Tauhid
Oleh Faisal Efendi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tauhid
adalah mengesakan Allah dalam hal-hal
yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara Rububiyah,
Uluhiyah, dan Asma’ wa sifat. Tauhid sendiri berasal dari Bahasa Arab “ wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”,
artinya mengesakan atau menunggalkan dari sekian banyak yang ada. Adapun ilmu
tauhid adalah ilmu yang mempelajari mengenai kepercayaan tentang Tuhan dengan
segala segi-seginya, yang berarti termasuk didalamnya soal wujud-Nya, ke-Esaan-Nya,
dan sifat-sifat-Nya. Syeh M. Abduh mengatakan bahwa, ilmu tauhid (ilmu kalam)
adalah ilmu yang membicarakan wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya,
sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya; membicarakan tentang
Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh
dipertautkankepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada
mereka (Hanafi, 2003: 2).
Pada
dasarnya manusia dari sejak lahir berada dalam fitrahnya yaitu, bertauhid.
Namun sesuai perkembangan lingkungan dan orang tuanyalah yang menentukan
selanjutnya. Banyak orang yang beriman namun tanpa didasari pengetahuan yang
memadai. Mereka beribadah namun ada saja yang masih menyimpang dari
ketauhidannya. Apalagi mereka yang berada di penjuru kampung yang masih banyak
mempercayai pohon-pohon yang besar, batu-batuan yang besar, dan lain
sebagainya.
Berangkat
dari uraian diatas kami berupaya untuk menjelaskan mengenai ilmu tauhid dan
perangkatnya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Apa pengertian tauhid dan ilmu tauhid?
2.
Bagaimana Argumen tentang wujud dan eksistensi
Allah?
3.
Bagaimana Mengenal Allah melalui makrokosmos
dan mikrokosmos?
4.
Apa pengertian Rubudiyah, Uluhiyah dan
Ubudiyah?
1.3
Tujuan Masalah
Secara umum
tujuan makalah ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Ilmu Tauhid.
Adapun secara
khusus, tujuan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk
menjelaskan pengertian tauhid dan ilmu tauhid
2.
Untuk
menjelaskan Agumen tentang wujud dan eksistensi Allah
3.
Untuk
menjelaskan bagaimana Mengenal Allah melalui makrokosmos dan mikrokosmos
4.
Untuk
menjelaskan apa pengertian Rubudiyah, Uluhiyah dan Ubudiyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
ILMU TAUHID
A. Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid
Tauhid merupakan masdar/kata benda
dari kata yang berasal dari bahasa arab yaitu “wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”
yang artinya menunggalkan sesuatu atau keesaan. Yang dimaksud disini adalah
mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah
ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil
keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu
esa.
Menurut Syeh M, Abduh, ilmu tauhid
(ilmu kalam) ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang
mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya; membicarakan tentang
Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan
kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka.
(Hanafi, 2003: 2).
Ilmu tauhid adalah sumber semua
ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama. Allah SWT
berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan
Allah.” (Q.S. Muhammad: 19)
Seandainya ada orang tidak
mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar
ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir.
Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai
keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.
Perkara dasar yang wajib dipercayai
dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan
kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak
boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain.
v Penamaan
Ilmu Tauhid :
Ilmu Tauhid juga disebut :
1.
Ilmu
‘Aqa’id: ‘Aqdun artinya tali atau pengikat. ‘Aqa’id adalah bentuk jama’ dari
‘Aqdun. Disebut ‘Aqa’id, karena didalamnya mempelajari tentang keimanan yang
mengikat hati seseorang dengan Allah, baik meyakini wujud-Nya, ke-Esaan-Nya
atau kekuasaan-Nya.
2.
Ilmu
Kalam: kalam artinya pembicaraan. Disebut ilmu kalam, karena dalam ilmu ini
banyak membutuhkan diskusi, pembahasan, keterangan-keterangan dan hujjah
(alasan) yang lebih banyak dari ilmu lain.
3.
Ilmu
Ushuluddin: Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Disebut Ilmu Ushuluddin,
karena didalamnya membahas prinsip-prinsip ajaran agama, sedang ilmu yang
lainnya disebut furu’ad-Din (cabang-cabang agama), yang harus berpijak diatas
ushuluddin.
4.
Ilmu
Ma’rifat: ma’rifat artinya pengetahuan. Disebut ilmu ma’rifat, karena
didalamnya mengandung bimbingan dan arahan kepada kepada umat manusia untuk
mengenal khaliqnya. (Zakaria, 2008:1)
v Sebab-sebab
dinamakan ilmu kalam ialah karena:
1.
Persoalan
yang terpenting diantara pembicaraan-pembicaran masa-masa pertama Islam ialah
Firman Tuhan (Kalam Allah), yaitu Qur’an apakah azali atau non-azali. Karena
itu keseluruhan isi Ilmu kalam dinamai dengan salah satu bagian yang
terpenting.
2.
Dalam
Ilmu Kalam ialah dalil-dalil akal pikiran di mana pengaruhnya tampak jelas pada
pembicaraan ulama-ulama kalam, sehingga mereka kelihatan sebagai ahli bicara.
Dalil Naqli (Qur’an dan Hadits) baru dipakai sesudah mereka menetapkan
kebenaran persoalan dari segi akal pikiran
3.
Pembuktian
kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat. Untuk dibedakan
dengan logika, maka pembuktian-pembuktian tersebut dinamai “Ilmu Kalam”.
(Hanafi, 2003: 5)
v Hakikat
Tauhid
Seluruh
manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan fitrahnya, yakni bertauhid.
Sebagaimana yang di terangkan dalam ayat Q. S. Ar-Rum: 30.
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam; sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan
menusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-Rum:30)
Manusia pada dasarnya memerlukan
suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang gaib, sebab itulah ia disebut
makhluk religius, yaitu makhluk yang memiliki bawaaan primordial (azali) untuk
beragama dan percaya kepada Tuhan. Inilah fitrah manusia yang secara otomatis
memiliki potensi bertuhan sejak kelahirannya. Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua oangtua
nyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Untaian kata-kata tauhid dalam Islam
dinyatakan dalam kalimat “laa ilaaha ilallaah”, Allah sebagai satu-satunya
Tuhan.
v Implikas
Tauhid
Tauhid dalam Islam yang
diekspresikan dengan kalimat “laa ilaaha ilallah” merupakan titik tolak untuk
membebaskan belenggu. Tauhid ini pula yang membebaskan manusia dari belenggu
manusia lainnya, dari penyembahan terhadap rasio dan mental, serta dari sikap
hidup materialistis.
Tauhid juga membebaskan manusia dari
kependetaan dan hiruk pikuk dunia. Jadi, tauhid mengandung pengertian bahwa
manusia tidak membutuhkan apa-apa selain Allah, sehingga seseorang yang beriman
diberi kemulyaan dan kepuasan sebagai hamba yang bebas dan benar-benar
terhormat.
Sudah jelaslah bahwa konsep tauhid
“laa ilaaha ilallaah” mempunyai implikasi begitu revolusioner berupa
pembebasan. Ia meniadakan otoritas, apapun bentuknya, untuk berhubungan dengan
Allah swt. Sehingga manusia terbebas dari perbudakan mental dan penyembahan
sesama makhluk. Allah swt., sudah jelas dekat dengan siapapun. Firman Allah
swt.
Artinya : “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila
dia berdosa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku, agar mereka memperoleh
kebenaran. (Q.S. al-Baqarah: 186)
Inilah diantara hakikat tauhid “laa
ilaaha ilallaah”. Apabila setiap orang mempunyai tauhid yang benar dan memahami
tentang dirinya yang bebas dari belenggu apapun selain Allah swt., maka
seharusnya ia dapat bekerja dan berkarya lebih baik tanpa gangguan
pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang justru menghalangi etos kerja
dan karya bagi kehidupan manusia. (Ismail, 2008: 10-23)
2.2 Bidang
Pembahasan Ilmu Tauhid
Tauhid mempunyai beberapa pembahasan
diantaranya ada 6 yakni :
1.
Iman
kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa
sekutu apapun bentuknya.
2.
Iman
kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat
yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui
sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui
mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti
kerasulan Nabi Muhammad saw.
3.
Iman
kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai
petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.
4.
Iman
kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan
manusia di dunia dan akhirat.
5.
Iman
kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi
orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).
6.
Iman
kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua
yang ada di alam semesta ini.
Allah swt
berfirman :
“آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285)
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285)
Rasulullah
saw. ditanya tentang iman, lalu beliau
pun menjawab;
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
Artinya: “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
Artinya: “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
2.1
ARGUMEN TENTANG WUJUD DAN EKSISTENSI ALLAH
A.
Dalil keberadan tuhan
Masalah ketuhanan merupakan salah satu persoalan yang menjadi sorotan dalam
pembahasan-pembahasan
kalam. Setiap aliran kalam,baik yang muncul pada preode yang awal maupun
kelanjutan, aliran-aliran yang masih berkembang hingga masa ini,dapat di
pastikan menaruh perhatian khusus terhadap masalah tersebut. Hal yang penting
untuk di kemukakan sebelum melanjukan pembahasan adalah bahwa semua
mutakallimin yakin dengan keyakinan sepenuhnya mengenai wujud tuhan yaitu bahwa
wujud tuhan ada.
Menurut misbah yaszi, wujud segala sesuatu ”yang mungkin
meng-ada” tidak terlepas dari dua kondisi : wujudnya bersifat niscaya, ada
dengan dirinya sendiri yang di istilahkan denagan wajib al-wujud, atau tidak
bersifat niscaya, namun wujunya tergantung pada yang lain yang di istilahkan
dengan mumkin al-wujud.
Dengan kata lain, sesuatu itu wajib al- wujud atau mumkin al
wujud. jelas, jika bersifat mumkin (tidak mungkin), maka sesuatu
sama sekali tidak akan terwujud, dan tidak akan dinilai sebagai sesuatu apapun.
Dengan demikian, setiap sesuatu adalah entah sebagai wujud niscaya ada (Wajib
Al wujud) atau wujud kontingen (Mumkinu Al wujud).
Sesuatu yang wujudnya lemah atau yang bergantung serta
bersifat mumkin al wujud, tentu membutuhkan penyebab. bila dikatakan bahwa “setiap
sesuatu” membutuhkan penyebab, maka itu bukan bermakna bahwa tuhan juga
memerlukannya (penyebab) ,atau bukan bermakna bahwa iman kepada allah , zat tak
bersebab, bertentangan dengan hukum kausalitas.
Ibnu
sina dalam karyanya mengajukan dalil untuk membuktikan eksistensi sang pencipta
bahwa wujud itu bisa wajib atau mumkin. Wujud mumkin (Mumkin Al-Wujud)
mewujud karena beberapa faktor eksternal.
Jika faktor eksternal itu adalah wujud wajib pada dirinya
sendiri, maka itulah sumber (Wujud) dan pencipta. Jika faktor eksternal itu
wujud mumkin, maka ia pasti akibat atau epek dari sesuatu yang lain ketimbang
dirinya sendiri. Jika rangkaian wujud-wujud mumkin meluas secara tak terbatas
tanpa mencapai titik awal, suatu titik sumber dan eksistensi wajib tak satupun
daari wujud-wujud mumkin dalam rangkaian tak terbatas ini ada karena
aktualisasi dari rangkaian ini tergantung pada adanya rangkaian sebelumnya. Dan
asumsi seperti ini terus berlanjut secara tak terbatas.
Untuk menjelaskan argumen ibnu Sina, kami akan memberikan
ngulistrasi berikut. Anggaplah sebuah batu karang yang besar jatuh menimpa
jalan, sehingga menutupinya. Jelaslah,batu karang itu tidak akan bergerak
karena dirinya sendiri pejalan pertam yang melewatinya mendapatkan jalan
tertutup dan berkata kepada kepada dirinya sendiri :” jika ada orang lain yang
menemani niscaya kami bisa memindahkan batu karang tersebut dan membersihkan
jalanya.”. seorang pejalan kedua muncul namun mendengar ucapan orang pertama,
ia menjawab bahwa, “jika ada orang lain yang menemani maka kami bertiga niscaya
bisa memindahkan batu karang tersebut”. Pejalan ketiga sampai ditempat
tersebut, seraya berkata bahwa: ”jika ada orang ke empat muncul dan membantu,
maka kami bisa menggeser batu karang itu.” Orang ke empat muncul dan menanti
kedatangan orang kelima, dan seterusnya sampai tidak terbatas. Apakah batu
karang itu akan bergerak dalam keadaan semacam itu?
Tentu
saja tidak, batu karang itu akan pindah hanya ketika seseorang datang dan mau
bertindak tanpa menunggu
kemunculan orang lain. Dalam situasi seperti itu baik ia sendirian maupun
bersama-sama akan bertindak dan memindahkan batu karang itu sehingga jalan pun
terbuka lagi.
Demikian pula dalam rangkaian sebab akibat, sepanjang kita
tidak sampai pada suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri lepas dari
benda-benda apapun, maka tak satu rangkaian pun yang niscaya ada dengan kata
lain kita haarus sampai pada wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau
wajibul wujud, oleh sebab itu dalam bayangan wujud mutlak inilah segala sesuatu
mencapai keberadaanya.
Ibnu Sina berusaha mengemukakan pembuktian kebenaran dengan
mengambil salah satu dalil tentang wujud tuhan. Bagi tuhan adalah wajibul
wujud, yaituwujud yang tidakbolehtidak,yangeksistensi-Nyasuatukepastian.
Masalah ketuhanan itu dalam pandanganya berkaitan dengan filsafat wujud dalam
pemikiran metafisika.
Dalam pembuktian metafisik mengenai wujud, Ibnu Sina
menjelaskan bahwa setiap wujud yang ada dapat dibagi dua yaitu wujud yang
mungkin (Mumkin Al-Wujud), dan wujud yang niscaya (Wajib Al-wujud).
Yang dimaksud mumkinul wujud adalah apa yang ketiadaanya
tidak menyebabkan kemusatahilan, karena ia tidak harus ada, dan peluangnya
untuk ada sebanding dengan peluangnya untuk tidak ada. Sedangkan yang dimaksud
dengan wajibul wujud adalah apa yang jika diduga tidak ada membawa kepada
kemustahilan karena ia harus ada.
B.
Pandangan Materialisme Terhadap Tuhan
Para penganut materialism berpen dapat bahwa wujudi tusama
dengan materi dan material. Sesuatu itu, dianggap ada bila ia berupa materi dan
meliputi tiga dimensi (panjang, lebar dan padat) atau meliputi tipologimateri
sehingga ia di sifati dengan kuantitas dan dapat dibagi.
Bahwa materi bersifat Azali, abadi, tidak dicipta dan tidak
membutuhkan sebaba apapun, yang di dalam filsafat dinamakan wujud niscaya
ada (Wajibul Wujud). Kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini
memiliki tujuan dan sebab akhir karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan
kehendak sehingga dapat dini bahkan tujuan penciptaan.
C.
Sanggahan Para Filosof Terhadap Pandangan Materialisme
Para ahli filsafat seperti Mulla Sadra, Ibnu Sina dan
lain-lainya telah banyak menyanggah pendapat para kaum materialism tentang
eksistensi Tuhan.
“Al
Adamu Al wujdan haya dullu ‘alaa ‘adamilwujud” (Tidak diketahui bukan berarti
tidak ada).
Dengan demikian, paling tidak kita harus menerima asumsi
kewujudanya.Tidak berarti bahwa sesuatu yang tidak tampak itu tidak ada. Contoh
sederhana adalah Angin, Suara, dan AliranListrik, karena walaupun tidak tampak
tetapi angin itu bisarasakan, itulah zat ALLAH swt.
D.
Dalil Qodimnya
Allah
a)
Pengertian Sifat Qidam
Qidam untuk sifat Allah menurut ahli kalam adalah “Bahwa Allah Ta’ala tidak ada awal
untuk keberadaannya dan IA tidak
didahului dengan ketidak-adaan, adalah Allah ada dan
tidak
ada sesuatu pun selain diri-Nya, kemudian ia menciptakan makhluk” (Iqtinash
Al-Awaly Min)
Iqtishad Al-Ghazali, oleh DR.
Muhammad Rabi’ Jauhari hal. 73).
Adapun Arti Qidam secara harfiyah adalah yang terdahulu,
secara ma'any arti Qidam terbagi kepada3 pengertian :
1.
Qidam Idlofi, lamanya sesuatu karena
disandarkan kepada yang lain, seperti ayah Qidam kalau disandarkan kepada anak,
tetapi kalaudisandarkankepadakakek, ayah tidakQidam.
2.
Qidam Zamani, lamanya sesuatu karena
memang sudah lama zamannya tetapi didahului dengan tidak ada, seperti Qidamnya
alam semesta.
3.
Qidam Dzati, lamanya sesuatu tidak
diawali dengan tidak ada, tidak bersandar kepada adanya yang lain dan tidak
terikat zaman, yakni Qidamnya Allah SWT.
Dengan demikian bahwa Allah itu qadim (tiada permulaan
wujud-Nya). Adapun dalil naqli dan naqlinya:
b)
Dalil Sifat Qidam
Allah swt berfirman dalam al-quran yang artinya:
Dialah Tuhan yang awal tiada permulaan dan
yang akhir tiada kesudahan. (Al- Hadid:3)
Adapaun
Kata Qidam / Qadim dalam Al – Qur’an dan Sunnah Ada empat tempat penyebutan
kata Qadim dalam Al – Qur’an yaitu dalam surat (Qs. Yusuf: 95, Yasin: 39, Al –
Ahqaf:11, danAsy – Syu’ara:75-76). Lafadh Qadim yang ada pada empat tempat
tersebut menunjukkan pada sifat bagi makhluk. (Kekeliruan yang dahulu, sebagai
bentuk tanda yang tua, dusta yang lama, dan nenek moyangmu yang dahulu).
Sedang didalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw
apabila masuk masjid beliau berdoa: (Artinya): “Aku berlindung kepada Allah
yang Maha Agung, dengan wajah – Nya yang mulia dan dengan kekuasaannya yang
Qadim (terdahulu) dari syaithan yang terkutuk”. (HR. Abu Dawud). lafadh
Qadim pada hadits ini menunjukkan pada sifat bagi kekuasaan Allah.
Dalil bagi menunjukkan wujudnya ALLAH SWT ialah dengan
baharunya alam ini. Dan baharunya alam ini adalah kerana ia tergabung di antara
jirim dan ' aradh Jirim sepertimana yang kita ketahui adalah sesuatu yang
mengambil tempat lapang. Dengan yang demikian, jirim itu bersifat baharu.
Selain dari itu, 'aradh yang berdiri pada jirim itu, keadaannya sentiasa
berubah-ubah, maka 'aradh itu bersifat baharu. Oleh kerana 'aradh berdiri di
atas jirim, maka baharunya 'aradh membawa kepada baharunya jirim.
Jadi, kalau jirim dan 'aradh bersifat baharu sedangkan
'aradh dan jirim adalah gabungan yang menjadikan alam, maka dengan sendirinya
alam juga baharu. Kalau alam ini baharu, tentulah ada yang membaharukannya.
Yang membaharukannya atau yang menjadikannya adalah ALLAH SWT. Dari itu, jelas
membuktikan wujudnya ALLAH SWT.
Berikutan
dari pengertian kita tentang wujudnya ALLAH SWT itu, maka di sini kita akan
memerhatikan pula tentang dalil yang menunjukkan ALLAH SWT bersifat Qidam atau
bersifat sedia. arti sedia bagi ALLAH SWT ialah bahawa ALLAH SWT tidak
didahului oleh tiada atau dalam artikata yang lain, ALLAH SWT tidak ada
permulaan.
Perbahasan yang mudah kita fahami yang dapat kita buat
secara ringkas bagi menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat qidam
ialah, kalau ALLAH SWT tidak bersifat Qidam atau sedia, maka tentulah akal kita
akan berkata yang ALLAH itu baharu. Dan kalaulah ALLAH itu baharu, tentulah ada
yang membaharukan-Nya atau yang menjadikan-Nya.
c)
Kata Qodim dan Azali
Ada dua perkataan yang berkaitan
dengan Qidam, yaitu Qodim dan Azali, yang pengertian dan hubungannya dengan
Qidam para ‘Ulama berpendapat :
a.Perkataan
Qodim dipergunakan untuk sesuatu yang ada dan adanya tidak ada permulaan dan
tidak terkait zaman, maka yang disebut Qodim adalah Dzat Allah SWT. Dan sifat
Ma'ani di Allah SWT. Perkataan Azali, dipergunakan untuk yang tidak ada
permulaan, maka yang disebut Azali adalah Allah SWT. Dan semua sifat Allah SWT.
b.Perkataan
Qodim, hanya digunakan untuk yang tidak ada permulaan dan tidak membutuhkan
kepada yang lain maka perkataan Qodim hanya untuk Dzat Allah SWT, tidak kepada
sifatnya, karena sifat membutuhkan kepada Dzat. Perkataan Azali, untuk yang
tidak ada permulaan, baik berdiri sendiri atau bersandar kepada yang lain, maka
perkataan Azali adalah untuk Dzat Alloh SWT, dan seluruh sifat-sifatNya.
c.Perkataan
Qodim dan Azali, sasarannya sama, untuk yang tidak ada permulaan, maka seluruh
sifat Allah SWT. Dan Dzat Allah SWT. Bisa disebut Qidam bisa pula disebut
Azali.
d).Dalil
‘Aqli Sifat Qidam
Dalil ‘Aqli (logika) yang menunjukan kepada Qidamnya Allah
SWT, adalah ; Apabila Allah tidak Qidam, maka pasti adanya Allah didahului
dengan tidak ada, sedangkan proses dari tidak ada kepada ada, pasti memerlukan
kepada yang mengadakan (pencipta). Andaikan yang menciptakan Allah itu adalah
Allah yang kedua, maka Allah yang keduapun pasti tidak Qidam, sebab
keberadaannya tentu akan membutuhkan pencipta lagi seperti Allah yang pertama,
kalau diperkirakan Allah yang kedua itu adalah Allah yang pertama maka pasti
menimbulkan problema Daor, yakni perkara yang pertama menunggu kepada yang
kedua dan yang keduapun menunggu yang pertama. Hal seperti ini adalah mustahil
wujud (tidak mungkin adanya). Kalau diperkirakan lagi bahwa pencipta Allah yang
ketiga, yang ketiga diciptakan oleh yang ke empat dan terus berkelanjutan tanpa
ada akhirnya makan akan terjadi proses Tasalsul yakni proses berantai yang
tiada ber-kesudahan, hal ini adalah mustahil wujud seperti Daor. Oleh karena
proses Daor. Oleh karena proses Daor dan Tasalsul adalah mustahil maka tetaplah
bahwa Allah itu Qidam.
Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan
berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya
yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan
semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan,
semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu
sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal
ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud
lain.
Burhan shiddiqin yang dibangun oleh
Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam.
Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan
menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar
bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala
makhluk dan menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah
satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan
manifestasi dan tajalli wujud-Nya.
Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor
alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam
atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah
satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini
adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan
waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi
alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini,
merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini
menyebabkan perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat
kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.
Semoga dengan dalil dalil dan argumen ini kita bisa
mengambil kesimpulan dan meyakini bahwasanya allah itu adalah zat yang
keberadaan nya adalah tidak membutuhkan kepada yang lain dan Dia berdiri
sendiri dengan zatnya .
Firman Allah swt. :“Katakanlah, ‘kepunyaan
siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka
akan menjawab, ’Kpunyaan Allah..’ Katakan lah, ’Siapakah yang mempunyai langit
yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang agung ?’ Mereka menjawab, ’Kepunyaan
Allah.’ Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa ?’ Katakanlah, ’Siapakah
yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi
dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka menjawab, ’Kepunyaan Allah.’
Maka dari jalan manakah kamu ditipu ? Sebenarnya kami telah membawa kebenaran
kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan lain
beserta-Nya. Kalau ada tuhan lain beserta-Nya masing-masing tuhan itu akan
membawa makhluk yang diciptakan-Nya, dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan
sebagian yang lainnya.” (Al Mu’minun 84-91)
“(Dan)
sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan Maha
Mengalahkan.” (Shaad 65)
“Ataukah
mereka mempunyai Tuhan selain Allah?” (Ath Thur 43)
E.
Dalil hudust
Dalil `aqli yang menunjuki bahwa Allah itu wujud adalah
hudust alam (terjadinya alam), arti hudus adalah adanya alam ini di dahului
oleh tiada. Terjadi alam ini menjadi bukti` kepada adanya tuhan karena tidak
mungkin alam ini akan terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang
menciptakannya. Hal tersebut dikarenakan sebelum wujud alamini ada dua
kemungkinan yang memiliki tingkatan yang sama yaitu wujud alam dan tetap tidak
wujud alam ini. Maka bila alamini wujud dengan sendirinya maka telah terjadi
penguatan kepada salah satu dari dua kemungkinan yang sama (wujud alam dan
tidak wujud alam ini) tanpa ada yang menguatkannya. ini merupakan suatu hal yang
mustahil dan tak masukakal. Maka pada saat alam ini telah ada pasti ada satu
zat yang menciptakannya. Zat tersebut tak lain adalah tuhan yang maha kuasa
yang bernama Allah. Dari dalil ini kita hanya mengetahui adanya tuhan dan
kita belum dapat mengetahui bahwa tuhan yang maha kuasa itu bernama
Allah. Kita dapat mengetahui bahwa tuhan yang maha kuasa itu bernama Allah
melalui perantaraan para nabi – nabi yang telah menjelaskan kepada kita
ummat manusia bahwa Zat yang maha kuasa yang telah menciptakan alam ini
bernama Allah. Adapun dalil Naqli yang menjelaskan bahwa Allah itu wujud
adalah firman Allah dalam Al qur-an yang artinya :
“Tidakkah kamu liat bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran?”
C.MENGENAL
ALLAH MELALUI MAKRO KOSMOS DAN MIKRO KOSMOS
Energi Cahaya Ilahi Yang meliputi
langit dan bumi. Energi Kosmik adalah spektrum energi cahaya yang mempunyai
gelombang (vibrasi) dimensi tinggi. Energi Alam Semesta (Cosmos) pada
dasarnya terbagi menjadi 3 kelompok :
- Energi
Mikro Kosmos, adalah energi alam kecil yang
berada di dalam diri manusia. Contoh dari energi-energi yang termasuk
dalam kelompok ini adalah : Shakti, Kundalini, Cakra, Tenaga Dasar, Tenaga
Dalam Hikmah, Tenaga Dalam Inti, Inti Ruh, dll.
- Energi
Makro Kosmos, adalah energi alam semesta
atau alam besar. Contoh dari energi-energi yang termasuk dalam
kelompok ini adalah : Reiki, Ling Chi, Karuna, Seichim, Prana (Choa Kok
Sui), Drisana, Neriya, Golden Triangle, Ra-Sheeba, Energi Pusaka,
Jin, Khodam, Energi Sinar kosmik, Tachyon, dll.
- Energi
Maha Kosmos, adalah energi Suci dari Alam
Ke-Tuhanan. Contoh : Energi Nur Ilahi, Energi Nur Muhammad, Energi Kalam
Tuhan, Energi Asma Tuhan, Energi Kultivasi, dll.
Kosmos dan Keberadaannya
Kosmos adalah keteraturan yang ada
di semesta. Kosmos, dalam pengertian yang paling umum, adalah suatu sistem yang
teratur atau berada dalam harmoni. Berasal dari kata bahasa Yunani κόσμος
yang berarti “keteraturan, susunan yang teratur, hiasan”, kosmos merupakan
konsep antitesis dari khaos. Ilmu yang mempelajari kosmos disebut dengan
kosmologi. Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam
semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula
dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi,
dan agama.
Sebagaimana yang banyak dipahami
oleh kita, bahwa ada Dua Tingkatan kosmos di semesta ini, pertama MIKROKOSMOS,
dan kedua MAKROKOSMOS. Namun kami berusaha membuatnya menjadi lebih
konprehensif dengan menambahkan unsur yang ketiga (baca : yang utama), yang tak
terlihat dan yang paling dahsyat, yang bertanggung jawab penuh atas keberadaan
kedua kosmos tersebut, yaitu MAHAKOSMOS.
Disebut sebuah keteraturan adalah
karena adanya “keotomatisan” semesta yang berlangsung dalam alam yang luas ini.
Siapapun yang gerak-geriknya selaras dengan sistem semesta yang berlangsung,
insya Allah otomatis ia menjadi orang sukses. Karena itu, orang-orang sukses
adalah orang-orang yang hidupnya teratur.
Sahabat Semesta, kita sebagai
individu (Mikrokosmos) harus mengikuti keteraturan yang ada di alam semesta
(Makrokosmos). Namun demikian, karena rahasia keteraturan Makrokosmos ini masih
sangat banyak yang belum terungkap, maka kita ering kesulitan untuk hidup
menselaraskan diri dengan alam semesta. Itu mengapa Allah SWT memberikan
kemudahan kepada hamba-hamba-Nya dengan cara menyuruh hamba-hamba-Nya mengikuti
aturan yang telah dibuat-Nya. Itulah keteraturan versi Mahakosmos, sebuah
keteraturan yang langsung dipandu oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang beriman.
Jika hari ini kita mengikuti
keteraturan Mahakosmos, maka otomatis Mikrokosmos kita sudah selaras dengan
keteraturan yang ada di dalam Makrokosmos. Itu sebabnya, sangat wajar,
orang-orang yang beriman, yang hidupnya teratur maka ia berhak mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan keteraturan yang ada di semesta ini
disebut sebagai SUNNATULLAH.
“Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak
dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
(Q.S. 48 : 23)”
Sahabat Semesta, izinkan saya
bertanya, apa pandangan Anda terhadap orang-orang yang hidupnya tidak mau
mengikuti aturan yang berlaku di sekitarnya. Contoh, tidak ikut aturan RW,
tidak ikut aturan Lurah, tidak ikut aturan dalam bernegara, juga bahkan tidak pernah
mengikuti aturan berlalulintas. Kira-kira, apa yang akan terjadi kepada
orang-orang yang berlaku demikian? Ya, tentu saja, sebuah kehancuran yang
dahsyat, baik bagi dirinya dan juga berdampak kepada orang-orang di sekitarnya.
Itulah orang-orang yang hanya
mengikuti hawa nafsunya belaka, ingin hidup bahagia tapi tidak mengerti arti
dari kebahagiaan. Ingin hidup dihormati, tapi tidak mengerti mengapa hadir
sebuah penghormatan. Ya, hawa nafsu hanya membawa kehancuran di semesta ini.
Nah, berikutnya, Sahabat Semesta,
kalau saja di sebuah negara ada ATURAN MAIN yang berlaku, maka tentu saja di
ALAM SEMESTA ini juga ada ATURAN MAIN yang berlaku. Dan barang siapa yang
hidupnya teratur sesuai dengan aturan yang ada di ALAM SEMESTA maka
kehidupannya akan sukses bahagia, tetapi barang siapa yang tidak mau mengikuti
aturan di semesta, maka hidupnya akan hancur binasa dan membinasakan apapun
yang ada di semestanya.
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka,
pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya
Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi
mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (Q.S. 23 : 71).
Mikrokosmos
Mikrokosmos adalah unsur-unsur mikro
yang ada di alam semesta. Sebenarnya batasan besaran mikro itu relatif. Mikro
bisa dimulai dari quark, inti atom, elektron, proton, molekul, sel DNA,
individu manusia, pohon, gunung, batu, laptop, bumi, planet dan benda-benda
lainnya. Semakin mikro maka semakin tak terlihat, dan benda yang tak terlihat
ini bisa disebut sebagai Quanta.
Semakin tambah kemikroan kita, maka
semakin “hilanglah” kita, lalu menembus alam Maha. Laa haula walaa Quwwata
illaa billaah. Inilah alam super mikro (manusia super) yang sebenarnya karena
ia merasa tiada memiliki kekuatan selain kekutan dari Allah SWT.
Anda adalah Mikrokosmos di alam
semesta ini. Karena alam semesta memiliki prinsip-prinsip aturan main
kehidupan, maka agar Anda hidup relatif sukses, Anda harus bisa menyelaraskan
diri dengan prinsip-prinsip aturan semesta di Makrokosmos yang sudah pasti
selaras dengan aturan di Mahakosmos.
Insya Allah, sinergi yang selaras
antar Mikrokosmos yang terjadi di alam semesta ini akan membuat bumi dan alam
semesta ini menjadi “awet muda” tidak cepat letih, tidak mudah marah, dan tidak
sering sakit-sakitan.
Hari ini kita melihat, selain sudah
mulai tua dan sering sakit-sakitan, kini bumi pun sudah mulai mudah emosional,
buktinya bencana alam pun akhirnya terjadi di mana-mana. Sebenarnya, dalam
bahasa yang sederhana, maka terjadinya Bencana Alam ini adalah karena adanya
hubungan yang tidak sinergis antar Mikrokosmos yang ada, termasuk hubungan
antara Mikrokosmos dengan Mahakosmos, sehingga mengakibatkan secara otomatis
memburuknya hubungan Mikrokosmos dan Makrokosmos, setelah itu menjadi
berantakan, lalu hancurlah sebagian dari bumi ini.
Makrokosmos
Nah, gabungan dan sinergisasi
individu-individu di level Mikrokosmos inilah yang disebut sebagai Makrokosmos.
Jadi Makrokosmos adalah alam yang lebih bersifat “berjamaah” dan “sinergis”,
saling ketergantungan, saling mempengaruhi, dan saling terkait erat dengan
SUNNATULLAH yang berlaku.
Makrokosmos bekerja dengan taat
sesuai “kontrak” yang telah dibuatnya di hadapan Tuhan-Nya. Alam Makro ini
bergerak “apa adanya” dan “otomatis”. Jika kita memperlakukannya dengan
perlakuan X maka akan berakibat Y dan seterusnya. Memang sudah demikian
terprogram tanpa adanya praktek pilih kasih.
Artinya siapa pun yang bekerja dan
hidup sesuai dengan keteraturan yang ada di alam Makro (Maaf, walaupun mungkin
saja ia tidak ber-Tuhan, atau ia ber-Tuhan tapi tidak beragama), maka
kehidupannya akan semakin ringan dan tenang. Dan barang siapa yang “melanggar”
aturan yang ada di Makrokosmos maka ia akan celaka di dunia ini.
Contoh, dalam aturan Makrokosmos
disebutkan bahwa apapun benda yang memiliki massa, yang dilepas dari ketinggian
tertentu maka ia akan terjatuh. Walaupun “benda” tersebut adalah seorang
manusia yang rajin pergi ke masjid, tetap saja secara “sunnatullah” dia akan
terjatuh ketika ia melompat atau terlepas dari ketinggian gedung lantai
sepuluh. Dia tidak akan terbang.
Memang, pada kasus-kasus tertentu
atau “Post Majeur”, ada kontrak yang dibuat antara alam semesta ini dengan
Allah yang kita tidak mudah memahaminya. Misal, kasus Isro’ dan Mi’raj-nya nabi
Muhammad saw. Hal ini sunnatullahnya lebih special. Berlaku hanya untuk
orang-orang tertentu, yakni orang-orang yang special di hadapan Allah.
Berikutnya, dalam alam Makrokosmos
ini ada dua model Sunnatullah yang bisa kita pahami. Pertama Sunnatullah yang
Visible (Nyata/Fisika), dan kedua Sunnatullah yang Invisible
(Ghoib/Metafisika). Untuk hidup selaras dengan Sunnatullah yang bersifat
VISIBLE/FISIK relatif jauh lebih mudah dibandingkan untuk hidup selaras dengan
Sunnatullah yang bersifat INVISIBLE/METAFISIK.
Misalanya, kasus “aturan gravitasi”
adalah sebuah hukum Fisika, tetapi untuk kasus seperti “aturan bahwa orang yang
bersyukur itu bertambah nikmatnya”, maka perlu pengetahuan aturan yang
Metafisik. Dan, percaya atau tidak, ternyata bahwa akses Metafisik yang paling
dahsyat adalah kitabullah yang bernama Al-Quran.
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman (yakin dan
menurut) kepada yang ghaib (metafisik), yang mendirikan shalat (habluminallah),
dan menafkahkan sebahagian rezki (hablumminannas) yang Kami anugerahkan kepada
mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan
adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S. 2 : 2-4).
Begitulah alam Makrokosmos, ia
bekerja secara Sunnatullah, dan bekerja sesuai dengan instruksi dari Allah SWT.
Itu sebabnya, tiada yang tidak Sunnatullah, semuanya adalah Sunnatullah, dan
semuanya bisa dipahami dengan Qolbu kita, yakni dengan Akal kita, selama kita
dekat dengan Allah SWT. Sahabat Semesta, semua adalah sunnatullah-Nya, maka
tiada satupun yang dibuat kebetulan, dan tiada satu pun yang terjadi dalam
kehidupan Anda berlabel KEBETULAN.
Jadi, di alam Makrokosmos ini, Allah
telah membuat hukum-hukum alam yang tidak pernah berubah karena Allah selalu
menepati janji-janji-Nya. Nah, agar kehidupan sang Mikrokosmos itu selamat,
maka setiap Mikrokosmos yang ada harus patuh total terhadap aturan-aturan yang
terdapat di alam Makrokosmos. Dan aturan-aturan itu bisa disimak secara jelas
lewat pedoman-pedoman suci versi Mahakosmos.
D.TAUHID RUBUBIYAH, TAUHID ULUHIYAH DAN TAUHID UBUDIYAH
A.
TAUHID RUBUDIYAH
Rububiyah
adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah SWT, yaitu “Rabb”.
Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain: al-Murabbi (pemelihara),
al-Nashir (penolong), al-Malik (pemilik), al-Muslih (yang memperbaiki),
al-Sayyid (tuan), dan al-Wali (wali). Sedangkan menurut istilah tauhid
rububiyah berarti “percaya bahwa hanya Allah-lah satu-satunya pencipta,
pemilik, pengendali alam raya yang dengan takdirnya Ia menghidupkan dan
mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-Nya.[1]
Allah SWT berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raaf: 54).[2]
Tauhid Rububiyah mencakup
dimensi-dimensi keimanan berikut ini:
Pertama : Beriman kepada
perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Misalnya menciptakan,
memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, menguasai, dan lain-lain.
Kedua : Beriman kepada
takdir Allah.
Ketiga : Beriman kepada
Zat Allah SWT.[3]
Landasan Tauhid Rububiyah adalah
dalil-dalil berikut ini:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1).
Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS.
At-Thuur: 35).
Runtut pembuktian akal sehat atas
ayat ini adalah bahwa ada tiga asumsi yang mungkin dapat diterima secara logis
disini, yaitu:
Asumsi pertama : Mereka diciptakan
dari ketiadaan. Ini secara mutlak jelas tidak mungkin, karena ketiadaan kontra
kewujudan.
Asumsi kedua : Mereka
adalah pencipta-pencipta. Ini tentu mustahil karena mengansumsikan kewujudan
sesuatu pada saat ketiadaannya.
Asumsi ketiga : Ada
pencipta selain mereka, yaitu Allah SWT. Asumsi inilah yang harus diterapkan.
Dalil akal sehat (logika) lainnya adalah “at-Tamanu” (pertentangan) yaitu
jika diasumsikan ada dua pencipta, maka ada dua kemungkinan:
Pertama : Derajat mereka sama, jika
derajat mereka sama maka ada kemungkinan tindakan salah satu dari keduanya
adalah syarat bagi tindakan yang lain. Yakni bila yang satu menginginkan satu
benda bergerak, sementara yang lain menginginkan tidak bergerak. Ini tentu
mustahil, maka otomatis hal ini gugur.
Kedua : Derajat mereka
berbeda atau bertingkat, maka yang terkuatlah mengendalikan, hal ini bukti
kelemahan dan menyebabkan kerusakan. Asumsi ini jelas salah, alam semesta
memiliki keteraturan yang kokoh dan sempurna tanpa cacat, maka benar adanya
bahwa Tuhan itu hanya satu yakni Allah SWT.
B.
TAUHID ULUHIYAH
Kata Uluhiyah diambil dari akar kata Illah yang berarti: Yang disembah
dan Yang ditaati. Kata ini digunakan untuk menyebut sembahan yang hak dan yang
batil. Untuk sembahan yang hak misalnya dalam firman Allah SWT:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).” (QS.
Al-Baqarah: 255).
Dengan kata lain Tauhid Uluhiyah ialah percaya sepenuhnya, bahwa
Allah-lah yang berhak menerima semua peribadatan makhluk, dan hanya Allah
sajalah yang sebenarnya dan yang harus disembah.
Allah SWT berfirman:
“ Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Baqarah: 163).
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang
tidak ada Tuhan selain Dia.” (QS. Thaaha: 98).
“Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu, dan Kami
hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al-Ankabut: 46).
Singkatnya, keyakinan tentang Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya, baik
zat-Nya, maupun sifat dan perbuatan-Nya itulah yang disebut Tauhid Uluhiyah.
Uluhiyah kata nisbat dari Al-Illah. (اُلُوْلُهِيَّةُ) (الاله – الاله)
Al-Illah berarti: Tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan Uluhiyah
berarti: Mengakui dan meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Satu atau Esa dalam sifatnya berarti:
1. Satu persatunya sifat Allah
itu hanya satu, tidak terdiri dari bagian-bagian. Misalnya sifat Kudrat itu
satu dan tidak terbagi-bagi, sifat ilmu satu dan tidak terbagi-bagi. Begitu
juga lain-lain sifat. Berbeda dengan sifat manusia, misalnya kekuatan atau
kekuasaan yang selal terbagi-bagi, sebab kekuatan dan kekuasaan manusia tidak
bisa meliputi segala keadaan, segala suasana dan segala zaman. Ilmu alam, ilmu
ukur….dan sebagainya.
2. Tidak ada yang memiliki
sifat Allah. Kekuatan/kemampuan atau kekuasaan atau kudrat manusia tidak sama
dengan kekuasaan atau Kudrat Allah. Pokoknya, segala perkiraan yang
mempersamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya itu tidak benar.
Allah berfirman:
“Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari
sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. Al-An’am: 100)
Kemudian yang dimaksud dengan Satu atau Esa dalam perbuatan-perbuatan ialah
bahwa alam semesta ini seluruhnya ciptaan Allah. Tidak ada bagian-bagian alam
yang diciptakan oleh selain Allah SWT.[4]
Oleh karena itu, realisasi yang benar dari Tauhid Uluhiyah hanya bisa
terjadi dengan dua dasar:
Pertama : Memberikan semua
bentuk ibadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa adanya sesuatu yang lain.
Kedua : Hendaklah semua
ibadah itu sesuai dengan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya yang
disimpulkan dengan kata “Ikhlas dan Mutaba’ah”.
Dengan begitu, maka Tauhid Uluhiyah merupakan jenis tauhid yang
terpenting dan paling mendasar karena dengan Tauhid Uluhiyah kehidupan
dijalankan dan syariat ditegakkan. Tauhid Uluhiyah merupakan dasar fitrah dan
sejarah manusia, sejak manusia diciptakan Allah menanamkan pada diri manusia
yang memungkinkannya menerima dan mencintai kebenaran, memilih Tauhid atas
Syirik atau Iman atas Kufur.
Allah berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)." (QS. Al-A’raf: 172).
C.
TAUHID UBUDIYAH
Sebagai konsekuensi dari keyakinan kita, bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah SWT (Tauhid Uluhiyah) dan bahwa tidak ada yang mencipta, mengurus dan
mengatur alam semesta ini selain Allah SWT (Tauhid Rububiyah), maka kita pun
harus meyakini bahwa tidak ada yang berhak mendapat pengabadian (ibadah) dari
kita selain Allah SWT. Itulah yang dimaksud dengan Tauhid Ubudiyah. Kata
Ubudiyah berasal dari kata kerja “abada” yang berarti mengabdikan diri
(ibadah), beribadah kepada Allah menyembah kepada-Nya. Penyembahan di sini
bukan bermaksud Allah berhajat disembah hambanya karena Allah tidak ingin
disembah akan tetapi penyembahan di sini merupakan ketaatan, kepatuhan
ketumbuhan antara hamba dengan Tuhannya,, antara makhluk dengan Khaliknya tidak
ubahnya kita atau kepatuhan ketundukannya seorang anak terhadap orang tua.
Seorang karyawan kepada pimpinannya, yang semua kewajibannya dikerjakan dengan
penuh rasa tanggung jawab, hanya saja di dalam ketaatan menjalankan kewajiban
tidak terdapat unsur benci sedikitpun kepadanya. Dengan selalu memelihara dan
menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
Maka dengan demikian, baik yang beribadah langsung kehadirat Allah SWT
seperti sembahyang dan puasa, maupun ibadah sosial melalui amal kebaikan untuk
kesejahteraan masyarakat tempat kita hidup seperti zakat, sedekah, penyantunan
fakir miskin dan lain-lain, semua itu untuk keselamatan dan kebahagiaan kita
sendiri.
وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ
“Dan bertaqwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 181).
Sebaliknya Allah SWT tidak perlu kepada ibadah kita, sebab sebagaimana
yang telah difirmankan, bahwa Allah SWT tidak butuh kepada alam semesta ini,
sehingga walaupun kita bersikap kufur, sama sekali tidak akan mengurangi
keagungan Allah SWT.
Dalam praktek, ibadah itu dilakukan
karena mengingat Allah sebagai Penguasa Tunggal dan Maha pencipta, dan juga
karena didorong oleh keinginan menyatakan syukur itu bukan hanya dengan ucapan
syukur atau terima kasih atau yang lazim dengan ucapan alhamdulillah saja,
tetapi terutama dengan cara mentaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya
atau dengan kata lain harus takwa dan sekaligus menyatakan syukur atas nikmat
dan karunia-Nya.
Ibadah yang semata-mata mengingat
perintah Allah SWT seperti dalam firman-Nya, antara lain:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23).
“Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyat: 56).
“Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan
kamu Maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf: 64).
Ketiga macam tauhid itu satu sama lain saling berkaitan. Artinya, sahnya
Tauhid Uluhiyah tergantung kepada ada dan sahnya Tauhid Rububiyah dan Ubudiyah.
Tauhid Rububiyah sah kalau disertai Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubudiyah.
Ketiga-tiganya tidak bisa dipisah-pisahkan, baik dalam teori (ilmu)
maupun dalam praktek (amal) harus secara terpadu dan merupakan tiga serangkai.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah membaca dan menganalisis makna tauhid, pembagian
tauhid, arti pentingnya mempelajari tauhid, dan kewajiban tauhid, penulis dapat
menarik kesimpulan:
kewajiban
kita layaknya manusia hanya menyembah kepada Allah SWT
saja. Allah swt telah menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa
alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah juga
membantu mereka untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rizki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan imbalan apa pun dari
para makhluk-Nya.
Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara
fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu setan
yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para setan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk
menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah.
Sehingga
dari hal tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa makna tauhid adalah asal yang
terdapat pada fitroh manusia sejak dilahirkan. Aplikasi Tauhid bahwasanya
berilmu dan mengetahui serta mengenal tauhid itu adalah kewajiban yang paling
pokok & utama sebelum mengenal yang lainya serta beramal (karena suatu
amalan itu akan di terima jika tauhidnya benar).
Hukum
mempelajari Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubuditah adalah wajib
‘ain, karena semua manusia diwajibkan atau diperintahkan untuk mengenal Allah
dan mengakui keesaan-Nya. Hubungan antara tiga tauhid ini seperti sebuah segitiga
sama sisi, yang sisi-sisinya saling menopang sisi yang lain, tanpa adanya satu
sisi tauhid tertentu maka tauhid seseorang belum sempurna.
Dasar pengklasifikasian tiga
tauhid ini adalah karena adanya permasalahn ilmu kalam atau produk sejarah, dan
pengklasifikasian ini juga berfungsi untuk mempermudah seseorang dalam memahami
tauhid.
Tauhid
Uluhiyah dan Tauhid Ubudiyah memiliki makna yang identik, tetapi sebenarnya
berbeda, Tauhid Uluhiyah adalah sebuah pengakuan akan keesaan Allah (Iman dan
Islam) sedangkan Tauhid Ubudiyah merupakan konsekuensi dari Tauhid Rububiyah
dan Uluhiyah itu sendiri dalam pengabdian kepada Allah swt melalui praktek
dalam keseharian (Iman, Islam dan Ihsan).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh.
2003. Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Riyadh: Haiatul Iqhatsah Al-Islamiah
Al-Alamiah.
Ahmad, Muhammad. 1997. Tauhid Ilmu
Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zainuddin. 1992. Ilmu Tahid Lengkap.
Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Al-Buraikan, Muhammad Ibrahim bin
Abdullah. 1998. Pengantar Studi Aqidah Islam. Jakarta: Robbani Press.
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin,
2003, Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan, Riyadh: Haiatul Iqhatsah Al-Islamiah
Al-Alamiah.
Muhammad Ahmad, 1997, Tauhid Ilmu
Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zainuddin, 1992, Ilmu Tahid Lengkap,
Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Muhammad Ibrahim bin Abdullah
Al-Buraikan, 1998, Pengantar Studi Aqidah Islam, Jakarta: Robbani Press.
No comments:
Post a Comment