MASA ORDE LAMA
OLEH FAISAL EFENDI
FAKULTAS SASTRA
A. MASA ORDE LAMA
Periode
Orde Lama dimulai ketika Presiden Soekarno menyatakan Dekrit 1959 yang berisi tentang
pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan menghapus UUD RIS.
Akan tetapi secara teknis, Presiden Soekarno memimpin era ini semenjak
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Dengan demikian, ulasan mengenai politik
luar negeri RI pada era Orde Lama tidak bisa hanya dipantau semenjak tahun 1959
semata, melainkan ditarik semenjak awal kemerdekaan Republik Indonesia pada
tahun 1945.
1.
Masa Pemerintahan Ir. Soekarno
Dalam memimpin, Soekarno dipandang
sebagai sosok yang sangat kontroversial namun populer. Sejarahnya yang penuh
dengan orasi kebangsaan yang mampu membakar semangat segenap pemuda bangsa
menunjukkan bahwa ia seorang yang penuh percaya diri dan daya tarik. Di
masanya, Soekarno merupakan sosok pemimpin yang penuh inisiatif dan inovatif.
Kekayaannya akan ide dan gagasan baru didukung dengan keberanian dalam
mengambil keputusan yang saat itu dinilai tidak biasa. Salah satu tindakan
Soekarno yang drastis dan populer pasca kemerdekaan ialah nasionalisasi aset-
aset negara yang dulu dimiliki Belanda juga Jepang, serta melakukan sosialisasi
kedaulatan Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dari Sabang sampai Merauke kepada dunia internasional. Hal ini menjadi agenda
utama kebijakan luar negeri Soekarno yang dilandasi dengan prinsip-prinsip
pancasila sebagai ideologi negara dan amanat UUD 1945 sebagai tolak ukur
pembangunan pasca kemerdekaan yang anti terhadap imperialism Barat.
Sikap anti Soekarno terhadap
imperialisme Barat semakin kentara pada tindakannya yang menyeru negara- negara
di dunia untuk tidak tunduk terhadap blok- blok yang saling berseteru di kala
itu sehingga kemudian lahir Gerakan Non-Blok yang diinisiasi dari Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun 1955. Indonesia kemudian
menjadi inisiator Gerakan Non- Blok yang banyak mendorong kemerdekaan di
negara- negara Asia- Afrika pada masa itu. Banyaknya inisiatif yang muncul dari
kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu menunjukkan bahwa Soekarno secara
serius mengagendakan pengakuan eksistensi Indonesia di mata internasional dan
pembentukan aliansi anti kolonialisme serta imperialism Barat dalam setiap
kebijakan luar negeri Indonesia.
Hal ini selaras dengan prinsip
politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Prinsip ini dicetuskan
oleh Muhammad Hatta melalui pidatonya di depan Komite Nasional Indonesia Pusat
pada tanggal 2 September 1948 yang berisikan pernyataan bahwa Indonesia tidak
boleh memihak baik ke Blok barat maupun Blok Timur dalam politik internasional
demi tercapainya cita- cita Indonesia Merdeka. Pidato yang kemudian dikenal
dengan judul Mendayung Di Antara Dua Karang ini meskipun esensinya tidak
lantas langsung dimasukkan ke dalam konstitusi negara, namun ia kemudian
menjadi landasan moral yang membentuk politik luar negeri Indonesia pada masa
itu.
Meskipun demikian, sejarah perjuangan
Soekarno dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Barat telah
membentuk pandangan Soekarno menjadi anti terhadap Barat. Sehingga secara sikap
politik pun, Soekarno nampak cenderung pro terhadap ideologi kiri atau timur.
Kedekatan ini ditunjukan dengan keberpihakan Soekarno terhadap Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang kemudian membawa Soekarno terhadap peristiwa pidato
penyampaian pidato manifesto politik (manipol) yang mengidentifikasikan
imperialis barat sebagai musuh nasional.
Hal ini ditunjukkan secara gamblang dalam ketidaksukaan Soekarno terhadap
keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer kemudian diambil untuk
mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal membuat
Belanda angkat kaki dari Irian Barat. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian
didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan
Moskow.
Taktik yang konfrontatif ini
kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang
dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Hal ini dianggap mengancam
keberkembangan Nefos (New Emerging Forces) oleh Oldefos (Old Established
Forces), yakni dua kategorisasi negara yang dibentuk oleh Soekarno. Berbagai
kebijakan luar negeri kemudian muncul dengan landasan kepentingan nasional yang
berorientasi pada penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos. Salah satu tindakan
yang paling terkenal ialah pembentukan poros Jakarta – Peking dimana Indonesia
pada saat itu menjadi sangat dekat dengan China. Tidak hanya sampai di
situ,Jakarta pada era tersebut digambarkan sebagai pusat pemerintahan yang
akrab dengan Moskow, Beijing dan Hanoi serta garang terhadap Washington dan
sekutu Barat. Sebagai dampak, ruang gerak Indonesia di forum internasional
menjadi terbatas pada seputar negar- negara komunis semata. Hal ini pun
mencederai prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas- aktif.
Munculnya kebijakan Dwikora pada 3
Mei 1964 menunjukkan bahwa Soekarno secara serius ingin menyingkirkan Barat
dari seputar Indonesia karena dinilai dapat memojokkan Indonesia. Kebijakan
Dwikora tersebut berisi tentang perintah untuk memperhebat ketahanan
revolusi Indonesia dan untuk membantu perjuangan rakyat Malaysia membebaskan
diri dari neokolonialisme Inggris.
Hal ini lantas disusul dengan
pencetusan Politik Mercusuar yang mendorong Indonesia untuk tampil megah agar terlihat
sebagai pemimpin Nefos yang mampu menerangi jalan baru bagi negara- negara
Nefos lainnya. Puncak sikap kontra Soekarno terhadap Barat ditunjukkan dengan
keluarnya Indonesia dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965 sebagai bentuk
ketidaksukaan Indonesia terhadap pengangkatan Malaysia yang dinilai pro Barat
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun sayangnya kebijakan- kebijakan
luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang
memperhatikan sektor domestic. Di kala Soekarno dengan gencar melancarkan
politik luar negeri yang garang, aktif dan militant, kondisi perekonomian dalam
negeri tampak morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus,
penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik
Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO (
Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak. Belum lagi kecamuk
politik dalam negeri yang diwarnai dengan bentrok antara militer dan PKI
membuat situasi di Indonesia pada saat itu semakin carut marut. Puncak kecarut-
marutan ini ialah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang kemudian
membuat kepemimpinan Soekarno di Indonesia melemah dan bahkan terpojok. Tahun
1968 menjadi akhir dari kepemimpinan Presiden Soekarno di Indonesia yang dengan
demikian mengakhiri pula era Orde Lama di Indonesia.
2.
Keberhasilan
Politik Luar Negeri pada Era Orde Lama
1.
Indonesia berhasil merebut kembali
Irian Barat dari Belanda melalui jalur diplomasi dan militer.
2.
Indonesia berhasil menginisiasi
berdirinya Gerakan Non- Blok melalui KTT Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955.
3.
Indonesia berhasil menunjukkan
eksistensi yang patut diperhitungkan oleh kedua blok raksaksa dunia pada masa
itu.
3.
Sejumlah Halangan yang Banyak
Mengusik Keberlangsungan Politik Luar Negeri Indonesia pada Era Orde Lama
yaitu:
1.
Baru terbentuknya NKRI sehingga
masih banyak ancaman disintegrasi nasional
2.
Instabilitas politik dan
perekonomian domestik
3. Situasi Perang Dingin dan
terbentuknya dua blok raksaksa dunia
yang saling
berusaha mendominasi
4.
Infrastruktur yang baru dibangun
tidak sesuai dengan ambisi Soekarno untuk segera membuat Indonesia menjadi
negara adidaya.
4.
Bentuk-bentuk Penyimpangan UUD
1945 pada Masa Orde Lama,
misalnya :
1. Kekuasaan
Presiden dijalankan secara sewenang-wenang ; hal ini terjadi karenakekuasaan
MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh
Presiden. MPRS menetapkan Oresiden menjadi Presiden seumur hidup; hal ini tidak
sesuai dengan ketentuan mengenai masa jabatan Presiden.
2. Pimpinan
MPRS dan DPR diberi status sebagai menteri ; dengan demikian , MPR dan DPR
berada di bawah Presiden.
3. Pimpinan MA
diberi status menteri; ini merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka.
4.
Presidenmembuat penetapan yang
isinya semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat bersama DPR);
dengan demikian Presiden melampaui kewenangannya.
B.
MASA ORDE BARU
1.
Latar Belakang lahirnya Orde Baru
Orde baru lahir
karena dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain :
1.
Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September.9652.
2.
Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30
September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah
berlangsunglama.
3.
Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600%
sedangkanupaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan
bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4.
Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan
besar- besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi
menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta
tokoh-tokohnya diadili.
5.
Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat
bergabungmembentuk Kesatuan Aksi berupa ³Front Pancasila´ yang selanjutnya
lebih dikenaldengan ³Angkatan 66´ untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam
Gerakan 30September 19656.
6.
Kesatuan Aksi ³Front Pancasila´ pada 10 Januari 1966 di depan gedung
DPR-GR mengajukan tuntutan’’TRITURA(Tri Tuntutan Rakyat), yang berisi:
a.
Pembubaran
PKI berserta Organisasi Massanya
b.
Pembersihan
Kabinet Dwikora
c.
Penurunan
Harga-harga barang
7.
Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan
KabinetSeratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di
kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30
September 1965.
8.
Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya
untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30
September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
9.
Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang
sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat
Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto
guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan
negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
2.
Upaya Menuju Pemerintahan
Orde Baru :
Setelah
dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada
kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Penataan dilakukan didalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan
pemerintahan. Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya
kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan
keamanan dan membubarkan PKI. Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional
di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden
sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan. Konflik Dualisme inilah
yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena akhirnya Sukarno
mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada
Suharto.Pada tanggal 23 Februari
1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran
diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabatPresiden RI.
Dengan Tap
MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan
menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno .Tanggal 12Maret 1967 Jendral
Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden
Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan
Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru. Pada Sidang Umum
bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden
Republik Indonesia.
3.
Perkembangan Politik Dalam Negeri pada Masa Orde Baru
a.
Pembentukan
Kabinet Pembangunan Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966)
adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet
Amper yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai
persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet
AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut :
Ø Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang
dan pangan
Ø Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5
Juli 1968.
Ø Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk
kepentingan nasional.
Ø Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme
dalam segala bentuk dan manifestasinya.
b.
Selanjutnya
setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden
untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama
Kabinet Pembangunan.
c.
Penyederhanaan
dan Pengelompokan Partai Politik Setelah pemilu 1971 maka dilakukan
penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai
tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga
pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas
persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik,
yaitu :
1)
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, danPartai
Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok
partai politik Islam).
2)
Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik,
PartaiMurba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat
nasionalis).
3)
Golongan karya
(golkar).
d.
Pemilihan
Umum Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum
sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali,
yaitu: tahun
1971, 1977,1982, 1987, 1992, dan1997.
e.
Mengadakan
Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat pada tanggal 2 Agustus 1969.
Kebijakan lain yang di ambil pemerintah Orde baru adalah menetapkan
peran ganda ABRI yang di kenal dengan
Dwifungsi ABRI. ABRI tidak hanya berperan dalam bidang
pertahanan dan keamanan Negara tetapi juga berperan di bidang politik. Hal
terbukti dari banyaknya anggota ABRI yang ternyata memegang jabatan
sipil seperti walikota,bupati dan gubenur bahkan ABRI memiliki jatah
di keanggotaan MPR/DPR.Alasan yang mendasari kebijakan tersebut
tertuang dalam pasal 27 ayat (1)UUD 1945. Pasal tersebut mengemukakan
bahnwa “Segala warga Negara bersama kedudukankannya di dalam
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Bukan
hanya pada bidang politik pemerintahan, ternyata kedudkan ABRI dalam
masyarakat Indonesia juga merambat di sector ekonomi. Banyak anggota ABRI
menjadi kepala skepala BUMN maupun komisaris di berbagai perusahaan
swasta .
4.
Perkembangan Politik Luar Negeri pada Masa Orde Baru
a.
Mengembalikan
politik luar negeri bebas-aktif sebenarnya.
b.
Tanggal 11
Agustus 1966 disepakati Jakarta Accord, yang berisi normalisasi hubungan
diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia. Selanjutnya, mulai tanggal 31
Agustus 1967 dibuka kembali hubungan diplomatik tingkat Kedutaan Besar.
c.
Tanggal 28
September 1966 Indonesia masuk kembali menjadi anggota PBB.
d.
Tanggal 8
Agustus 1967 Indonesia ikut menandatangani Deklarasi Bangkok tentang berdirinya
organisasi regional di Asia Tenggara atau ASEAN.
e.
Tanggal 30
Oktober 1967 Indonesia melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Republik
Rakyat Cina (RRC), karena menganggap RRC membantu PKI dalam peristiwa G 30
S/PKI.
5.
Perkembangan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Pada masa
Demokrasi Terpimpin, Negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh
kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi
swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada
usaha penyelamtan ekonomi nasioanl terutama pada usaha mengendalikan tingkat
inflasi, penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat .
Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun
1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu
menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah.
Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut :
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi terpimpin, pemerintah
menempuh
cara:
1)
Mengeluarkan Ketetapan
MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembangunan.
2)
MPRS
mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penylematan, program
stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan
2. Pembangunan Nasional.
Dilakukan pembangunan nasional pada masa orde baru dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasional adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembangunan adalah sebagai berikut :
1) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi.
3) Stabilitas nasional yang
sehat dan dinamis.
Pelaksanannya pembanguanan nasional dilakukan secara bertahap yaitu:
- Jangka panjang
mencakup periode 25 sampai 30 tahun
- Jangka pendek mencakup
periode 5 tahun
(Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari
pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling
berkaitan/berkesinambungan.
Selama periode
Orde Baru terdapat 6 pelita, yaitu :
a. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembanguna ORBA.
Tujuan Pelita I : untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar- dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : pangan, sandang, perbaikan prasarana,perumahan rakyat,
perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : pembanguan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa marali (malapetaka limabelas januari) terjadi pada tanggal
15-16 Januari
1974
bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini
merupakan
kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak
melakukan
dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak
beredar di
Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
b. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979.
Sasaran Utamanya adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil, pertimbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7 % per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60 % dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47 %. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi menjadi 9,5 %.
c. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
a) Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan
b) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
c) Pemerataan pembagian pendapatan
d) Pemerataan kesempatan kerja
e) Pemerataan kesempatan berusaha
f) Pemerataan kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi
muda dan kaum perempuan
g) Pemerataan penyebaran pembangunan
di seluruh wilayah tanah air
h) Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan
d. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
e. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertnian dan industri. Indonesia memiliki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan rata-rata 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
f. Pelita VI
Dilaksankan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembanguan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda Negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa plitik dalam negri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
6 . Latar
Belakang Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Harus di akui bahwa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam rentang waktu
yang panjang. Pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan dampak positif dan negatif.
Dampak posotif tercatat dalam bentuk penurunan angka kemiskinan absolut yang
diikuti dengan perbaikan indikator kesejahteraan rakyat secara rata-rata.
Adapun dampak negatif yang muncul adalah kerusakan lingkungan
hidup, perbedaan ekonomi antar daerha, antar golongan pekerjaan , dan antar
kelompok dalam masyarakat yang terasa semakin tajam.
Pembangunan yang menjadi ikon pemerintahan Orde Baru ternyata menciptakan kelompok
masyarakat yang terpinggirkan (marginalisasi sosial). Namun di sisi lain,
pembangunan di masa Orde baru juga telah menimbulkan konglomerasi dan bisnis
yang sarat dengan KKN (korupsi,kolusi,dan nepotisme). Pembangunan hanya
mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,ekonomi ,dan
sosial yang demokratis dan berkeadilan. Meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi,namun secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh
.
Dibidang politik , pemerintah Orde Baru memiliki cara tersendiri utnuk
menciptakan stabilitas yang diinginkan,salah satunya dengan menjadikan Golkar
sebagai mesin politik. Didalam tubuh Golkar terdapat 3 jalur yang menjadi
tumpuan kekuatannya, yaitu ABRI Birokrat, dan Golkar ( jalur ABG). Tidak
mengherankan jika Golkar selalu menjadi pemenang dalam pemilu-pemilu selama
masa Orde Baru. Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan sebagaii sarana
dan arena penyaluran aspirasi rakyat,ternyata dijadikan sebagai alat kekuasaan
atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Golkar menjadi partai
pendukung utama Soeharto dalam DPR/MPR. Akibatnya kepemimpinan presiden
Soeharto bertahan 32 tahun.
Sistem perwakilan pun bersifat semu,bahkan hanya dijadikan sarana untuk
melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Dalam setiap pemilihan presiden
melalui lembaga MPR , Soeharto selalu terpilih. Otoritarianisme merambah
segenap aspek kehidupan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk
kehidupan politik . kejanggalan dan ketidak beresan tersebut merugikan rakyat.
Banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR tidak mengenal rakyat dan
daerah yang diwakilinya. Hal ini terjadi karena demokratisasi di bangun
melaluin KKN.
Ketidakberesan juga dapat dilihat dari konsep Dwifungsi ABRI yang telah
berkembang menjadi kekaryaan. Peran kekaryaan ABRI semakin masuk ke dalam
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan benegara. ABRI telah melupakan jati diri
sebenarnya. Bidang-bidang yang seharusnya masyarakat berperan lebih besar,
ternayata diiisi personil dari TNI dan Polri seperti jabatan lurah, bupati,
walikota, gubernur pada masa Orde Baru banyak diduduki oleh militer. Dunia
bisnis pun tak luput dari Intervensi TNI/Polri.
Segala produk kebijakan ekonomi dan politik selama Orde baru teramat
birokratis,tidak demokratis,dan cenderung KKN. Kondisi kian diperparah oleh
upaya penegakan hukum yang sangat lemah. Hal ini dapat dilihat pasca jatuhnya
Presiden Soeharto, hukum pada masa Orde Baru tidak mampu menjerat para
konglomerat dan polotisi “nakal” yang telah menggunakan uang rakyat. Hal ini
menunjukan bahwa hukum telah diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang
berkuasa.
Kondisi sosial-politik tersebut semakin diperburuk oleh krisi moneter
yang melanda negeri ini sejak Orde Baru ternyata rapuh dan tak mampu menahan
badai krisis moneter tersebut. Dipasaran mata uang dunia nilai rupiah terus
merosot terhadap dollar Amerika.
Krisis moneter memicu terjadinya kemorosotan ekonomi secara luas. Perbankan
nasional terpuruk dan banyak bank beku operasi (BBO). Dunia usaha,khuhusnya
usaha kecil dan menengah (UKM), tidak berkutik dan banyak yang dulung tikar.
Pemutusan hubungan kerja(PHK) tampak terjadi dibanyak tempat. Harga sembilan
bahan kebutuhan pokok (sembako) yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari
melambung tinggi,bahkan sampai terjadi kelangkaan.
Krisis moneter dan ekonomi merebak semakin meluas dan menjadi krisis
multidimensional. Di tengah situasi semakin melemahnya nilai rupiah,aksi
massa,aksi buruh, dan aksi mahasiswa juga terjadi di berbagai tempat. Mereka
menuntut agar pemerintah segera mengadakan pemulihan ekonomi, sehingga
harga-harga sembako turun, tidak lagi ada PHK dan lain sebagainya. Dalam aksi
massa, warga negara keturunan Tonghoa tidak luput dari amukan massa. Toko-toko
dan tempat usahanya dibakar. Tidak sedikit wanita keturunan Tionghoa menjadi
korban tindak asusila dalam aksi tersebut. Sebagai reaksi atas ketidakmakmuran
hak mereka hidup di Indonesi, banyak warga keturunan Tionghoa eksodus atau
meninggalkan Indonesia.
Krisi moneter mengakibatkan kerawanan kondisi sosial dan kerentanan terhadap
ancaman kerusuhan dan aksi kekerasan. Situasi ini berkorelasi terhadap kondisi
politik. Aksi-aksi yang semula dilakukan massa secara sporadis dan bersifat
lokal kemudian berubah menjadi gerakan moral atau kepeloporan mahasiswa. Berawa
dari gerakan moral,aksi bergeser memasuki ranah politik,yaitu menuntut Soeharto
mundur dari jabatan presiden. Semua ini merupakan puncak kekecewaan rakyat atas
krisi yang melanda Indonesia.
7. Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru
1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Perjalanan panjang sejarah Orde Baru di Indonesia dapat melaksanakan pembangunan sehingga mendapat kepercayaan dalam dan luar negeri. Mengalawai perjalannya pada dasawarsa 60-an rakyat sangat menderita pelan-pelan keberhasilan pembangunan melalui tahapan dalam pembangunan lima tahun (Pelita) sedikit demi sedikit kemiskinan rakyat dapat dientaskan. Sebagai tanda terima kasih kepada pemerintah Orde Baru yang berhasil membangun negara, Presiden Soeharto diangkat menjadi "Bapak Pembangunan ".
Temyata keberhasilan pembangunan tersebut tidak merata, maka kemajuan Indonesia temyata hanya semu belaka. Ada kesenjangan yang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin. Rakyat mengetahui bahwa hal ini disebabkan cara-cara mengelola negara yang tidak sehat ditandai dengan merajalela korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Protes dan kritik masyarakat seringkali dilontarkan namun pemerintah Orba seolah-olah tidak melihat, dan mendengar, bahkan masyarakat yang tidak setuju kepada kebijaksanaan pemerintah selalu dituduh sebagai "PKI", subversi, dan sebagainya.
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, harga-harga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah, seakan menjerit lebih-lehih banyak perusahaan yang terpaksa melakukan "PHK" karyawannya. Diperburuk lagi dengan kurs rupiah terhadap dolar sangat rendah. Disinilah para mahasiswa, dosen, dan rakyat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah. Setiap hari mahasiswa dan rakyat mengadakan demonstrasi mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998, dengan berani meneriakkan reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berupaya untuk memperbaiki program Kabinet Pembangunan VII dengan menggantikan dengan nama Kabinet Reformasi, namun tidak mendapat tanggapan rakyat. Pada hari berikutnya tanggal 21 Mei 1998 dengan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, Presiden Soeharto terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Presiden Prof. DR. B.J. Habibie.
2. Krisis Ekonomi
Diawali krisis moneter yang melanda Asia Tenggara sejak bulan Juli 1997 berimbas pada Indonesia, bangunan ekonomi Indonesia temyata belum kuat untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 2.603,00 pada 1 Agustus 1997. Tercatat di bulan Desmeber 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai R. 5.000,00 perdolar, bahkan mencapai angka Rp. 16.000,00 perdolar pada sekitar Maret 1997.
Nilai tukar rupiah semakin melemah,pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0 % sebagai akibat lesunya ikiim bisnis. Kondisi moneter mengalami keterpurukan dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan Maret 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (K.LBI), temyata tidak membawa hasil sebab pinjaman BLBI terhadap bank bermasalah tersebut tidak dapat mengembalikan. Dengan demikian pemerintah harus menanggung beban utang yang cukup besar. Akibatnya kepercayaan dunia intemasional mulai menurun. Krisis moneter ini akhimya berdampak pada krisis ekonomi sehingga menghancurkan sistem fundamental perekonomian Indonesia.
a.
Utang Negara Republik Indonesia.
Penyebab krisis diantaranya adalah utang luar negeri yang sangat besar, terhitung bulan Pebruari 1998 pemerintah melaporkan tentang utang luar negeri tercatat:
-
utang swasta nasional Rp. 73,962 miliar dolar AS + utang pemerintah Rp.
63,462 miliar dolar AS, jadi utang seluruhnya mencapai 137,424 miliar dolar AS.
Data ini diperoleh dari pernyataan Ketua Tim Hutang-Hutang Luar Negeri Swasta
(HLNS), Radius Prawiro seusai sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan
Keuangan (DPKEK) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pada 6
Pebruari 1998.
Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri menjadi sangat mahal harganya. Mereka tidak percaya kepada para importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangannya. Hampir semua negara tidak mau menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat karena kolusi dan korupsi.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kurang memperhatikan dengan seksama kondisi riil masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah, sehingga akan sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri. Akibatnya yang terpacu hanya masyarakat kelas ekonomi atas, para orang kaya yang kemudian menjadi konglomerat. Meskipun gross national product (GNP) pada masa Orba pernah mencapai diatas US$ 1.000,00 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan rakyat sebenamya, karena uang yang beredar sebagian besar dipegang oleh orang kaya dan konglomerat. Rakyat secara umum masih miskin dan kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.
Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Yang terjadi adalah berkembangnya ekonomi kapitalis yang dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli korupsi, dan kolusi.
c. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Masa Orde Baru dipenuhi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme menyebabkan runtuhnya perekonomian Indonesia. Korupsi yang menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak tatanan hukum, dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan menjadi pemicu lahimya reformasi di Indonesia.
Walaupun praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme ini telah merugikan banyak
pihak, termasuk negara tapi tidak dapat dihentikan karena dibelakangnya ada
suatu kekuatan yang tidak tersentuh hukum.
d. Politik Sentralisasi
Pemerintahan Orde Baru menjalankan politik sentralistik, yakni bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya peranan pemerintah pusat sangat menentukan, sebaliknya pemerintah daerah tidak 'punya peran yang signifikan. Dalam bidang ekonomi sebagian besar kekayaan dari daerah diangkut ke pusat pembagian yang tidak adil inilah menimbulkan ketidakpuasan rakyat dan pemerintah daerah. Akibatnya mereka menuntut berpisah dari pemerintah pusat terutama terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya (Papua).
Proses sentralisasi bisa dilihat adanya pola pemberitaan pers yang Jakarta
sentries. Terjadinya banjir informasi dari Jakarta (pusat) sekaligus dominasi
opini dari pusat. Pola pemberitaan yang cenderung bias Jakarta, terutama di
halaman pertama pers. Kecenderuangan ini sangat mewamai pola pemberitaan di
halaman pertama pers di daerah.
3.
Krisis Politik
Krisis politik pada akhir orde baru ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilihan Umum 1997 yang dinilai penuh kecurangan, Golkar satu-satunya kontestan pemilu yang didukung fmansial maupun secara politik oleh pemerintah memenangkan pemilu dengan meraih suara mayoritas. Golkar yang pada mulanya disebut sebagai Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang organisasi-organisasi masyarakat dan angkatan bersenjata, muncul satu tahun sebelum peristiwa G30S/PKI tepatnya lahir pada tanggal 20 Oktober 1964. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa organisasi ini lahir dari pusat dan dijabarkan sampai kedaerah-daerah. Disamping itu untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29 Nopember 1971 ikut menggabungkan diri ke dalam Golongan Karya. Golkar ini kemudian dijadikan kendaraan politik Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, karena tidak ada satupun kritik dari infra struktur politik ini yang berani mencundangi dirinya.
Kemenangan Golongan Karya dinilai oleh para pengamat politik di Indonesia dan
para peninjau asing dalam pemilu yang tidakjujur dan adil (jurdil) penuh
ancaman dan intimidasi terhadap para pemilih di pedesaan. Dengan diikuti
dukungan terhadap Jenderal (Pum) Soeharto selaku ketua dewan
pembina Golkar untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum MPR
tahun 1998 temyata mayoritas anggota DPR/MPR mendukung Soeharto menjadi
presiden untuk periode 1998-2003.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya menimbulkan permasalahan
masa pemerintahan Orde Baru, kedaulatan rakyat ada ditangan
kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang pihak penguasa. Kedaulatan
ditangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya MPR dilaksanakan de jure secara de
facto anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar
anggotanya diangkat dengan sistem keluarga (nepotisme).
Rasa ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, DPR, dan MPR memicu gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa, dosen, dan rektomya menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang dianggap penuh dengan KKN dan menuntut pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Rasa ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, DPR, dan MPR memicu gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa, dosen, dan rektomya menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang dianggap penuh dengan KKN dan menuntut pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Gerakan
reformasi menuntut pembaharuan lima paket undang-undang politik yang menjadi
sumber ketidakadilan, yaitu :
(1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum;
(2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Susunan,
Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DPR/MPR;
(3) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya;
(4) UUNo. 1 Tahun 1985 tentang Referendum;
(5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Organisasi
Massa.
4. Krisis Hukum.
Orde Baru banyak terjadi ketidak adilan dibidang hukum, dalam kekuasaan kehakiman berdasar Pasal 24 UUD 1945 seharusnya memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari kekuasaan eksekutif, tapi kenyataannya mereka dibawah eksekutif. Dengan demikian, pengadilan sulit terwujud bagi rakyat, sebab hakim harus melayani penguasa. Sehingga sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan.
Reformasi diperlukan aparatur penegak hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprodensi, ajaran-ajaran hukum, dan bentuk praktek hukum lainnya. Juga kesiapan hakim, penyidik dan penuntut, penasehat hukum, konsultan hukum dan kesiapan sarana dan prasarana.
5. Krisis Kepercayaan
Pemerintahan Orde Baru yang diliputi KKN secara terselubung maupun terang-terangan pada bidang parlemen, kehakiman, dunia usaha, perbankan, peradilan, pemerintahan sudah berlangsung lama sehingga disana-sini muncul ketidakadilan, kesenjangan sosial, rusaknya system politik, hukum, dan ekonomi mengakibatkan timbul ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintahan dan pihak luar negeri terhadap Indonesia.
C. MASA REFORMASI
1. Pengertian
Reformasi
Reformasi
merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang diwariskan oleh Orde Baru atau merombak segala tatanan
politi, ekonomi, social dan budaya yang berbau Orde baru. Atau membangun
kembali, menyusun kembali.
2. Sistematika
Pelaksanaan UUD 1945 pada
Masa Orde Reformasi
Pada masa
orde Reformasi demokrasi yang dikembangkan pada dasarnya adalah demokrasi
dengan berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi
Pancasila pada masa Orde Reformasi dilandasi semangat Reformasi, dimana paham
demokrasi berdasar atas kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa
serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, selalu
memelihara persatuan Indonesia dan untuk mewujudkan suatu keadilan sosila bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan demokasi Pancasila pada masa Reformasi
telah banya member ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya
termasuk lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan
mengontrol pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat
melaksanakan tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena
dianggap menyimpang dari garis Reformasi.
Ciri-ciri
umum demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Reformasi :
1. Mengutamakan
musyawarah mufakat
2. Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan negara
3. Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
4. Selalu
diliputi oleh semangat kekeluargaan
5. Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan
hasil musyawarah
6. Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang
luhur
7. Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
8. Penegakan kedaulatan rakyar dengan memperdayakan
pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya
masyarakat
9. Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga
Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
10. Penghormatan
kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai
11. Adanya
kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia
Setelah
diadakannya amandemen, UUD 1945 mengalami perubahan. Hasil perubahan terhadap
UUD 1945 setelah di amandemen :
· Pembukaan
· Pasal-pasal:
21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal peraturan peralihan dan 2 pasal aturan
tambahan.
3. Kronologi
Perjuangan Menegakkan Era Reformasi
·
5 Maret 1998
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk
menyatakan
penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan
pada Sidang
Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima
Fraksi ABRI.
·
11 Maret 1998
Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
·
14 Maret 1998
Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.
·
15 April 1998
Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena
sepanjang
bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan
berunjukrasa
menuntut dilakukannya reformasi politik.
·
18 April 1998
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14
menteri
Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya
Jakarta namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi
yang menolak dialog tersebut.
·
1 Mei 1998
Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi
Dachlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
·
2 Mei 1998
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan
reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (tahun 1998-an).
·
4 Mei 1998
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar
minyak ( 2
Mei 1998 ) dengan demonstrasi besar- besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi
kerusuhan saat para demonstran terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Di
Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat
bentrokan tersebut.
·
5 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa besar – besaran terjadi di Medan yang berujung pada
kerusuhan.
·
9 Mei 1998
Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G -15.
Ini
merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.
·
12 Mei 1998
Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara
damai. Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di halaman kampus.
·
13 Mei 1998
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan
Bekasi datang ke Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu
diwarnai kerusuhan.
·
14 Mei 1998
Soeharto seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika
rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo.
Sementara itu kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan
di Jabotabek seperti Supermarket
Hero, Super Indo, Makro, Goro, Ramayana dan Borobudur. Beberapa dari
bagunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal
dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
·
15 Mei 1998
Soeharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia
membantah
telah mengatakan bersedia mengundurkan diri. Suasana Jakarta masih
mencekam. Toko –
toko banyak
di tutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah.
·
16 Mei 1998
Warga asing berbondong – bondong kembali ke negeri mereka. Suasana di Jabotabek
masih mencekam.
·
19 Mei 1998
Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurachman
Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang berlangsung selama
hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang hanya 30 menit) itu para tokoh
membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap
menginginkan Soeharto mundur.
Permintaan tersebut ditolak Soeharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi.
Pada saat itu Soeharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi
presiden.
Namun hal itu tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke Gedung
MPR untuk berunjukrasa semakin banyak.
Sementara itu Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional
untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
·
20 Mei 1998
Jalur jalan menuju Lapangan Monumen Nasional diblokade petugas dengan pagar
kawat
berduri untuk mencegah massa masuk ke komplek Monumen Nasional namun pengerahan
massa tak
jadi dilakukan. Pada dinihari Amien Rais meminta massa tak datang ke Lapangan
Monumen
Nasional karena ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara
ribuan
mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung MPR / DPR.
Mereka terus
mendesak agar Soeharto mundur.
·
21 Mei 1998
Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi
Presiden dan B. J. Habibie disumpah menjadi
Presiden RI ke-tiga.
1. Masa
Pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999)
Tugas B.J. Habibie adalah mengatasi krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, menciptakan pemerintahan yang
bersih, berwibawa bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini
dilakukan oleh presiden untuk menjawab tantangan era reformasi.
a. Dasar Hukum B. J. Habibie menjadi
Presiden.
Naiknya Habibie menggantikan Soeharto
menjadi polemik dikalangan ahli hukum, ada yang mengatakan hal itu
konstitusional dan inskonstitusional.
Yang mengatakan konstitusional berpedoman Pasal 8 UUD 1945,
"Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan
kewajibannya,ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Adapun
yang mengatakan inskonstitusional berlandaskan ketentuan Pasal 9 UUD
1945, "Sebelum Presiden
meangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan MPR
atau DPR". Secara hukum materiel Habibie
menjadi presiden sah dan
konstitusional. Namun
secara hukum formal (hukum acara)
hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat penting
yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada Habibie
harus melalui acara resmi konstitusional. Saat
itu DPR
tidak memungkinkan untuk bersidang, maka harus ada alas an yang kuat dan
dinyatakan
sendiri oleh DPR.
b. Langkah-langkah Pemerintahan
B. J. Habibie
1. Pembentukan Kabinet
Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998 yang meliputi
perwakilan militer (TNI-POLRI), PPP, Golkar dan PDI.
2. Upaya Perbaikan Ekonomi
Dengan mewarisi kondisi ekonomi yang parah "Krisis
Ekonomi" Presiden B.J. Habibie berusaha
melakukan langkah-langkah perbaikan, antara lain :
a) Merekapitalisasi perbankan.
b) Merekonstruksi perekonomian
nasional.
c) Melikuidasi beberapa bank
bermasalah.
d) Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga dibawah Rp. 10.000,00.
e)
Mengimplementasikan refbrmasi ekonomi yang disyaratkan IMF.
3. Reformasi di Bidang Politik
Presiden mengupayakan politik Indonesia dalam kondisi
yang transparan dan merencakan pemilu yang luber dan jurdil, sehingga dapat
dibentuk lembaga tinggi negara yang betul-betui representatif. Tindakan nyata
dengan membebaskan narapidana politik diantaranya yaitu :
(1) DR. Sri Bintang
Pamungkas dosen Universitas Indonesia (UI) dan mantan anggota DPR yang masuk
penjara karena mengkritik Presiden Soeharto.
(2) Mochtar Pakpahan
pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan
dalam tahun 1994
.
i. Kebebasan
Menyampaikan Pendapat
Kebebasan ini pada masa sebelumnya dibatasi, sekarang
masa Habibie dibuka selebar-lebarnya baik menyampaikan pendapat dalam bentuk
rapat umum dan unjuk rasa. Dalam batas tertentu unjuk rasa merupakan
manifestasi proses demokratisasi. Maka banyak kalangan mempertanyakan mengapa
para pelaku unjuk rasa ditangkap dan diadili. Untuk
menghadapi para pengunjuk rasa Pemerintah dan DPR berhasil menciptakan UU Nomor
9 Tahun 1998 tentang " kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum
".
Diberlakukannya undang-undang tersebut bukan berarti
keadaan menjadi tertib seperti yang diharapkan. Seringkali terjadi
pelanggaran oleh pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, akibatnya banyak korban
dari pengunjuk rasa dan aparat keamanan. Hal ini disebabkan oleh :
(1) Undang-undang ini belum begitu memasyarakat.
(2) Pengunjuk rasa
memancing permasalahan, dan membawa senjata tajam.
(3) Aparat keamanan ada
.yang terpancing oleh tingkah laku pengunjuk rasa
sehingga tidak dapat mengendalikan diri.
(4)
Ada pihak
tertentu yang sengaja menciptakan suasana panas agar negara menjadi kacau.
Krisis ini merupakan momentum koreksi historis bukan
sekedar lengsemya Soeharto dari kepresidenan tapi yang paling penting membangun
kelompok sipil lebih berpotensi untuk membongkar praktek KKN, otonomi daerah,
dan lain-lainnya. Dimana krisis multidimensi ini berkaitan dengan sistem
pemerintahan Orde Baru yang sentralistik yaitu kurang memperhatikan tuntutan
otonomi daerah sebab sebab segala kebijakan untuk daerah selalu ditentukan oleh
pemerintah pusat.
5. Masalah Dwi Fungsi ABRI
Gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI maka petinggi militer bergegas-gegas melakukan
reorientasi dan reposisi peran sosial politiknya selama ini. Dengan melakukan
reformasi diri melalui rumusan paradigma baru yaitu menarik diri dari berbagai
kegiatan politik.
Pada era
reformasi posisi ABRI dalam MPR jumlahnya sudah dikurangi dari 75 orang menjadi
38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan yang termasuk Polri,
mulai tanggal 5 Mei 1999 Kepolisian RI memisahkan diri menjadi Kepolisian
Negara RI. Istilah ABRI berubah menjadi TNI yaitu angkatan darat, laut, dan
udara.
6.
Reformasi di Bidang Hukum
Pada masa pemerintahan Orde Baru telah didengungkan pembaharuan bidang hukum
namun dalam realisasinya produk hukum tetap tidak melepaskan karakter elitnya.
Misalnya UU Ketenagakerjaan tetap saja adanya dominasi penguasa. DPR selama
orde baru cenderung telah berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya
memihak penguasa bukan memihak kepentingan
masyarakat.
Prasyarat untuk
melakukan rekonstruksi dan reformasi hukum memerlukan reformasi politik yang
melahirkan keadaan demokratis dan DPR
yang representatif mewakili kepentingan masyarakat. Oleh karena itu
pemerintah dan DPR merupaka'n kunci untuk pembongkaran dan refbrmasi hukum.
Target reformasi hukum menyangkut tiga hal, yaitu : substansi hukum, aparatur
penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan institusi peradilan yang
independen. Mengingat produk hukum Orde Baru sangat tidak kondusif untuk
menjamin perlindungan hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi dan menghambat
kreatifitas masyarakat. Adanya praktek KKN sebagai imbas dari adanya aturan
hukum yang tidak adil dan merugikan masyarakat.
7. Sidang Istimewa MPR
Salah satu jalan untuk membuka kesempatan menyampaikan
aspirasi rakyat ditengah-tengah tuntutan reformasi total pemerintah
melakasanakan Sidang Istimewa
MPR pada
tanggal 10-13 Nopember 1998, diharapkan
benar-benar menyuarakan
aspirasi masyarakat dengan perdebaaatan yang lebih segar, dan terbuka.
Pada saat sidang berlangsung temyata diluar gedung
DPR/MPR Senayan suasana kian memanas oleh demonstrasi mahasiswa dan massa
sehingga anggotaMPR yang bersidang mendapat tekanan untuk bekerja lebih keras,
serius, cepat sesuai tuntutan reformasi.
Sidang Istimewa MPR menghasilkan 12 ketetapan, yaitu :
a. Tap MPR No.
X/MPR/1998 tentang : Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
b. Tap MPR No.
XI/MPR/1998 tentang : Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN.
c.
Tap MPR No. XH/MPR/1998 tentang :
Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indinesia.
d.
Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang :
Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
e.
Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tentang :
Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
f.
Tap MPR No. XVII/MPR/1998
tentang : Hak Asasi Manusia.
g.
Tap MPR No. VII/MPR/1998 tentang :
Perubahan dan Tambahan atas Tap MPR Nomor : I/MPR/1983 tentang
Peraturan Tata Tertib MPR sebagaimana telah beberapa
kali dirubah dan ditambah dengan ketetapan
MPR yang terakhirNomor: I/MPR/1998.
h.
Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tentang :
Perubahan dan Penambahan atas Tap MPR No. III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
i.
Tap MPR No. III/V/MPR/1998
tentang : mencabut Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang referendum.
j.
Tap MPR No. IX/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang
GBHN.
k.
Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang :
mencabut Tap MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus
kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam rangka Penyukseskan dan Pengamanan
Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
l.
Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang
: mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pendoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila
sebagai DasarNegara.
8. Pemilihan Umum 1999
Faktor politik yang penting untuk memulihkan krisis multidimensi di Indonesia
yaitu dilaksanakan suatu pemilihan urnum supaya dapat keluar dari krisis
diperlukan pemimpin yang dipercaya rakyat. Asas pemilihan urnum tahun 1999
adalah sebagai berikut:
1) Langsung, Pemilih
mempunyai hak secara langsung memberi suara sesuai kehendak nuraninya tanpa
perantara.
2) Umum, bahwa
semua warga negara tanpa kecuali yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia
17 tahun berhak memilih dan usia 21 tahun berhak dipilih.
3) Bebas, tiap
warga negara berhak menentukan pilihan tanpa tekanan atau paksaan dari
siapapun/pihak manapun.
4) Rahasia, tiap
pemilih dijamin pilihannya tidak diketahui oleh pihak manapun dengan cara
apapun
5) Jujur, semua pihak
yang terlibat dalam penyelenggaraan
pemilu (penyelenggara/pelaksana, pemerintah, pengawas, pemantau, pemilih,
dan yang terlibat secara
langsung) harus bersikap dan bertindak jujur yakni
sesuai
aturan yang berlaku.
6) Adil, bahwa
pcmilili dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, bebas
dari kecurangan pihak manapun.
Sebagaimana
yang diamanatkan dalam ketetapan MPR, Presiden B.J. Habibie menetapkan tanggal
7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemilihan umum. Maka dicabutlah lima
paket undang-undang tentang politik yaitu UU tentang :
1) Pemilu,
2) Susunan, kedudukan, tugas, dan
wewenang DPR/MPR,
3) Parpol dan Golongan Karya,
4) Referendum,
5) Organisasi Masa.
Sebagai
gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru yang
diratifikasi pada tanggal 1 Pebruari 1999 oleh Presiden B.J. Habibie yaitu :
1) UU Partai Politik,
2) UU Pemilihan Umum, dan
3) UU Susunan serta Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD.
Adanya
undang-undang politik tersebut menggairahkan kehidupan politik di Indonesia,
sehingga muncul partai-partai politik yangjumlahnya cukup banyak, tidak kurang
dari 112 partai politik yang lahir dan mendaftar ke Departemen Kehakinam namun
setelah diseleksi hanya 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilu. Pelaksana
pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum yang terdiri atas wakil pemerintah dan
parpol peserta pemilu.
Pemungutan suara dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Juni
1999 berjalan lancar dan tidak ada kerusuhan seperti yang dikhawatirkan
masyarakat. Dalam perhitungan akhir hasil pemilu ada dua puluh satu partai
politik meraih suara untuk menduduki 462 kursi anggota DPR.
9. Sidang Umum MPR Hasil Pemilu 1999
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh Jenderal (Pum) Rudini menetapkan
jumlah anggota MPR berdasarkan hasil pemilu 1999 yang terdiri dari anggota DPR
(462 orang wakil dari parpol dan 38 orang
TNI/PoIri), 65
orang wakil-wakil Utusan Golongan, dan 135 orang Utusan Daerah. Maka MPR
melaksanakan Sidang Umum MPR Tahun 1999tanggal 1-21 Oktober 1999. Sidang
mengesahkan Prof. DR. H. Muhammad Amin Rais, MA (PAN) sebagai Ketua MPR, dan
Ir. Akbar Tandjung (Partai Golkar) sebagai Ketua DPR.
Dalam
pencalonan presiden muncul tiga nama calon yang diajukan oleh fraksi-fraksi di
MPR, yaitu KH Abdurrahman Wahid (PKB), Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P),
Prof.DR. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc (PBB), Namun sebelum pemilihan Yusril
mengundurkan diri. Hasil pemilihan dilaksanakan secara voting KH. Abdurrahman
Wahid mendapat 373 suara, Megawati mendapat 313 suara, dan 5 abstein. Dalam
pemilihan wakil presiden dengan calon Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P) dan DR.
Hamzah Haz (PPP) dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil
Presiden Megawati Soekamoputri menyusun Kabinet Persatuan Nasional, yang
terdiri dari: 3 Menteri Koordinator (Menko Polkam, Menko Ekuin, dan Menko
Kesra), 16 menteri yang memimpin departemen, 13 Menteri Negara.
Pemerintahan Presiden KH.Abdurrahman Wahid (1999-2001) ini tidak dapat
berlangsung lama pada akhir Juli 2001 jatuh lewat Sidang Istimewa MPR akibat
perseteraunnya dengan DPR dan kasus Brunaigate serta Buloggate, kemudian
melalui Sidang Istimewa MPR yang kemudian melantik Wakil Presiden Hj. Megawati
Sukamoputri menjadi Presiden RI ke-5 (2001 - 2004) dan DR. H.Hamzah Haz dari
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi wakil presiden ke-9 (2001-2004).
2. Masa
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Pada tanggal 20 Oktober 1999, MPR berhasil memilih Presiden Republik Indonesia
yang ke-4 yaitu KH. Abdurrahman Wahid dengan wakilnya Megawati Soekarnoputri.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, ada beberapa persoalan yang dihadapi yang
merupakan warisan dari pemerintahan Orde Baru yaitu :
a.
Masalah praktik
KKN yang belum terselesaikan.
b.
Pemulihan
ekonomi.
c.
Masalah BPPN.
d.
Kinerja BUMN.
e.
Pengendalian
Inflasi.
f.
Mempertahankan
kurs rupiah.
g.
Masalah
jejaring pengaman sosial (JPS).
h.
Masalah
disintegrasi dan konflik antar umat beragama.
i.
Penegakan hukum
dan penegakan HAM.
1. Pembaharuan
yang dilakukan pada masa Pemerintahan Gus Dur adalah:
Membentuk
Kabinet Kerja untuk mendukung tugas dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari,
Gus Dur membentuk kabinet kerja yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional
yang anggotanya diambil dari perwakilan masing-masing partai politik yang
dilantik pada tanggal b28 Oktober 1999. Di dalam Kabinet Persatuan Nasional
terdapat dua departemen yang dihapuskan, yaitu Departemen Sosial dan Departemen
Penerangan.
Bidang Ekonomi : Untuk
mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia, dibentuk Dewan
Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan perbaikan ekonomi
Indonesia yang belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dewan
Ekonomi nasional diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim, wakilnya Subiyakto
Tjakrawerdaya dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani Indraswari.
Bidang Sosial
Budaya : Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan konflik
antarumat beragama, Gus Dur memberikan kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat
dan beragama. Hak itu dibuktikan dengan adanya beberapa keputusan presiden yang
dikeluarkan, yaitu :
· Keputusan
Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu.
Etnis Cina yang selama Orde Baru dibatasi, maka dengan adanya Keppres No. 6
dapat memiliki kebebasan dalam menganut agama maupun menggelar budayanya secara
terbuka seperti misalnya pertunjukan Barongsai.
· Menetapkan
Tahun Baru Cina (IMLEK) sebagai hari besar agama, sehingga menjadi hari libur
nasional.
Disamping pembaharuan-pembaharuan di
atas, Gus Dur juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang dinilai Kontroversial
dengan MPR dan DPR, yang dianggap berjalan sendiri, tanpa mau menaati aturan
ketatanegaraan, melainkan diselesaikan sendiri berdasarkan pendapat kerabat
dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi
negara.
Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kontroversial dari berbagai kalangan yaitu :
1)
Pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi yang dianggap Orde Baru.
2)
Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen
TNI Sudradjat, yang dilatarbelakangi oleh adanya pernyataan bahwa Presiden
bukan merupakan Panglima Tinggi.
3)
Pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam, yang dilatarbelakangi oleh hubungan
yang tidak harmonis dengan Gus Dur.
4)
Mengeluarkan pengumuman tentang
menteri Kabinet Pembangunan Nasional yang terlibat KKN sehingga mempengaruhi
kinerja kabinet menjadi merosot.
5)
Gus Dur menyetujui nama Irian Jaya
berubah menjadi Papua dan mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Puncak jatuhnya Gus dur dari kursi kepresidenan ditandai oleh adanya Skandal
Brunei Gate dan Bulog Gate yang menyebabkan ia terlibat dalam kasus korupsi,
maka pada tanggal 1 Februari 2006 DPR-RI mengeluarkan Memorandum yang pertama
sedangkan Memorandum yang kedua dikeluarkan pada tanggal 30 Aril 2001. Gus Dur
menanggapi memorandum tersebut dengan mengeluarkan maklumat atau yang biasa
disebut Dekrit Presiden yang berisi antara lain :
ü Membekukan MPR / DPR-RI
Mengembalikan kedaulatan di tangan
rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk pemilu
dalam waktu satu tahun.
ü Membubarkan
Partai Golkar karena dianggap warisan orde baru
Dalam kenyataan, Dekrit tersebut tidak
dapat dilaksanakan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan tidak
memiliki kekuaran hokum, maka MPR segera mengadakan Sidang Istimewa pada
tanggal 23 Juli 2001 dan Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Presiden RI
menggantikan Gus Dur berdasarkan Tap MPR No. 3 tahun 2001 dengan wakilnya
Hamzah Haz.
3. Masa
Pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004)
Megawati dilantik di tengah harapan akan membawa perubahan kepada Indonesia
karena merupakan putri presiden pertama Indonesia, Soekarno. Meski ekonomi
Indonesia mengalami banyak perbaikan,
seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun
Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang
berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun
seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang
berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai
pemimpin yang ‘dingin’.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi
Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004
dengan harapan untuk mempertahankan kekuasaannya
sebagai presiden.
Pada tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung
pertamanya. Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih
bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari
partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai
saingan yang hebat baginya.
Ø Pemerintahan
Gotong Royong
Kabinet Gotong Royong adalah kabinet pemerintahan Presiden RI kelima Megawati
Sukarnoputri (2001-2004). Kabinet ini dilantik pada tahun 2001 dan masa
baktinya berakhir pada tahun 2004. Kinerja Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
sangat mengecewakan. Megawati tidak tampil sebagai seorang presiden, melainkan
lebih sebagai ketua umum partai. Akibatnya, roda pemerintahan
tidak berjalan sebagaimana diharapkan banyak orang
dan cita-cita reformasi.
Penilaian itu dilontarkan Kelompok Kerja (Pokja) Petisi 50 dalam evaluasi akhir
tahun Petisi 50 yang berjudul "Catatan Akhir Tahun 2002, Pernyataan
Keperihatinan".
Sebagai pemimpin bangsa, menurut Petisi 50, Presiden Megawati sangat mudah
dipengaruhi. Selain itu, para pembantunya di jajaran kabinet kelihatan sangat
tidak solid. Hal itu terjadi karena para
menteri masing-masing mengusung kepentingan partai politik
(parpol) dari mana
mereka berasal.
4. Masa
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid 1
(ERA SBY-JK) pada tahun 2004-2009
Kabinet Indonesia Bersatu 1 (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalah kabinet
pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Kabinet ini dibentuk pada 21
Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5
Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk
pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para
menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
Susunan Kabinet Indonesia Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004),
perombakan pertama (7 Desember 2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007)
Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan
Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya,
program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih
banyak kekurangan disana-sini.
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II
(era SBY-Boediono) pada tahun 2009-2014
Kabinet Indonesia Bersatu 2 adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Susunan kabinet
ini berasal dari usulan partai politik pengusul pasangan SBY-Boediono
pada Pilpres 2009 yang mendapatkan kursi di DPR (Partai
Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai
Golkar yang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada
Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II
diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari
setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian
Menteri Keuangan.
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
1. BI rate
2. Nilai tukar
3. Operasi moneter
4. Kebijakan
makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas
modal.
Dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
No comments:
Post a Comment