasa berlari, dan terus
berlari.
Kehidupan
yang dijalani oleh manusia di dunia ini adalah kehidupan bermasyarakat karena
manusia merupakan makhluk sosial. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa orang
lain. Hubungan manusia dengan masyarakat harus dilihat sebagai hubungan
seseorang dengan masyarakat secara terpadu bukan dengan manusia secara
perseorangan. Hubungan itu merupakan realisasi dari dorongan naluri “bergaul”
bagi manusia yang keberadaannya di dalam diri manusia sejak lahir manusia,
tanpa dipelajari. Dalam hubungan itu, manusia akan melibatkan dirinya dalam
masyarakat secara penuh tanpa mempersoalkan keuntungan dan kerugian yang
diperolehnya dalam masyarakat itu. Akibat yang diperoleh dari hubungan ini,
tentu saja ada. Karena manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia itu akan
menderita putus asa, terobsesi, merasa tidak pernah menerima keadilan, dan
sebagainya. Manusia tidak bebas, selalu diteror atau meneror waktu, adalah
suatu akibat yang ditimbulkan oleh hubungan manusia dengan masyarakat itu.
Dalam
novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, penggambaran hubungan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi
sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia,
peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya.
Sikap
tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang
terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk
menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai
yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin.
Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan
hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap suka menolong
juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu
teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin
pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun
akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin
semata-mata untuk membantu sesama. Masyarakat yang ada di sekitar tempat
tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat
seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam
keadaan yang serba kekurangan itulah, masyarakat membantu sang ibu, baik dari
segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat
apa-apa.
Nilai-nilai
sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang
menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat
menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat
kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga). Masyarakat Batak tidak
akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara.
Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga yang lain. Secara
kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas kekerabatan
masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi akan
berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah yang
menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya.
Selain
sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini
digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Hal ini dapat
dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin. Walaupun Baginda Diatas
telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap menjamu Baginda Diatas
sebagaimana layaknya seorang tamu. Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku
tetap menyambung tali silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga
Aminuddin dan keluarga Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin
menerima Baginda Diatas (ayah Aminuddin) dengan ramah-tamah. Begitu pula
sebaliknya, Baginda Diatas memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena
tergolong keluarga miskin.Hubungan silaturahmi ini jelas sekali tergambar
ketika Aminuddin berkunjung ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan
berita bahwa Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya.
Aminuddin mengunjungi Mariamin karena dianggap sebagai saudara sekampung.
2.5 Pendekatan Emotif
Pendekatan
emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsure-unsur yang
menggugah perasan pembaca yang dapat berhubungan dengan keindahan penyajian
bentuk maupun isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Dalam novel Azab dan Sengsara,
pengarang menyuguhkan rasa senang dan sedih kepada pembaca.
Dalam kutipan di bawah ini:
“ Sejak kecil, Aminuddin bersahabat
dengan Mariamin. Setelah keduanya beranjak dewasa, mereka saling jatuh cinta.
Aminuddin sangat mencintai Mariamin dan berjanji akan melamar Mariamin bila
telah mendapatkan pekerjaan. Keadaan yang miskin tidak menjadi masalah bagi
Aminuddin.”
Pengarang
memberi perasaan senang kepada pembaca,
karena cinta yang begitu tulus antara
Mariamin dan Aminuddin, juga kesetiaan Mariamin memberikan rasa kagum dan
terharu pada pembacanya.
Kutipan cerita bahagia lainnya
adalah:
“ Baginda mengirim telegram yang
isinya meminta Aminuddin menjemput calon isteri dan keluarganya di stasiun
kereta api di Medan. Menerima telegram tersebut, Aminuddin merasa sangat
gembira. Dalam hatinya telah terbayang wajah Mariamin.”
Setelah
cerita di atas, tidak ada kebahagiaan lagi yang dimunculkan oleh pengarang.
Hanya kesedihan dan kesengsaraan yang kerena dua insan yang saling mencintai
yaitu Mariamin dan Aminuddin tidak dapat bersatu, mereka menikah dengan pilihan
orang tua mereka yang bahkan tidak mereka cintai.
Dalam salah satu penggalan cerita yaitu ketika Mariamin
menikah dengan lelaki yang tidak dikenalnya, serta tidak jelas latar
belakangnya. Lalu tidak lama kemudian pasca pernikahan mereka, ibu Mariamin
tutup usia. Setelah setahun usia pernikahan, barulah Mariamin tahu benar
seperti apa suami yang dinikahinya ini, sosok lelaki yang boros, malas bekerja,
dan suka berfoya-foya. Dari sinilah awal mula penderitaan Mariamin diawali,
Mariamin menikah dengan orang yang tidak
tepat. Mariamin adalah seorang anak yang tidak memiliki
orang tua hidup seorang diri, dan dalam kemalangannya
menghadapi tabiat dan tingkah laku sang suami dirinya harus bertahan hidup dengan
sisa uang yang tak seberapa demi anak dalam kandungannya. Serta rentetan cerita
yang menceritakan penderitaan Mariamin yang tidak kunjung habis bahkan hingga
akhir hayatnya. Penulis menceritakan setiap detil cerita dengan teliti dan
tidak tergesa-gesa, penggunaan bahasa yang mendayu-dayu dan pemilihan kata yang
tepat, sehingga tercipta gambaran pada pikiran pembaca bahwa disini keadaan
Mariamin sangat menyedihkan dan sengsara oleh perilaku suaminya. Penulis
berhasil memainkan perasaan pembaca karena penulis berhasil menarik pembaca
untuk mengikuti alur cerita yang menghanyutkan perasaan. Penyusunan cerita yang
seperti ini tidak lepas pula dari usaha dalam memberi nilai keindahan dalam
karya sastra tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1
SIMPULAN
Dari
hasil analisis novel Azab dan Sengsara melalui melalui beberapa pendekatan,
dapat disimpulkan bahwa novel ini sangatlah menarik. Novel ini memiliki kelima
pendekatan yang digunakan untuk menganalisis prosa fiksi. Novel ini juga
menggambarkan tentang kerasnya hidup dan pada akhirnya mengajarkan kita ke arah
kebaikan. Selain itu novel ini mengajarkan makna kehidupan tak selamanya orang
berada di atas ada kalanya mereka berada di bawah. Hal lain yang tidak kalah
penting yaitu mengajari kita bahwa orang yang kebaikan tak selamanya
mendatangkan keberuntungan.
3.2
SARAN
Dengan
membaca makalah ini, diharapkan pemabaca dapaat lebih memahami pesan-pesan yang
terdapat dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Serta dapat
mengambil sisi positif dari kisah Mariamin yang sangat mengharukan. Selain itu
diharapkan bahwa pembaca tidak hanya sekadar membaca sebagai hiburan semata
namun juga mendapatkan pelajaran berharga yang dapat dipetik dari novel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin.
2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:
Sinar Baru Algen Sindo.
Haryati, Nas. 2011. Apresiasi Prosa Indonesia. Semarang:
UNNES PRESS.
Siregar, Merari. 1965. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai
Pustaka.
Langkah-langkah menulis karangan narasi
- Tentukan dulu tema dan amanat yang akan disampaikan
- Tetapkan sasaran pembaca
- Rancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam bentuk skema alur
- Bagi peristiwa utama itu ke dalam bagian awal, perkembangan, dan akhir cerita
- Rincian peristiwa-peristiwa utama ke dalam detail-detail peristiwa sebagai pendukung cerita
- Susun tokoh dan perwatakan, latar, dan sudut pandangan
- mengerti aturan tanda bacanya dalam kalimat tersebut
No comments:
Post a Comment