Thursday, March 5, 2015

ANALISIS NOVEL ”AZAB DAN SENGSARA” OLEH : FAISAL EFENDI

ANALISIS NOVEL ”AZAB DAN SENGSARA
OLEH : FAISAL EFENDI
N I M : 100705001
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Sinopsis
Novel yang berjudul “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini menceritakan kisah kehidupan seorang anak gadis bernama Mariamin. Mariamin tinggal dipondok bambu beratapkan ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok. Di waktu senja Mariamin atau yang biasa dipanggil Riam seperti biasanya duduk di sebuah batu besar di depan rumahnya menunggu kekasih nya datang. Mariamin sangat sedih karena Aminu’ddin, kekasihnya itu menemuinya untuk berpamitan sebab dia akan pergi ke Medan untuk mencari pekerjaan supaya dia bisa menikahi kekasihnya itu dan bisa mengeluarkan Mariamin dan keluarganya dari kesengsaraan. Aminuddin seorang anak muda berumur delapan belas tahun. Dia adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak. Adapun kekayaannya itu berasal dari peninggalan orangtuanya tetapi karena rajin bekerja, maka hartanya bertambah banyak. Ayah Aminu’ddin mempunyai budi yang baik. Sifat-sifatnya itu menurun pada anak laki-laki satu-satunya, Aminu’ddin. Aminuddin bertabiat baik, pengiba, rajin, dan cerdas.

Setelah Aminu’ddin pulang, Mariamin pun masuk kedalam rumahnya untuk menyuapi ibunya yang sedang sakit. Mariamin tidak ingin membuat ibunya sedih oleh karena itu ia berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya walaupun itu hanya sementara. Ibunya sangat mengenal gadis itu sehingga dia mengetahui kalau Mariamin sedang bersedih. Ibunya mengira kesedihan anaknya itu karena dia sedang sakit sebab sakitnya ibu Mariamin sudah lama sekali. Setelah selesai menyuapi ibunya, Mariamin pergi ke kamarnya untuk tidur. Mariamin tidak dapat memejamkan matanya, Pikirannya melayang mengingatkan masa lalunya ketika dia masih kecil.




Dahulu ayah Mariamin, Sutan Baringin adalah seorang yang terbilang hartawan dan bangsawan di seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya jatuh miskin dan hina. Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti berpengkara, tetapi tidak diindahkannya ia malah lebih mendengarkan perkataan pokrol bambu tukang menghasut bernama Marah Sait. Ibu Mariamin memang seorang perempuan yang penyabar, setia sederhana dan pengiba berlawanan dengan Sutan Baringin, suaminya yang pemarah, malas, tamak , angkuh dan bengis. Mariamin dan Aminu’ddin berteman karib sejak kecil apalagi mereka masih mempunyai hubungan saudara sebab ibu Aminu’ddin adalah ibu kandung dari Sutan Baringin, ayah Mariamin ditambah lagi Mariamin sangat berhutang budi kepada Aminu’ddin karena telah menyelamatkan nyawanya ketika Mariamin hanyut di sungai.

Setelah 3 bulan Aminu’ddin berada di Medan, dia mengirimkan surat kepada Mariamin memberitahukan kalau dia sudah mendapat pekerjaan, Mariamin pun membalas surat dari Aminu’ddin tersebut. Mariamin sangat bahagia menerima surat dari Aminu’ddin yang isinya menyuruh Mariamin untuk berkemas karena Aminuddin telah mengirim surat kepada orangtuanya untuk datang ke rumah Mariamin dan mengambil dia menjadi istrinya serta mengantarkannya ke Medan. Tetapi ayah Aminu’ddin tidak menyetujui permintaan putranya itu, biarpun istrinya membujuknya supaya memenuhi permintaan Aminu’ddin. Mariamin sudah mempersiapkan jamuan untuk menyambut kedatangan orang tua Aminu’ddin. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, malah yang datang adalah surat permintaan maaf dari Aminu’ddin. Dalam surat itu memberitahukan kalau kedua orang tua nya sudah berada di Medan dengan membawa gadis lain sebagai calon istrinya. Aminuddin sangat kecewa dan hatinya hancur tetapi dia tidak bisa menolak karena tidak ingin mempermalukan orang tuanya dan dia tidak mau durhaka pada orangtua Mariamin gadis yang solehah itu menerima maaf Aminu’ddin, dia menerima semuanya sebagai nasibnya dan harapannya untuk keluar dari kesengsaraan pun sudah pudar. Setelah dua tahun lamanya Mariamin pun menikah dengan orang yang belum dikenalnya, pria itu bernama Kasibun. Usia Kasibun agak tua, tidak tampan dan dia pintar dalam tipu daya, selain itu dia juga mengidap penyakit mematikan yang mudah menular pada pasangannya.
Aminu’ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya ketika itu suaminya sedang bekerja di kantor. Kasibun sangat marah setelah dia mengetahui kedatangan Aminu’ddin apalagi ketika Mariamin menolak berhubungan suami-istri.
Suaminya yang bengis itu tidak segan-segan menamparnya, memukulnya dan berbagai penyiksaan lainnya. Akhirnya karena dia sudah tidak tahan lagi Mariamin melaporkan perbuatan suaminya itu pada polisi. Sampai akhirnya mereka bercerai. Kesudahannya Mariamin terpaksa Pulang ke negrinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok. Hidup Mariamin sudah habis dan kesengsaraannya di dunia sudah berkesudahan. Azab dan Sengsara dunia ini sudah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.
1.2  Latar Belakang
Salah satu jenis prosa fiksi baru adalah novel. Salah satu contoh novel yaitu Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel angkatan 20an ini menceritakan kehidupan Mariamin yang penuh dengan sengsara. Kesengsaraan itu dirasaakan bagai azab yang tak kunjung berhenti menimpanya.
Untuk dapat memahami novel ini secara mendalam, kami menganalisis novel ini dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan analitis, historis, didaktis, emotif, dan sosiopsikologis. Kami menggunakan semua pendekatan tersebut bertujuan agar pembaca dapat lebih memahami pesan yang disampaikan penulis dalam novel tersebut.

1.3  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan analitis?
2.      Bagaimana analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan historis?
3.      Bagaimana analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan didaktis?
4.      Bagaimana analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan sosiopsikologis?
5.      Bagaimana analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan emotif?

1.4  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan analitis.
2.      Mengetahui analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan historis.
3.      Mengetahui analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan didaktis.
4.      Mengetahui analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan sosiopsikologis.
5.      Mengetahui analisis novel Azab dan Sengsara berdasarkan pendekatan emotif.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Analitis
Pendekatan analitis adalah pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajinasikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik, dan mekanisme hubungan dari setiap unsur intrinsik sehingga membangun keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Dalam analisis sebuah lakon melalui pendekatan analitis adalah sebagai berikut.
2.1.1        Tema dan amanat
Tema adalah gagasan, ide atau pikiran pokok utama di dalam karya sastra, baik terungkap maupun tersirat. Tema dalam sebuah novel ini adalah “Kesengsaraan kedua anak manusia karena kasih tak sampai”.
Sedangkan amanat dalam novel ini adalah (1) Allah S.W.T  menjadikan laki-laki dan perempuan dan mempersatukan mereka itu dengan maksud, supaya mereka itu berkasih-kasihan; si perempuan menyenangkan hati suaminya dan si suami menghiburkan hari istrinya. Maka seharusnyalah mereka sehidup semati, artinya; kesengsaraan sama di tanggung, kesenangan sama dirasa. Itulah kewajiban seorang suami istri. (2) Jika menjadi orang tua janganlah pernah sekali-kali menjodohkan anak kita dengan pilihan kita sendiri, biarlah sang anak memilih orang yang benar-benar bisa mengerti, menemani, mencintai dan menerima apa adanya serta menjadi teman baginya untuk sehidup dan semati, dan jangan pernah memandang materi suatu kaum, sebanarnya Tuhan itu Maha Kaya. (3). Mensyukuri dan manfaatkan sebaik mungkin harta atau rizki yang Allah berikan kepada kita, niscaya Dia akan menambahkannya dan janganlah memandang orang dari segi fisik atau kekayaannya, tetapi pandanglah dari segi ketaqwaannya. (4) Menolong sesama adalah kewajiban setiap insan, seberat apapun derita yang menimpa, kita harus selalu sabar, tegar, selalu berdoa, husnudzon kepada Sang Pencipta, dan tidak patah semangat karena setiap kebaikan atau pun keburukan yang kita perbuat, pasti akan mendapat balasan yang setimpal.           



2.1.2        Penokohan (karakterisasi, perwatakan)
Penokohan adalah proses penampilan ‘tokoh’ sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu pementasan lakon. Tokoh serta karakter dalam lakon drama ini adalah sebagai berikut.
1.    Mariamin adalah seorang gadis yang cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan baik hati. Karakter baik hati dan berbakti kepada orang tua dapat dilihat dari penggalan percakapan, “Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak,” kata Mariamin seraya mengatur makanan dan sajur jang dibawanja sendiri dari gunung untuk ibunja yang sakit itu.
2.    Aminudin adalah seorang anak yang berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong, berbakti dan sangat pintar. Berbudi pekerti luhur, jiwa penolng Aminudin dapat dilihat dari penggalan dialog : “Ia menolong mencangkul sawah Mak Mariamin.. Udin mempunyai kasihan, itulah sebabnya ia menolong mamaknya.” Mendengar itu, suaminya tinggal diam; Ia tiada marah mendengar umpatan itu.
3.    Sutan Baringin adalah seorang yang suka membuat masalah dan takabur dengan hartanya. Watak tidak baiknya itu dapat dilihat dari penarasian penulis sebagaimana berikut ini ; Sutan Baringin terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhir jatuh miskin, sedang yang dicarinya dalam perkara itu tiada seberapa bila dibandingkan dengan kerugian-kerugiannya.
4.    Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang penyayang dan baik hati. Wujud kasih sayang itu sebagaimana dapat dilihat dari penggalan dialog berikut ini ; “Anakku sudah makan?” bertanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.   
5.      Baginda Diatas atau ayah Aminuddin adalah seorang kepala kampung atau bangsawan yang kaya raya dan disegani serta dihormati. Hal itu dibuktikan dengan penggalan narasi langsung dari penulis sebagai berikut ; “Dia (Aminudin) adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak”.



6. Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang sama seperti suaminya Baginda Diatas, dia juga penyayang.
Kutipan:
“Adinda pun tahu juga, anak kita itu Kakanda cintai, sebagaimana Adinda mencintai dia’.
“adinda amat setuju dan memuji perbuatan anak kita itu. Sungguhpun ia muda, tetapi telah tua pikirannya, ia telah punya perasaan kepada mereka yang dalam kemiskinan itu”
Orang kaya sifatnya baik hati, penolong dan tidak sombong atas harta-hartanya
Kutipan:
“Ya, ya, jangan susah hati, pulanglah, bawalah uang ini akan belanjamu”
“Uangmu ini hendak aku simpan, dan apabila berguna bagimu, beri kabar kepadaku, nanti kukirim ketempat tinggalmu”.
7. Kasibun adalah laki-laki hidung belang yang bertingkah laku buruk dan kasar terhadap istrinya(Mariamin) dia juga sering menyiksa istrinya dan tidak punya rasa belas kasiyan.
Kutipan:
“Tutup mulutmu! Saya mau tidur!”, kalau matanya berat dan ia malas bangkit dari tempat tidur, tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin, apapun yang kena tidak dipedulikannya.
 8. Baginda Mulia sifatnya baik, sopan, suka berdamai, ia juga lebih suka persaudaraan dari pada harta.
Kutipan:
“Apalah gunanya kita berselisih karena harta peninggalan nenek kita. Bukankah kebaikan dari orang bersaudara itu lebih berharga dari pada emas dan perak? Itupun harapan Adindaini akan kemurahan Kakanda, eloklah kita berdamai supaya semangat mendiang nenek kita jangan gusar atas perbuatan kita itu”.

9. Marah Sait(Pakrol Bambu/Pengacara) sifatnya jahat, licik, cerdik, pintar dan mata duitan.
Kutipam:
“Bersumpah? Apakah susahnya itu. Takutkah engkau dimakan sumpah? Akulah yang akan mencari orang itu sampai dapat asal engkau menyediakan ini(uang)...?
10. Istri Aminudin



6.    Mariamin adalah seorang gadis yang cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan baik hati.
7.    Aminudin adalah seorang anak yang berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong, berbakti dan sangat pintar.
8.    Sutan Baringin adalah seorang yang berwatak keras dan sombong.
9.    Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang yang lembut, penyayang dan baik hati.    
10.  Baginda Diatas atau ayah Aminuddin adalah seorang kepala kampong atau bangsawan yang kaya raya dan disegani serta dihormati.¨           
11.  Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang sama seperti suaminya Baginda Diatas.           
12.  Kasibun adalah laki-laki hidung belang yang bertingkah laku buruk dan kasar terhadap istrinya(Mariamin).
13.          Istri Aminuddin    
14.          Baginda Mulia
15.    Marah Sait (Pakrol Bambu atau Pengacara)  




2.1.3        Alur (Plot)
Alur dalam novel “Azab dan Sengsara” ini menggunakan alur campuran, yaitu alur maju dan alur mundur.
Konflik dimulai ketika Aminuddin mengatakan kepada Mariamin bahwa dia akan merantau ke Medan untuk mencari pekerjaan. Mariamin yang ditinggalkan merasa sangat bersedih dan putus asa. Ditambah lagi ibunda Mariamin sedang sakit parah. Hal ini menambah kepedihan hati Mariamin. Namun ketika Aminuddin meminta ayahnya untuk membawa Mariamin ke Medan untuk dinikahinya, ayahnya justru membawa gadis lain yang dianggap lebih pantas menjadi isteri Aminuddin  karena status sosial yang sederajat dengan mereka.
Konflik memuncak ketika Mariamin harus menikah dengan pria pilihan ibunya yaitu seorang kerani bernama Kasibun. Mariamin sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan setelah menikah dengan Kasibun. Ia justru harus mengalami kepahitan karena sang suami memperlakukannya bagai binatang. Setiap hari Mariamin disiksa dan dianiaya oleh Kasibun.
Peleraian dimulai ketika Mariamin sudah tidak tahan lagi atas perlakuan Kasibun. Kemudian ia melaporkan tindakan itu ke polisi dan Kasibun pun ditangkap dan harus membayar denda kepada Mariamin serta harus memutuskan tali pernikahannya dengan Mariamin. Ia pun kembali ke gubuknya di Desa Sipirok. Pada akhirnya azab dan sengsara Mariamin pun berakhir. Anak shaleh itu menemui ajalnya. Nyawanya bercerai bercerai dengan badan. Arwah yang suci itu naik ke tempat yang mahamulia. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal diatas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.

2.1.4        Setting (latar):
Latar tempat:  
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.  
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
3. Sungai di kota Sipirok.      
4. Rumah Mariamin yang besar.
5. Di Medan (Deli) di rumah Kasibun (suami Mariamin)      
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
7. Kampung A yang dikepalai oleh Bapaknya Aminuddin   
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A
Azab dan Sengsara
Nama Novel dan Pengarang
Nama Novel               : Azab dan Sengsara
Pengarang                  : Merari Siregar

Ø  Sinopsis Novel Azab dan Sengsara

Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin yang memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak mau mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Di Medan Aminuddin bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin. Bahkan dalam suratnya mengatakan hendak meminang Mariamin untuk dijadikan istrinya.
Aminuddin menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin. Tapi ayah Aminuddin malah membawa perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminuddin. Pendapat itu bersumber dari seorang dukun yang dimintai pendapat ayah Aminuddin. Dengan sangat terpaksa, kecewa, dan menyesal Aminuddin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular kepadanya.
Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang kembali ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini.

Ø  . Unsur Intrinsik

A.  Tema              : Tidak selamanya kebahagiaan dapat diperoleh dengan  mudah harus  ada 
                          pengorbanan
B.     Penokohan (karakterisasi, perwatakan)
Penokohan adalah proses penampilan ‘tokoh’ sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu pementasan lakon. Tokoh serta karakter dalam lakon drama ini adalah sebagai berikut.
1)      Mariamin adalah seorang gadis yang cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan baik hati. Karakter baik hati dan berbakti kepada orang tua dapat dilihat dari penggalan percakapan, “Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak,” kata Mariamin seraya mengatur makanan dan sajur jang dibawanja sendiri dari gunung untuk ibunja yang sakit itu.
2)      Aminudin adalah seorang anak yang berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong, berbakti dan sangat pintar. Berbudi pekerti luhur, jiwa penolng Aminudin dapat dilihat dari penggalan dialog : “Ia menolong mencangkul sawah Mak Mariamin.. Udin mempunyai kasihan, itulah sebabnya ia menolong mamaknya.” Mendengar itu, suaminya tinggal diam; Ia tiada marah mendengar umpatan itu.


3)       Sutan Baringin adalah seorang yang suka membuat masalah dan takabur dengan hartanya. Watak tidak baiknya itu dapat dilihat dari penarasian penulis sebagaimana berikut ini ; Sutan Baringin terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhir jatuh miskin, sedang yang dicarinya dalam perkara itu tiada seberapa bila dibandingkan dengan kerugian-kerugiannya.
4)       Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang penyayang dan baik hati. Wujud kasih sayang itu sebagaimana dapat dilihat dari penggalan dialog berikut ini ; “Anakku sudah makan?” bertanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.
5)      Baginda Diatas atau ayah Aminuddin adalah seorang kepala kampung atau bangsawan yang kaya raya dan disegani serta dihormati. Hal itu dibuktikan dengan penggalan narasi langsung dari penulis sebagai berikut ; “Dia (Aminudin) adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak”.
6)      Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang sama seperti suaminya Baginda Diatas, dia juga penyayang.

C.   Alur (Plot)
              Alur dalam novel “Azab dan Sengsara” ini menggunakan alur campuran, yaitu alur maju dan alurmundur.
        Konflik dimulai ketika Aminuddin mengatakan kepada Mariamin bahwa dia akan merantau ke Medan untuk mencari pekerjaan. Mariamin yang ditinggalkan merasa sangat bersedih dan putus asa. Ditambah lagi ibunda Mariamin sedang sakit parah. Hal ini menambah kepedihan hati Mariamin. Namun ketika Aminuddin meminta ayahnya untuk membawa Mariamin ke Medan untuk dinikahinya, ayahnya justru membawa gadis lain yang dianggap lebih pantas menjadi isteri Aminuddin  karena status sosial yang sederajat dengan mereka.
                    Konflik memuncak ketika Mariamin harus menikah dengan pria pilihan ibunya yaitu seorang kerani bernama Kasibun. Mariamin sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan setelah menikah dengan Kasibun. Ia justru harus mengalami kepahitan karena sang suami memperlakukannya bagai binatang. Setiap hari Mariamin disiksa dan dianiaya oleh Kasibun.
Peleraian dimulai ketika Mariamin sudah tidak tahan lagi atas perlakuan Kasibun. Kemudian ia melaporkan tindakan itu ke polisi dan Kasibun pun ditangkap dan harus membayar denda kepada Mariamin serta harus memutuskan tali pernikahannya dengan Mariamin. Ia pun kembali ke gubuknya di Desa Sipirok. Pada akhirnya azab dan sengsara Mariamin pun berakhir. Anak shaleh itu menemui ajalnya. Nyawanya bercerai bercerai dengan badan. Arwah yang suci itu naik ke tempat yang mahamulia. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal diatas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.

D.    Setting (latar):
Latar tempat:  
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.  
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
3. Sungai di kota Sipirok.      
4. Rumah Mariamin yang besar.
5. Di Medan (Deli) di rumah Kasibun (suami Mariamin)      
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
7. Kampung A yang dikepalai oleh Bapaknya Aminuddin   
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A

Latar waktu:
Terjadi pada senja, pagi hari, siang, dan malam hari
Latar suasana:
Menyedihkan, senang, haru, tegang.

E.     Sudut Pandang          
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2.    Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)



F.      Gaya dan Nada
Gaya penulisan novel ini adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dicampuri oleh bahasa Melayu. Novel ini belum menggunakan EYD atau ejaan yang disempurnakan. Selain itu pada setiap awal bab pengarang menggunakan penggambaran-penggambaran baik itu mengenai alam yang menjadi latar cerita maupun penggambaran tentang tokoh-tokoh dengan menggunakan bahasa yang indah. Misalnya “ Maka angin itu pun bertambahlah sedikit kerasnya sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai menunjukkan kegirangannya, karena cahaya yang panas itu sudah bertukar dengan hawa yang sejuk dan nyaman rasanya.




Latar waktu:
Terjadi pada senja, pagi hari, siang, dan malam hari
Latar suasana:
Menyedihkan, senang, haru, tegang.
2.1.5        Sudut Pandang          
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)
2.1.6        Gaya dan Nada
Gaya penulisan novel ini adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dicampuri oleh bahasa Melayu. Novel ini belum menggunakan EYD atau ejaan yang disempurnakan. Selain itu pada setiap awal bab pengarang menggunakan penggambaran-penggambaran baik itu mengenai alam yang menjadi latar cerita maupun penggambaran tentang tokoh-tokoh dengan menggunakan bahasa yang indah. Misalnya “ Maka angin itu pun bertambahlah sedikit kerasnya sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai menunjukkan kegirangannya, karena cahaya yang panas itu sudah bertukar dengan hawa yang sejuk dan nyaman rasanya.




2.2      Pendekatan Historis
Pendekatan historis menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa terwujudnya prosa fiksi yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan  maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.
Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara, 13 Juli 1896. Masa kecil dilalui penulis berdarah Batak ini di kampung halamannya. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwanya amat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Saat itu, ia kerap menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, salah satunya kawin paksa.
Setelah beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok.
Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi karya tulisnya yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yang ditandai dengan berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun 1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun.
Seiring berjalannya waktu, prosa Indonesia mulai berkembang menjadi lebih modern karena semakin banyaknya pengarang yang ‘bergaul’ dengan karya sastra barat, terutama Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Perkembangan itu semakin tampak saat Commissie Voor de VoLfcslectuur berubah nama menjadi Balai Pustaka. Perubahan itu juga disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru.
Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879.



Salah satunya dengan menampilkan kemandirian pada tokoh-tokoh cerita. Yang dimaksud dengan istilah kemandirian di sini adalah, para tokoh itu dapat menentukan nasibnya sendiri dan tidak tergantung pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian itulah yang tercermin dalam roman karya Merari Siregar, Azab dan Sengsara, dengan tokoh utamanya seorang gadis Batak bernama Mariamin. Kesadaran Mariamin terlihat ketika ia mengakhiri penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan tokoh Mariamin ini dimaksudkan Merari untuk menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Dalam roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang dikutip dari situs Laman Badan Bahasa, "Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang."
Secara keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879.



Ide cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha memberantas pemabukan, mereka masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.
Ketika menyadur Si Jamin dan Si Johan, Merari sempat menemui hambatan saat memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran kemiskinan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan di Indonesia, begitu pula dengan kehidupan spiritualnya. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang meminum minuman keras adalah orang kaya. Pria Eropa pergi ke gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke masjid tanpa istri dan anak perempuannya.
Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan, masih ada beberapa karya Merari lainnya meski tidak semasyur dua karya tadi, karya-karya itu adalah Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi, serta roman Cinta dan Hawa Nafsu.
Selain dikenal sebagai sastrawan, dalam kesehariannya ia bekerja sebagai guru. Profesinya sebagai guru sedikit banyak berpengaruh pada gaya bercerita dan karya sastranya, baik karya asli maupun saduran. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi, ia tonjolkan dalam setiap karyanya untuk menarik pembaca. Di samping bahasa yang enak dibaca, Merari juga memberi nasihat, mengecam ketidakadilan, serta memberi pujian pada tindakan yang tidak menyalahi aturan ataupun norma yang berlaku dalam masyarakat.
Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian dilanjutkan ke Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ yang berlokasi di Gunung Sahari, Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost En West.
Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di dunia pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari ibukota provinsi Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di Opium end Zouregie di daerah Kalianget, Madura, hingga akhir hayatnya.
Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.

2.3      Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan maupun sikap itu dalam hl ini akan mampu terwujud dalamdalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis, sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. Nilai-nilai yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara diantaranya:
1.      Nilai Moral
                        Dari novel Azab dan Sengsara ini terdapat beberapa nilai moral  yaitu kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya. Mariamin contohnya. Ia sangat berbakti pada ibunya. Dengan sabar dan ikhlas ia merawat ibunya yang sakit parah. Ia tak sedikit pun menyakiti hati ibunya dengan memperlihatkan rasa sedihnya karena ditinggal oleh Aminuddin. Selain itu, ia juga bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Hal tersebut memperlihatkan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Begitu pula ketika ibunya menginginkannya untuk menikah dengan seorang kerani yang bernama Kasibun, Mariamin tidak berani menolak karena tidak ingin menyakiti hati ibunya. Rasa patuh itu pun diperlihatkan oleh Aminuddin, ia yang sangat menginginkan Mariamin menjadi istrinya terpaksa harus menikahi gadis lain, karena ayahnya tidak menyetujui jika ia menikah dengan gadis yang status sosialnya tidak sepadan dengan keluarganya.
            Nilai moral lain yaitu isteri yang sangat berbakti dan mencintai suaminya apa adanya yang diperlihatkan oleh Nuria ibunda Mariamin. Ia tetap dengan tulus mencintai Sultan Baringin padahal perangai Sultan Baringin sangat buruk dan bahkan sering manyakiti hatinya. Dalam keadaan melarat pun ia masih tetap mencintai suaminya itu, merawatnya disaat sakit hingga ajal menjemputnya.
            Selain itu adik Sutan Baringin yang bernama Baginda mulia juga memperlihatkan kepada pembaca tentang nilai moral. Ia sangat menghormati kakaknya, padahal Sultan Baringin sangat membencinya dan bahkan menuduhnya ingin merebut harta warisan tinggalan neneknya. Ia pun tak begitu saja membenci kakaknya itu, ia berusaha agar Sultan Baringin dapat menerimanya dan tidak menuduhnya ingin merebut harta warisan. Namun kakaknya yang keras dan tetap menuntut agar diproses secara hukum.
2.      Nilai Agama
            Sebagai seorang umat yang beragama, ketika menghadapi cobaan hidup kita harus tetap bersabar, berusaha menghadapinya dengan tabah, dan bertawakal kepada Allah. Hal ini tercermin pada novel ini. Mariamin yang selalu mendapatkan sengsara karena kehidupan yang melarat, tidak bisa bersatu dengan kekasihnya, serta memperoleh suami yang jahat. Ia tidak sekali pun menyalahkan Tuhan karena telah memberikan cobaan yang berat. Begitu juga dengan ibunda Mariamin yang senantiasa sabar dan tabah dalam menghadapi suaminya yang selalu menyakitinya dengan ucapan maupun perbuatan yang kasar. Ia juga tidak sekali pun menyalahkan nasib.
3.      Nilai Budaya
            Nilai budaya yang menonjol pada novel ini yaitu adat masyarakat Sipirok waktu itu masih sangat kental akan adat melayu. Masih jelas sekali adanya perjodohan. Dalam hal perjodohan ini pun masih ada aturan yang berlaku, yaitu anak orang terpandang haruslah menikah dengan anak orang terpandang pula. Kemudian masyarakat yang masih sangat menghormati Kepala Kampungnya. Kepala kampung dianggap sebagai orang yang sangat tinggi kedudukannya.
4.      Nilai Pendidikan
            Nilai pendidikan yang dapat kita petik dari novel Azab dan Sengsara yaitu anak haruslah patuh pada kedua orang tua dan menuruti apa kata mereka selama itu bukan perbuuatan maksiat. Selain itu bahwa kita harus belajar untuk dapat bersabar karena orang yang bersifat baik belum tentu merasakan hidup yang baik pula.
5. Nilai Sosial
Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, penggambaran hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya.
Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama.
Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah, masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa.

6. Nilai Kekeluargaan
Nilai-nilai kekeluargaan juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga). Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga yang lain.
Secara kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas kekerabatan masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi akan berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah yang menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya.
Selain sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Hal ini dapat dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin. Walaupun Baginda Diatas telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap menjamu Baginda Diatas sebagaimana layaknya seorang tamu.
Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku tetap menyambung tali silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga Aminuddin dan keluarga Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin menerima Baginda Diatas (ayah Aminuddin) dengan ramah-tamah. Begitu pula sebaliknya, Baginda Diatas memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena tergolong keluarga miskin.
Hubungan silaturahmi ini jelas sekali tergambar ketika Aminuddin berkunjung ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan berita bahwa Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya. Aminuddin mengunjungi Mariamin karena dianggap sebagai saudara sekampung.
2.4      Pendekatan Sosiopsikologis
Pendekatan sosiopsikologis berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya atau zamannya pada saat prosa fiksi diwujudkan.
Kisah cinta abadi penuh duka antara Maraiamin dengan Aminudin. Dua sejoli yang dipisahkan oleh harapan akan nasib baik di tanah rantau, ternyata mendatangkan petaka yang memupus cinta Mariamin hingga ke lubang kematian. Inilah parodi yang paling gelap tentang stereotipe kota dan desa, bahwa tidak selamanya tanah rantau yang bagi kebudayaan Minang dianggap tanah harapan, selalu bisa memberi kebahagiaan. Aminuddin yang terjebak ke dalam nilai-nilai baru yang dianggapnya lenih baik, pada akhirnya tak pernah merasa kasih sayang sejati. Ia adalah potret manusia gagal yang senantiasa berlari, dan terus berlari.
Kehidupan yang dijalani oleh manusia di dunia ini adalah kehidupan bermasyarakat karena manusia merupakan makhluk sosial. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa orang lain. Hubungan manusia dengan masyarakat harus dilihat sebagai hubungan seseorang dengan masyarakat secara terpadu bukan dengan manusia secara perseorangan. Hubungan itu merupakan realisasi dari dorongan naluri “bergaul” bagi manusia yang keberadaannya di dalam diri manusia sejak lahir manusia, tanpa dipelajari. Dalam hubungan itu, manusia akan melibatkan dirinya dalam masyarakat secara penuh tanpa mempersoalkan keuntungan dan kerugian yang diperolehnya dalam masyarakat itu. Akibat yang diperoleh dari hubungan ini, tentu saja ada. Karena manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia itu akan menderita putus asa, terobsesi, merasa tidak pernah menerima keadilan, dan sebagainya. Manusia tidak bebas, selalu diteror atau meneror waktu, adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hubungan manusia dengan masyarakat itu.
Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, penggambaran hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya.
Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah, masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa.
Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga). Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga yang lain. Secara kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas kekerabatan masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi akan berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah yang menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya.
Selain sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Hal ini dapat dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin. Walaupun Baginda Diatas telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap menjamu Baginda Diatas sebagaimana layaknya seorang tamu. Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku tetap menyambung tali silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga Aminuddin dan keluarga Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin menerima Baginda Diatas (ayah Aminuddin) dengan ramah-tamah. Begitu pula sebaliknya, Baginda Diatas memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena tergolong keluarga miskin.Hubungan silaturahmi ini jelas sekali tergambar ketika Aminuddin berkunjung ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan berita bahwa Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya. Aminuddin mengunjungi Mariamin karena dianggap sebagai saudara sekampung.
2.5 Pendekatan Emotif
            Pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsure-unsur yang menggugah perasan pembaca yang dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Dalam novel Azab dan Sengsara, pengarang menyuguhkan rasa senang dan sedih kepada pembaca.
Dalam kutipan di bawah ini:
“ Sejak kecil, Aminuddin bersahabat dengan Mariamin. Setelah keduanya beranjak dewasa, mereka saling jatuh cinta. Aminuddin sangat mencintai Mariamin dan berjanji akan melamar Mariamin bila telah mendapatkan pekerjaan. Keadaan yang miskin tidak menjadi masalah bagi Aminuddin.”
            Pengarang memberi perasaan senang kepada pembaca, karena cinta yang begitu tulus antara Mariamin dan Aminuddin, juga kesetiaan Mariamin memberikan rasa kagum dan terharu pada pembacanya.
Kutipan cerita bahagia lainnya adalah:
“ Baginda mengirim telegram yang isinya meminta Aminuddin menjemput calon isteri dan keluarganya di stasiun kereta api di Medan. Menerima telegram tersebut, Aminuddin merasa sangat gembira. Dalam hatinya telah terbayang wajah Mariamin.”
            Setelah cerita di atas, tidak ada kebahagiaan lagi yang dimunculkan oleh pengarang. Hanya kesedihan dan kesengsaraan yang kerena dua insan yang saling mencintai yaitu Mariamin dan Aminuddin tidak dapat bersatu, mereka menikah dengan pilihan orang tua mereka yang bahkan tidak mereka cintai.
            Dalam salah satu penggalan cerita yaitu ketika Mariamin menikah dengan lelaki yang tidak dikenalnya, serta tidak jelas latar belakangnya. Lalu tidak lama kemudian pasca pernikahan mereka, ibu Mariamin tutup usia. Setelah setahun usia pernikahan, barulah Mariamin tahu benar seperti apa suami yang dinikahinya ini, sosok lelaki yang boros, malas bekerja, dan suka berfoya-foya. Dari sinilah awal mula penderitaan Mariamin diawali, Mariamin menikah  dengan orang yang tidak tepat. Mariamin adalah seorang anak yang tidak memiliki orang tua hidup  seorang diri, dan dalam kemalangannya menghadapi tabiat dan tingkah laku sang suami dirinya harus bertahan hidup dengan sisa uang yang tak seberapa demi anak dalam kandungannya. Serta rentetan cerita yang menceritakan penderitaan Mariamin yang tidak kunjung habis bahkan hingga akhir hayatnya. Penulis menceritakan setiap detil cerita dengan teliti dan tidak tergesa-gesa, penggunaan bahasa yang mendayu-dayu dan pemilihan kata yang tepat, sehingga tercipta gambaran pada pikiran pembaca bahwa disini keadaan Mariamin sangat menyedihkan dan sengsara oleh perilaku suaminya. Penulis berhasil memainkan perasaan pembaca karena penulis berhasil menarik pembaca untuk mengikuti alur cerita yang menghanyutkan perasaan. Penyusunan cerita yang seperti ini tidak lepas pula dari usaha dalam memberi nilai keindahan dalam karya sastra tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 SIMPULAN

            Dari hasil analisis novel Azab dan Sengsara melalui melalui beberapa pendekatan, dapat disimpulkan bahwa novel ini sangatlah menarik. Novel ini memiliki kelima pendekatan yang digunakan untuk menganalisis prosa fiksi. Novel ini juga menggambarkan tentang kerasnya hidup dan pada akhirnya mengajarkan kita ke arah kebaikan. Selain itu novel ini mengajarkan makna kehidupan tak selamanya orang berada di atas ada kalanya mereka berada di bawah. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu mengajari kita bahwa orang yang kebaikan tak selamanya mendatangkan keberuntungan.

3.2 SARAN

            Dengan membaca makalah ini, diharapkan pemabaca dapaat lebih memahami pesan-pesan yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Serta dapat mengambil sisi positif dari kisah Mariamin yang sangat mengharukan. Selain itu diharapkan bahwa pembaca tidak hanya sekadar membaca sebagai hiburan semata namun juga mendapatkan pelajaran berharga yang dapat dipetik dari novel ini.








DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algen Sindo.
Haryati, Nas. 2011. Apresiasi Prosa Indonesia. Semarang: UNNES PRESS.
Siregar, Merari. 1965. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka.

Langkah-langkah menulis karangan narasi

  • Tentukan dulu tema dan amanat yang akan disampaikan
  • Tetapkan sasaran pembaca
  • Rancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam bentuk skema alur
  • Bagi peristiwa utama itu ke dalam bagian awal, perkembangan, dan akhir cerita
  • Rincian peristiwa-peristiwa utama ke dalam detail-detail peristiwa sebagai pendukung cerita
  • Susun tokoh dan perwatakan, latar, dan sudut pandangan
  • mengerti aturan tanda bacanya dalam kalimat tersebut





No comments:

Post a Comment