Monday, March 23, 2015

Tauhid Oleh Faisal Efendi

Tauhid 
Oleh Faisal Efendi




BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang

Tauhid adalah mengesakan Allah  dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa sifat. Tauhid sendiri berasal dari Bahasa Arab “ wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”, artinya mengesakan atau menunggalkan dari sekian banyak yang ada. Adapun ilmu tauhid adalah ilmu yang mempelajari mengenai kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-seginya, yang berarti termasuk didalamnya soal wujud-Nya, ke-Esaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Syeh M. Abduh mengatakan bahwa, ilmu tauhid (ilmu kalam) adalah ilmu yang membicarakan wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak  mungkin ada pada-Nya; membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkankepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka (Hanafi, 2003: 2).
Pada dasarnya manusia dari sejak lahir berada dalam fitrahnya yaitu, bertauhid. Namun sesuai perkembangan lingkungan dan orang tuanyalah yang menentukan selanjutnya. Banyak orang yang beriman namun tanpa didasari pengetahuan yang memadai. Mereka beribadah namun ada saja yang masih menyimpang dari ketauhidannya. Apalagi mereka yang berada di penjuru kampung yang masih banyak mempercayai pohon-pohon yang besar, batu-batuan yang besar, dan lain sebagainya.
Berangkat dari uraian diatas kami berupaya untuk menjelaskan mengenai ilmu tauhid dan perangkatnya.








1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.       Apa pengertian tauhid dan ilmu tauhid?
2.       Bagaimana Argumen tentang wujud dan eksistensi Allah?
3.       Bagaimana Mengenal Allah melalui makrokosmos dan mikrokosmos?
4.       Apa pengertian Rubudiyah, Uluhiyah dan Ubudiyah?

1.3         Tujuan Masalah
Secara umum tujuan makalah ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Ilmu Tauhid.
Adapun secara khusus, tujuan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk menjelaskan pengertian tauhid dan ilmu tauhid
2.      Untuk menjelaskan Agumen tentang wujud dan eksistensi Allah
3.      Untuk menjelaskan bagaimana Mengenal Allah melalui makrokosmos dan mikrokosmos
4.      Untuk menjelaskan apa pengertian Rubudiyah, Uluhiyah dan Ubudiyah






















BAB II
PEMBAHASAN

2.1    PENGERTIAN ILMU TAUHID
A.      Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid
Tauhid merupakan masdar/kata benda dari kata yang berasal dari bahasa arab yaitu “wahhada-yuwahhidu-tauhiidan” yang artinya menunggalkan sesuatu atau keesaan. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa. 
Menurut Syeh M, Abduh, ilmu tauhid (ilmu kalam) ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya; membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka. (Hanafi, 2003: 2).
Ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama. Allah SWT berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Q.S. Muhammad: 19)
Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.
Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain.           




v   Penamaan Ilmu Tauhid :
Ilmu Tauhid juga disebut :
1.        Ilmu ‘Aqa’id: ‘Aqdun artinya tali atau pengikat. ‘Aqa’id adalah bentuk jama’ dari ‘Aqdun. Disebut ‘Aqa’id, karena didalamnya mempelajari tentang keimanan yang mengikat hati seseorang dengan Allah, baik meyakini wujud-Nya, ke-Esaan-Nya atau kekuasaan-Nya.
2.        Ilmu Kalam: kalam artinya pembicaraan. Disebut ilmu kalam, karena dalam ilmu ini banyak membutuhkan diskusi, pembahasan, keterangan-keterangan dan hujjah (alasan) yang lebih banyak dari ilmu lain.
3.        Ilmu Ushuluddin: Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Disebut Ilmu Ushuluddin, karena didalamnya membahas prinsip-prinsip ajaran agama, sedang ilmu yang lainnya disebut furu’ad-Din (cabang-cabang agama), yang harus berpijak diatas ushuluddin.
4.        Ilmu Ma’rifat: ma’rifat artinya pengetahuan. Disebut ilmu ma’rifat, karena didalamnya mengandung bimbingan dan arahan kepada kepada umat manusia untuk mengenal khaliqnya. (Zakaria, 2008:1)

v   Sebab-sebab dinamakan ilmu kalam ialah karena:
1.        Persoalan yang terpenting diantara pembicaraan-pembicaran masa-masa pertama Islam ialah Firman Tuhan (Kalam Allah), yaitu Qur’an apakah azali atau non-azali. Karena itu keseluruhan isi Ilmu kalam dinamai dengan salah satu bagian yang terpenting.
2.        Dalam Ilmu Kalam ialah dalil-dalil akal pikiran di mana pengaruhnya tampak jelas pada pembicaraan ulama-ulama kalam, sehingga mereka kelihatan sebagai ahli bicara. Dalil Naqli (Qur’an dan Hadits) baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran
3.        Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat. Untuk dibedakan dengan logika, maka pembuktian-pembuktian tersebut dinamai “Ilmu Kalam”. (Hanafi, 2003: 5)

v   Hakikat Tauhid
Seluruh manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan fitrahnya, yakni bertauhid. Sebagaimana yang di terangkan dalam ayat Q. S. Ar-Rum: 30.
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam; sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan menusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-Rum:30)
Manusia pada dasarnya memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang gaib, sebab itulah ia disebut makhluk religius, yaitu makhluk yang memiliki bawaaan primordial (azali) untuk beragama dan percaya kepada Tuhan. Inilah fitrah manusia yang secara otomatis memiliki potensi bertuhan sejak kelahirannya. Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua oangtua nyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Untaian kata-kata tauhid dalam Islam dinyatakan dalam kalimat “laa ilaaha ilallaah”, Allah sebagai satu-satunya Tuhan.

v   Implikas Tauhid
Tauhid dalam Islam yang diekspresikan dengan kalimat “laa ilaaha ilallah” merupakan titik tolak untuk membebaskan belenggu. Tauhid ini pula yang membebaskan manusia dari belenggu manusia lainnya, dari penyembahan terhadap rasio dan mental, serta dari sikap hidup materialistis.
Tauhid juga membebaskan manusia dari kependetaan dan hiruk pikuk dunia. Jadi, tauhid mengandung pengertian bahwa manusia tidak membutuhkan apa-apa selain Allah, sehingga seseorang yang beriman diberi kemulyaan dan kepuasan sebagai hamba yang bebas dan benar-benar terhormat.
Sudah jelaslah bahwa konsep tauhid “laa ilaaha ilallaah” mempunyai implikasi begitu revolusioner berupa pembebasan. Ia meniadakan otoritas, apapun bentuknya, untuk berhubungan dengan Allah swt. Sehingga manusia terbebas dari perbudakan mental dan penyembahan sesama makhluk. Allah swt., sudah jelas dekat dengan siapapun. Firman Allah swt.
Artinya : “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdosa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (Q.S. al-Baqarah: 186)
Inilah diantara hakikat tauhid “laa ilaaha ilallaah”. Apabila setiap orang mempunyai tauhid yang benar dan memahami tentang dirinya yang bebas dari belenggu apapun selain Allah swt., maka seharusnya ia dapat bekerja dan berkarya lebih baik tanpa gangguan pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang justru menghalangi etos kerja dan karya bagi kehidupan manusia. (Ismail, 2008: 10-23)

2.2     Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid
Tauhid mempunyai beberapa pembahasan diantaranya ada 6 yakni :
1.        Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.
2.        Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.
3.        Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.
4.        Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.
5.        Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).
6.        Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Allah swt berfirman :
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285)

Rasulullah saw. ditanya tentang iman, lalu beliau pun menjawab;    
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
Artinya: “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim)

2.1        ARGUMEN TENTANG WUJUD DAN EKSISTENSI ALLAH
A.           Dalil keberadan tuhan
 
Masalah ketuhanan merupakan salah satu persoalan yang menjadi sorotan dalam
pembahasan-pembahasan kalam. Setiap aliran kalam,baik yang muncul pada preode yang awal maupun kelanjutan, aliran-aliran yang masih berkembang hingga masa ini,dapat di pastikan menaruh perhatian khusus terhadap masalah tersebut. Hal yang penting untuk di kemukakan sebelum melanjukan pembahasan adalah bahwa semua mutakallimin yakin dengan keyakinan sepenuhnya mengenai wujud tuhan yaitu bahwa wujud tuhan ada.
Menurut misbah yaszi, wujud segala sesuatu ”yang mungkin meng-ada” tidak terlepas dari dua kondisi : wujudnya bersifat niscaya, ada dengan dirinya sendiri yang di istilahkan denagan wajib al-wujud, atau tidak bersifat niscaya, namun wujunya tergantung pada yang lain yang di istilahkan dengan mumkin al-wujud.

Dengan kata lain, sesuatu itu wajib al- wujud atau mumkin al wujud. jelas,  jika bersifat mumkin (tidak mungkin), maka sesuatu sama sekali tidak akan terwujud, dan tidak akan dinilai sebagai sesuatu apapun. Dengan demikian, setiap sesuatu adalah entah sebagai wujud niscaya ada (Wajib Al wujud) atau wujud kontingen (Mumkinu Al wujud).

Sesuatu yang wujudnya lemah atau yang bergantung serta bersifat mumkin al wujud, tentu membutuhkan penyebab. bila dikatakan bahwa “setiap sesuatu” membutuhkan penyebab, maka itu bukan bermakna bahwa tuhan juga memerlukannya (penyebab) ,atau bukan bermakna bahwa iman kepada allah , zat tak bersebab, bertentangan dengan hukum kausalitas.
Ibnu sina dalam karyanya mengajukan dalil untuk membuktikan eksistensi sang pencipta bahwa wujud itu bisa wajib atau mumkin. Wujud mumkin (Mumkin Al-Wujud)  mewujud karena beberapa faktor eksternal.

Jika faktor eksternal itu adalah wujud wajib pada dirinya sendiri, maka itulah sumber (Wujud) dan pencipta. Jika faktor eksternal itu wujud mumkin, maka ia pasti akibat atau epek dari sesuatu yang lain ketimbang dirinya sendiri. Jika rangkaian wujud-wujud mumkin meluas secara tak terbatas tanpa mencapai titik awal, suatu titik sumber dan eksistensi wajib tak satupun daari wujud-wujud mumkin dalam rangkaian tak terbatas ini ada karena aktualisasi dari rangkaian ini tergantung pada adanya rangkaian sebelumnya. Dan asumsi seperti ini terus berlanjut secara tak terbatas.

Untuk menjelaskan argumen ibnu Sina, kami akan memberikan ngulistrasi berikut. Anggaplah sebuah batu karang yang besar jatuh menimpa jalan, sehingga menutupinya. Jelaslah,batu karang itu tidak akan bergerak karena dirinya sendiri pejalan pertam yang melewatinya mendapatkan jalan tertutup dan berkata kepada kepada dirinya sendiri :” jika ada orang lain yang menemani niscaya kami bisa memindahkan batu karang tersebut dan membersihkan jalanya.”. seorang pejalan kedua muncul namun mendengar ucapan orang pertama, ia menjawab bahwa, “jika ada orang lain yang menemani maka kami bertiga niscaya bisa memindahkan batu karang tersebut”. Pejalan ketiga sampai ditempat tersebut, seraya berkata bahwa: ”jika ada orang ke empat muncul dan membantu, maka kami bisa menggeser batu karang itu.” Orang ke empat muncul dan menanti kedatangan orang kelima, dan seterusnya sampai tidak terbatas. Apakah batu karang itu akan bergerak dalam keadaan semacam itu?
Tentu saja tidak, batu karang itu akan pindah hanya ketika seseorang datang dan mau           bertindak tanpa menunggu kemunculan orang lain. Dalam situasi seperti itu baik ia sendirian maupun bersama-sama akan bertindak dan memindahkan batu karang itu sehingga jalan pun terbuka lagi.

Demikian pula dalam rangkaian sebab akibat, sepanjang kita tidak sampai pada suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri lepas dari benda-benda apapun, maka tak satu rangkaian pun yang niscaya ada dengan kata lain kita haarus sampai pada wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau wajibul wujud, oleh sebab itu dalam bayangan wujud mutlak inilah segala sesuatu mencapai keberadaanya.

Ibnu Sina berusaha mengemukakan pembuktian kebenaran dengan mengambil salah satu dalil tentang wujud tuhan. Bagi tuhan adalah wajibul wujud, yaituwujud yang tidakbolehtidak,yangeksistensi-Nyasuatukepastian. Masalah ketuhanan itu dalam pandanganya berkaitan dengan filsafat wujud dalam pemikiran metafisika.
Dalam pembuktian metafisik mengenai wujud, Ibnu Sina menjelaskan bahwa setiap wujud yang ada dapat dibagi dua yaitu wujud yang mungkin (Mumkin Al-Wujud), dan wujud yang niscaya (Wajib Al-wujud).
Yang dimaksud mumkinul wujud adalah apa yang ketiadaanya tidak menyebabkan kemusatahilan, karena ia tidak harus ada, dan peluangnya untuk ada sebanding dengan peluangnya untuk tidak ada. Sedangkan yang dimaksud dengan wajibul wujud adalah apa yang jika diduga tidak ada membawa kepada kemustahilan karena ia harus ada.

B.            Pandangan Materialisme Terhadap Tuhan
Para penganut materialism berpen dapat bahwa wujudi tusama dengan materi dan material. Sesuatu itu, dianggap ada bila ia berupa materi dan meliputi tiga dimensi (panjang, lebar dan padat) atau meliputi tipologimateri sehingga ia di sifati dengan kuantitas dan dapat dibagi.
Bahwa materi bersifat Azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan sebaba  apapun, yang di dalam filsafat dinamakan wujud niscaya ada (Wajibul Wujud). Kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan sebab akhir karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga dapat dini bahkan tujuan penciptaan.


C.           Sanggahan Para Filosof Terhadap Pandangan Materialisme
Para ahli filsafat seperti Mulla Sadra, Ibnu Sina dan lain-lainya telah banyak menyanggah pendapat para kaum materialism tentang eksistensi Tuhan.
“Al Adamu Al wujdan haya dullu ‘alaa ‘adamilwujud” (Tidak diketahui bukan berarti tidak ada).
Dengan demikian, paling tidak kita harus menerima asumsi kewujudanya.Tidak berarti bahwa sesuatu yang tidak tampak itu tidak ada. Contoh sederhana adalah Angin, Suara, dan AliranListrik, karena walaupun tidak tampak tetapi angin itu bisarasakan, itulah zat ALLAH swt.



D.           Dalil Qodimnya Allah       
     
a)      Pengertian Sifat Qidam

Qidam untuk sifat Allah menurut ahli kalam adalah “Bahwa Allah Ta’ala tidak ada awal
untuk keberadaannya dan IA tidak didahului dengan ketidak-adaan, adalah Allah ada dan
tidak ada sesuatu pun selain diri-Nya, kemudian ia menciptakan makhluk” (Iqtinash Al-Awaly Min)
Iqtishad Al-Ghazali, oleh DR. Muhammad Rabi’ Jauhari hal. 73).
Adapun Arti Qidam secara harfiyah adalah yang terdahulu, secara ma'any arti Qidam terbagi kepada3 pengertian :
1.    Qidam Idlofi, lamanya sesuatu karena disandarkan kepada yang lain, seperti ayah Qidam kalau disandarkan kepada anak, tetapi kalaudisandarkankepadakakek, ayah tidakQidam.
2.    Qidam Zamani, lamanya sesuatu karena memang sudah lama zamannya tetapi didahului dengan tidak ada, seperti Qidamnya alam semesta.
3.    Qidam Dzati, lamanya sesuatu tidak diawali dengan tidak ada, tidak bersandar kepada adanya yang lain dan tidak terikat zaman, yakni Qidamnya Allah SWT.
Dengan demikian bahwa Allah itu qadim (tiada permulaan wujud-Nya). Adapun dalil naqli dan naqlinya:

b)      Dalil Sifat Qidam
Allah swt berfirman dalam al-quran yang artinya:
 Dialah Tuhan yang awal tiada permulaan dan yang akhir tiada kesudahan. (Al- Hadid:3)
Adapaun Kata Qidam / Qadim dalam Al – Qur’an dan Sunnah Ada empat tempat penyebutan kata Qadim dalam Al – Qur’an yaitu dalam surat (Qs. Yusuf: 95, Yasin: 39, Al – Ahqaf:11, danAsy – Syu’ara:75-76). Lafadh Qadim yang ada pada empat tempat tersebut menunjukkan pada sifat bagi makhluk. (Kekeliruan yang dahulu, sebagai bentuk tanda yang tua, dusta yang lama, dan nenek moyangmu yang dahulu).

Sedang didalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw apabila masuk masjid beliau berdoa: (Artinya): “Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan wajah – Nya yang mulia dan dengan kekuasaannya yang Qadim (terdahulu) dari syaithan yang terkutuk”. (HR. Abu Dawud). lafadh Qadim pada hadits ini menunjukkan pada sifat bagi kekuasaan Allah.

Dalil bagi menunjukkan wujudnya ALLAH SWT ialah dengan baharunya alam ini. Dan baharunya alam ini adalah kerana ia tergabung di antara jirim dan ' aradh Jirim sepertimana yang kita ketahui adalah sesuatu yang mengambil tempat lapang. Dengan yang demikian, jirim itu bersifat baharu. Selain dari itu, 'aradh yang berdiri pada jirim itu, keadaannya sentiasa berubah-ubah, maka 'aradh itu bersifat baharu. Oleh kerana 'aradh berdiri di atas jirim, maka baharunya 'aradh membawa kepada baharunya jirim.

Jadi, kalau jirim dan 'aradh bersifat baharu sedangkan 'aradh dan jirim adalah gabungan yang menjadikan alam, maka dengan sendirinya alam juga baharu. Kalau alam ini baharu, tentulah ada yang membaharukannya. Yang membaharukannya atau yang menjadikannya adalah ALLAH SWT. Dari itu, jelas membuktikan wujudnya ALLAH SWT.
Berikutan dari pengertian kita tentang wujudnya ALLAH SWT itu, maka di sini kita akan memerhatikan pula tentang dalil yang menunjukkan ALLAH SWT bersifat Qidam atau bersifat sedia. arti sedia bagi ALLAH SWT ialah bahawa ALLAH SWT tidak didahului oleh tiada atau dalam artikata yang lain, ALLAH SWT tidak ada permulaan.
Perbahasan yang mudah kita fahami yang dapat kita buat secara ringkas bagi menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat qidam ialah, kalau ALLAH SWT tidak bersifat Qidam atau sedia, maka tentulah akal kita akan berkata yang ALLAH itu baharu. Dan kalaulah ALLAH itu baharu, tentulah ada yang membaharukan-Nya atau yang menjadikan-Nya.



c)      Kata Qodim dan Azali
Ada dua perkataan yang berkaitan dengan Qidam, yaitu Qodim dan Azali, yang pengertian dan hubungannya dengan Qidam para ‘Ulama berpendapat :
a.Perkataan Qodim dipergunakan untuk sesuatu yang ada dan adanya tidak ada permulaan dan tidak terkait zaman, maka yang disebut Qodim adalah Dzat Allah SWT. Dan sifat Ma'ani di Allah SWT. Perkataan Azali, dipergunakan untuk yang tidak ada permulaan, maka yang disebut Azali adalah Allah SWT. Dan semua sifat Allah SWT.

b.Perkataan Qodim, hanya digunakan untuk yang tidak ada permulaan dan tidak membutuhkan kepada yang lain maka perkataan Qodim hanya untuk Dzat Allah SWT, tidak kepada sifatnya, karena sifat membutuhkan kepada Dzat. Perkataan Azali, untuk yang tidak ada permulaan, baik berdiri sendiri atau bersandar kepada yang lain, maka perkataan Azali adalah untuk Dzat Alloh SWT, dan seluruh sifat-sifatNya.

c.Perkataan Qodim dan Azali, sasarannya sama, untuk yang tidak ada permulaan, maka seluruh sifat Allah SWT. Dan Dzat Allah SWT. Bisa disebut Qidam bisa pula disebut Azali.

d).Dalil ‘Aqli Sifat Qidam
Dalil ‘Aqli (logika) yang menunjukan kepada Qidamnya Allah SWT, adalah ; Apabila Allah tidak Qidam, maka pasti adanya Allah didahului dengan tidak ada, sedangkan proses dari tidak ada kepada ada, pasti memerlukan kepada yang mengadakan (pencipta). Andaikan yang menciptakan Allah itu adalah Allah yang kedua, maka Allah yang keduapun pasti tidak Qidam, sebab keberadaannya tentu akan membutuhkan pencipta lagi seperti Allah yang pertama, kalau diperkirakan Allah yang kedua itu adalah Allah yang pertama maka pasti menimbulkan problema Daor, yakni perkara yang pertama menunggu kepada yang kedua dan yang keduapun menunggu yang pertama. Hal seperti ini adalah mustahil wujud (tidak mungkin adanya). Kalau diperkirakan lagi bahwa pencipta Allah yang ketiga, yang ketiga diciptakan oleh yang ke empat dan terus berkelanjutan tanpa ada akhirnya makan akan terjadi proses Tasalsul yakni proses berantai yang tiada ber-kesudahan, hal ini adalah mustahil wujud seperti Daor. Oleh karena proses Daor. Oleh karena proses Daor dan Tasalsul adalah mustahil maka tetaplah bahwa Allah itu Qidam.

Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain. 
  
            Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli wujud-Nya.

Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.

Semoga dengan dalil dalil dan argumen ini kita bisa mengambil kesimpulan dan meyakini bahwasanya allah itu adalah zat yang keberadaan nya adalah tidak membutuhkan kepada yang lain dan Dia berdiri sendiri dengan zatnya .

Firman Allah swt.   :“Katakanlah, ‘kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka akan menjawab, ’Kpunyaan Allah..’ Katakan lah, ’Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang agung ?’ Mereka menjawab, ’Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa ?’ Katakanlah, ’Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka menjawab, ’Kepunyaan Allah.’ Maka dari jalan manakah kamu ditipu ? Sebenarnya kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan lain beserta-Nya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya, dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lainnya.” (Al Mu’minun 84-91)
“(Dan) sekali-kali tidak  ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.” (Shaad 65)
“Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah?” (Ath Thur 43)

E.     Dalil hudust
Dalil `aqli yang menunjuki bahwa Allah itu wujud adalah hudust alam (terjadinya alam), arti hudus adalah adanya alam ini di dahului oleh tiada. Terjadi alam ini menjadi bukti` kepada adanya tuhan karena tidak mungkin alam ini akan terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang  menciptakannya. Hal tersebut dikarenakan sebelum wujud alamini ada dua kemungkinan yang memiliki tingkatan yang sama yaitu wujud alam dan tetap tidak wujud alam ini. Maka bila alamini wujud dengan sendirinya maka telah terjadi penguatan kepada salah satu dari dua kemungkinan yang sama (wujud alam dan tidak wujud alam ini) tanpa ada yang menguatkannya. ini merupakan suatu hal yang mustahil dan tak masukakal. Maka pada saat alam ini telah ada pasti ada satu zat yang menciptakannya. Zat tersebut tak lain adalah tuhan yang maha kuasa yang  bernama Allah. Dari dalil ini kita hanya mengetahui adanya tuhan dan kita belum dapat mengetahui bahwa tuhan yang  maha kuasa itu bernama Allah. Kita dapat mengetahui bahwa tuhan yang maha kuasa itu bernama Allah  melalui perantaraan para nabi – nabi yang telah menjelaskan kepada kita ummat manusia bahwa Zat yang  maha kuasa yang telah menciptakan alam ini bernama Allah. Adapun dalil Naqli yang menjelaskan bahwa  Allah itu wujud adalah firman Allah dalam Al qur-an yang artinya :

“Tidakkah kamu liat bahwa  Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran?”


C.MENGENAL ALLAH MELALUI MAKRO KOSMOS DAN MIKRO KOSMOS

Energi Cahaya Ilahi Yang meliputi langit dan bumi. Energi Kosmik adalah spektrum energi cahaya yang mempunyai gelombang (vibrasi) dimensi tinggi.  Energi Alam Semesta (Cosmos) pada dasarnya terbagi menjadi 3 kelompok :
  1. Energi Mikro Kosmos, adalah energi alam kecil yang berada di dalam diri manusia. Contoh dari energi-energi yang termasuk dalam kelompok ini adalah : Shakti, Kundalini, Cakra, Tenaga Dasar, Tenaga Dalam Hikmah, Tenaga Dalam Inti, Inti Ruh, dll.
  2. Energi Makro Kosmos, adalah energi alam semesta atau alam besar.  Contoh dari energi-energi yang termasuk dalam kelompok ini adalah : Reiki, Ling Chi, Karuna, Seichim, Prana (Choa Kok Sui), Drisana, Neriya, Golden Triangle, Ra-Sheeba, Energi Pusaka, Jin,  Khodam,  Energi Sinar kosmik, Tachyon, dll.
  3. Energi Maha Kosmos, adalah energi Suci dari Alam Ke-Tuhanan. Contoh : Energi Nur Ilahi, Energi Nur Muhammad, Energi Kalam Tuhan, Energi Asma Tuhan, Energi Kultivasi, dll.
Kosmos dan Keberadaannya
Kosmos adalah keteraturan yang ada di semesta. Kosmos, dalam pengertian yang paling umum, adalah suatu sistem yang teratur atau berada dalam harmoni. Berasal dari kata bahasa Yunani κόσμος yang berarti “keteraturan, susunan yang teratur, hiasan”, kosmos merupakan konsep antitesis dari khaos. Ilmu yang mempelajari kosmos disebut dengan kosmologi. Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama.
Sebagaimana yang banyak dipahami oleh kita, bahwa ada Dua Tingkatan kosmos di semesta ini, pertama MIKROKOSMOS, dan kedua MAKROKOSMOS. Namun kami berusaha membuatnya menjadi lebih konprehensif dengan menambahkan unsur yang ketiga (baca : yang utama), yang tak terlihat dan yang paling dahsyat, yang bertanggung jawab penuh atas keberadaan kedua kosmos tersebut, yaitu MAHAKOSMOS.
Disebut sebuah keteraturan adalah karena adanya “keotomatisan” semesta yang berlangsung dalam alam yang luas ini. Siapapun yang gerak-geriknya selaras dengan sistem semesta yang berlangsung, insya Allah otomatis ia menjadi orang sukses. Karena itu, orang-orang sukses adalah orang-orang yang hidupnya teratur.
Sahabat Semesta, kita sebagai individu (Mikrokosmos) harus mengikuti keteraturan yang ada di alam semesta (Makrokosmos). Namun demikian, karena rahasia keteraturan Makrokosmos ini masih sangat banyak yang belum terungkap, maka kita ering kesulitan untuk hidup menselaraskan diri dengan alam semesta. Itu mengapa Allah SWT memberikan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya dengan cara menyuruh hamba-hamba-Nya mengikuti aturan yang telah dibuat-Nya. Itulah keteraturan versi Mahakosmos, sebuah keteraturan yang langsung dipandu oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang beriman.
Jika hari ini kita mengikuti keteraturan Mahakosmos, maka otomatis Mikrokosmos kita sudah selaras dengan keteraturan yang ada di dalam Makrokosmos. Itu sebabnya, sangat wajar, orang-orang yang beriman, yang hidupnya teratur maka ia berhak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan keteraturan yang ada di semesta ini disebut sebagai SUNNATULLAH.
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu. (Q.S. 48 : 23)”
Sahabat Semesta, izinkan saya bertanya, apa pandangan Anda terhadap orang-orang yang hidupnya tidak mau mengikuti aturan yang berlaku di sekitarnya. Contoh, tidak ikut aturan RW, tidak ikut aturan Lurah, tidak ikut aturan dalam bernegara, juga bahkan tidak pernah mengikuti aturan berlalulintas. Kira-kira, apa yang akan terjadi kepada orang-orang yang berlaku demikian? Ya, tentu saja, sebuah kehancuran yang dahsyat, baik bagi dirinya dan juga berdampak kepada orang-orang di sekitarnya.
Itulah orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya belaka, ingin hidup bahagia tapi tidak mengerti arti dari kebahagiaan. Ingin hidup dihormati, tapi tidak mengerti mengapa hadir sebuah penghormatan. Ya, hawa nafsu hanya membawa kehancuran di semesta ini.
Nah, berikutnya, Sahabat Semesta, kalau saja di sebuah negara ada ATURAN MAIN yang berlaku, maka tentu saja di ALAM SEMESTA ini juga ada ATURAN MAIN yang berlaku. Dan barang siapa yang hidupnya teratur sesuai dengan aturan yang ada di ALAM SEMESTA maka kehidupannya akan sukses bahagia, tetapi barang siapa yang tidak mau mengikuti aturan di semesta, maka hidupnya akan hancur binasa dan membinasakan apapun yang ada di semestanya.
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (Q.S. 23 : 71).




Mikrokosmos
Mikrokosmos adalah unsur-unsur mikro yang ada di alam semesta. Sebenarnya batasan besaran mikro itu relatif. Mikro bisa dimulai dari quark, inti atom, elektron, proton, molekul, sel DNA, individu manusia, pohon, gunung, batu, laptop, bumi, planet dan benda-benda lainnya. Semakin mikro maka semakin tak terlihat, dan benda yang tak terlihat ini bisa disebut sebagai Quanta.
Semakin tambah kemikroan kita, maka semakin “hilanglah” kita, lalu menembus alam Maha. Laa haula walaa Quwwata illaa billaah. Inilah alam super mikro (manusia super) yang sebenarnya karena ia merasa tiada memiliki kekuatan selain kekutan dari Allah SWT.
Anda adalah Mikrokosmos di alam semesta ini. Karena alam semesta memiliki prinsip-prinsip aturan main kehidupan, maka agar Anda hidup relatif sukses, Anda harus bisa menyelaraskan diri dengan prinsip-prinsip aturan semesta di Makrokosmos yang sudah pasti selaras dengan aturan di Mahakosmos.
Insya Allah, sinergi yang selaras antar Mikrokosmos yang terjadi di alam semesta ini akan membuat bumi dan alam semesta ini menjadi “awet muda” tidak cepat letih, tidak mudah marah, dan tidak sering sakit-sakitan.
Hari ini kita melihat, selain sudah mulai tua dan sering sakit-sakitan, kini bumi pun sudah mulai mudah emosional, buktinya bencana alam pun akhirnya terjadi di mana-mana. Sebenarnya, dalam bahasa yang sederhana, maka terjadinya Bencana Alam ini adalah karena adanya hubungan yang tidak sinergis antar Mikrokosmos yang ada, termasuk hubungan antara Mikrokosmos dengan Mahakosmos, sehingga mengakibatkan secara otomatis memburuknya hubungan Mikrokosmos dan Makrokosmos, setelah itu menjadi berantakan, lalu hancurlah sebagian dari bumi ini.
Makrokosmos
Nah, gabungan dan sinergisasi individu-individu di level Mikrokosmos inilah yang disebut sebagai Makrokosmos. Jadi Makrokosmos adalah alam yang lebih bersifat “berjamaah” dan “sinergis”, saling ketergantungan, saling mempengaruhi, dan saling terkait erat dengan SUNNATULLAH yang berlaku.
Makrokosmos bekerja dengan taat sesuai “kontrak” yang telah dibuatnya di hadapan Tuhan-Nya. Alam Makro ini bergerak “apa adanya” dan “otomatis”. Jika kita memperlakukannya dengan perlakuan X maka akan berakibat Y dan seterusnya. Memang sudah demikian terprogram tanpa adanya praktek pilih kasih.
Artinya siapa pun yang bekerja dan hidup sesuai dengan keteraturan yang ada di alam Makro (Maaf, walaupun mungkin saja ia tidak ber-Tuhan, atau ia ber-Tuhan tapi tidak beragama), maka kehidupannya akan semakin ringan dan tenang. Dan barang siapa yang “melanggar” aturan yang ada di Makrokosmos maka ia akan celaka di dunia ini.
Contoh, dalam aturan Makrokosmos disebutkan bahwa apapun benda yang memiliki massa, yang dilepas dari ketinggian tertentu maka ia akan terjatuh. Walaupun “benda” tersebut adalah seorang manusia yang rajin pergi ke masjid, tetap saja secara “sunnatullah” dia akan terjatuh ketika ia melompat atau terlepas dari ketinggian gedung lantai sepuluh. Dia tidak akan terbang.
Memang, pada kasus-kasus tertentu atau “Post Majeur”, ada kontrak yang dibuat antara alam semesta ini dengan Allah yang kita tidak mudah memahaminya. Misal, kasus Isro’ dan Mi’raj-nya nabi Muhammad saw. Hal ini sunnatullahnya lebih special. Berlaku hanya untuk orang-orang tertentu, yakni orang-orang yang special di hadapan Allah.
Berikutnya, dalam alam Makrokosmos ini ada dua model Sunnatullah yang bisa kita pahami. Pertama Sunnatullah yang Visible (Nyata/Fisika), dan kedua Sunnatullah yang Invisible (Ghoib/Metafisika). Untuk hidup selaras dengan Sunnatullah yang bersifat VISIBLE/FISIK relatif jauh lebih mudah dibandingkan untuk hidup selaras dengan Sunnatullah yang bersifat INVISIBLE/METAFISIK.
Misalanya, kasus “aturan gravitasi” adalah sebuah hukum Fisika, tetapi untuk kasus seperti “aturan bahwa orang yang bersyukur itu bertambah nikmatnya”, maka perlu pengetahuan aturan yang Metafisik. Dan, percaya atau tidak, ternyata bahwa akses Metafisik yang paling dahsyat adalah kitabullah yang bernama Al-Quran.
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman (yakin dan menurut) kepada yang ghaib (metafisik), yang mendirikan shalat (habluminallah), dan menafkahkan sebahagian rezki (hablumminannas) yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S. 2 : 2-4).
Begitulah alam Makrokosmos, ia bekerja secara Sunnatullah, dan bekerja sesuai dengan instruksi dari Allah SWT. Itu sebabnya, tiada yang tidak Sunnatullah, semuanya adalah Sunnatullah, dan semuanya bisa dipahami dengan Qolbu kita, yakni dengan Akal kita, selama kita dekat dengan Allah SWT. Sahabat Semesta, semua adalah sunnatullah-Nya, maka tiada satupun yang dibuat kebetulan, dan tiada satu pun yang terjadi dalam kehidupan Anda berlabel KEBETULAN.
Jadi, di alam Makrokosmos ini, Allah telah membuat hukum-hukum alam yang tidak pernah berubah karena Allah selalu menepati janji-janji-Nya. Nah, agar kehidupan sang Mikrokosmos itu selamat, maka setiap Mikrokosmos yang ada harus patuh total terhadap aturan-aturan yang terdapat di alam Makrokosmos. Dan aturan-aturan itu bisa disimak secara jelas lewat pedoman-pedoman suci versi Mahakosmos.



D.TAUHID RUBUBIYAH, TAUHID ULUHIYAH DAN TAUHID UBUDIYAH


A.    TAUHID RUBUDIYAH

Rububiyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah SWT, yaitu “Rabb”. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain: al-Murabbi (pemelihara), al-Nashir (penolong), al-Malik (pemilik), al-Muslih (yang memperbaiki), al-Sayyid (tuan), dan al-Wali (wali). Sedangkan menurut istilah tauhid rububiyah berarti “percaya bahwa hanya Allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang dengan takdirnya Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-Nya.[1]
Allah SWT berfirman:
 “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raaf: 54).[2]

Tauhid Rububiyah mencakup dimensi-dimensi keimanan berikut ini:
Pertama : Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Misalnya                               menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, menguasai, dan lain-lain.
Kedua    : Beriman kepada takdir Allah.
Ketiga    : Beriman kepada Zat Allah SWT.[3]
Landasan Tauhid Rububiyah adalah dalil-dalil berikut ini:

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1).

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. At-Thuur: 35).
Runtut pembuktian akal sehat atas ayat ini adalah bahwa ada tiga asumsi yang mungkin dapat diterima secara logis disini, yaitu:
Asumsi pertama : Mereka diciptakan dari ketiadaan. Ini secara mutlak jelas tidak mungkin, karena ketiadaan kontra kewujudan.
Asumsi kedua    : Mereka adalah pencipta-pencipta. Ini tentu mustahil karena mengansumsikan kewujudan sesuatu pada saat ketiadaannya.
Asumsi ketiga    : Ada pencipta selain mereka, yaitu Allah SWT. Asumsi inilah yang harus diterapkan.
            Dalil akal sehat (logika) lainnya adalah “at-Tamanu” (pertentangan) yaitu jika diasumsikan ada dua pencipta, maka ada dua kemungkinan:
Pertama : Derajat mereka sama, jika derajat mereka sama maka ada kemungkinan tindakan salah satu dari keduanya adalah syarat bagi tindakan yang lain. Yakni bila yang satu menginginkan satu benda bergerak, sementara yang lain menginginkan tidak bergerak. Ini tentu mustahil, maka otomatis hal ini gugur.
 Kedua  : Derajat mereka berbeda atau bertingkat, maka yang terkuatlah mengendalikan, hal ini bukti kelemahan dan menyebabkan kerusakan. Asumsi ini jelas salah, alam semesta memiliki keteraturan yang kokoh dan sempurna tanpa cacat, maka benar adanya bahwa Tuhan itu hanya satu yakni Allah SWT.

B.     TAUHID ULUHIYAH

            Kata Uluhiyah diambil dari akar kata Illah yang berarti: Yang disembah dan Yang ditaati. Kata ini digunakan untuk menyebut sembahan yang hak dan yang batil. Untuk sembahan yang hak misalnya dalam firman Allah SWT:
 “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).” (QS. Al-Baqarah: 255).
            Dengan kata lain Tauhid Uluhiyah ialah percaya sepenuhnya, bahwa Allah-lah yang berhak menerima semua peribadatan makhluk, dan hanya Allah sajalah yang sebenarnya dan yang harus disembah.
Allah SWT berfirman:
 “ Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163).
 “Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia.” (QS. Thaaha: 98).
 “Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu, dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al-Ankabut: 46).
          Singkatnya, keyakinan tentang Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya, baik zat-Nya, maupun sifat dan perbuatan-Nya itulah yang disebut Tauhid Uluhiyah. Uluhiyah kata nisbat dari Al-Illah. (اُلُوْلُهِيَّةُ) (الاله – الاله)
          Al-Illah berarti: Tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan Uluhiyah berarti: Mengakui dan meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
            Satu atau Esa dalam sifatnya berarti:
1.  Satu persatunya sifat Allah itu hanya satu, tidak terdiri dari bagian-bagian. Misalnya sifat Kudrat itu satu dan tidak terbagi-bagi, sifat ilmu satu dan tidak terbagi-bagi. Begitu juga lain-lain sifat. Berbeda dengan sifat manusia, misalnya kekuatan atau kekuasaan yang selal terbagi-bagi, sebab kekuatan dan kekuasaan manusia tidak bisa meliputi segala keadaan, segala suasana dan segala zaman. Ilmu alam, ilmu ukur….dan sebagainya.
2.  Tidak ada yang memiliki sifat Allah. Kekuatan/kemampuan atau kekuasaan atau kudrat manusia tidak sama dengan kekuasaan atau Kudrat Allah. Pokoknya, segala perkiraan yang mempersamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya itu tidak benar.
Allah berfirman:
 “Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. Al-An’am: 100)
          Kemudian yang dimaksud dengan Satu atau Esa dalam perbuatan-perbuatan ialah bahwa alam semesta ini seluruhnya ciptaan Allah. Tidak ada bagian-bagian alam yang diciptakan oleh selain Allah SWT.[4]
            Oleh karena itu, realisasi yang benar dari Tauhid Uluhiyah hanya bisa terjadi dengan dua dasar:
Pertama : Memberikan   semua bentuk ibadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa adanya sesuatu yang lain.
Kedua    : Hendaklah semua ibadah itu sesuai dengan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya yang disimpulkan dengan kata “Ikhlas dan Mutaba’ah”.
            Dengan begitu, maka Tauhid Uluhiyah merupakan jenis tauhid yang terpenting dan paling mendasar karena dengan Tauhid Uluhiyah kehidupan dijalankan dan syariat ditegakkan. Tauhid Uluhiyah merupakan dasar fitrah dan sejarah manusia, sejak manusia diciptakan Allah menanamkan pada diri manusia yang memungkinkannya menerima dan mencintai kebenaran, memilih Tauhid atas Syirik atau Iman atas Kufur.
Allah berfirman:
 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. Al-A’raf: 172).

C.     TAUHID UBUDIYAH

            Sebagai konsekuensi dari keyakinan kita, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT (Tauhid Uluhiyah) dan bahwa tidak ada yang mencipta, mengurus dan mengatur alam semesta ini selain Allah SWT (Tauhid Rububiyah), maka kita pun harus meyakini bahwa tidak ada yang berhak mendapat pengabadian (ibadah) dari kita selain Allah SWT. Itulah yang dimaksud dengan Tauhid Ubudiyah. Kata Ubudiyah berasal dari kata kerja “abada” yang berarti mengabdikan diri (ibadah), beribadah kepada Allah menyembah kepada-Nya. Penyembahan di sini bukan bermaksud Allah berhajat disembah hambanya karena Allah tidak ingin disembah akan tetapi penyembahan di sini merupakan ketaatan, kepatuhan ketumbuhan antara hamba dengan Tuhannya,, antara makhluk dengan Khaliknya tidak ubahnya kita atau kepatuhan ketundukannya seorang anak terhadap orang tua. Seorang karyawan kepada pimpinannya, yang semua kewajibannya dikerjakan dengan penuh rasa tanggung jawab, hanya saja di dalam ketaatan menjalankan kewajiban tidak terdapat unsur benci sedikitpun kepadanya. Dengan selalu memelihara dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
            Maka dengan demikian, baik yang beribadah langsung kehadirat Allah SWT seperti sembahyang dan puasa, maupun ibadah sosial melalui amal kebaikan untuk kesejahteraan masyarakat tempat kita hidup seperti zakat, sedekah, penyantunan fakir miskin dan lain-lain, semua itu untuk keselamatan dan kebahagiaan kita sendiri.
وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 181).
            Sebaliknya Allah SWT tidak perlu kepada ibadah kita, sebab sebagaimana yang telah difirmankan, bahwa Allah SWT tidak butuh kepada alam semesta ini, sehingga walaupun kita bersikap kufur, sama sekali tidak akan mengurangi keagungan Allah SWT.
Dalam praktek, ibadah itu dilakukan karena mengingat Allah sebagai Penguasa Tunggal dan Maha pencipta, dan juga karena didorong oleh keinginan menyatakan syukur itu bukan hanya dengan ucapan syukur atau terima kasih atau yang lazim dengan ucapan alhamdulillah saja, tetapi terutama dengan cara mentaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya atau dengan kata lain harus takwa dan sekaligus menyatakan syukur atas nikmat dan karunia-Nya.
Ibadah yang semata-mata mengingat perintah Allah SWT seperti dalam firman-Nya, antara lain:
 “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23).

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyat: 56).
 “Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu Maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf: 64).
            Ketiga macam tauhid itu satu sama lain saling berkaitan. Artinya, sahnya Tauhid Uluhiyah tergantung kepada ada dan sahnya Tauhid Rububiyah dan Ubudiyah. Tauhid Rububiyah sah kalau disertai Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubudiyah.
            Ketiga-tiganya tidak bisa dipisah-pisahkan, baik dalam teori (ilmu) maupun dalam praktek (amal) harus secara terpadu dan merupakan tiga serangkai.









































BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN

Setelah membaca dan menganalisis makna tauhid, pembagian tauhid, arti pentingnya mempelajari tauhid, dan kewajiban tauhid, penulis dapat menarik kesimpulan:
kewajiban kita layaknya manusia hanya menyembah kepada Allah SWT saja. Allah swt telah menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah juga membantu mereka untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rizki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya.
Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu setan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para setan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah.
Sehingga dari hal tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa makna tauhid adalah asal yang terdapat pada fitroh manusia sejak dilahirkan. Aplikasi Tauhid bahwasanya  berilmu dan mengetahui serta mengenal tauhid itu adalah kewajiban yang paling pokok & utama sebelum mengenal yang lainya serta beramal (karena suatu amalan itu akan di terima jika tauhidnya  benar).

Hukum mempelajari Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubuditah adalah wajib ‘ain, karena semua manusia diwajibkan atau diperintahkan untuk mengenal Allah dan mengakui keesaan-Nya. Hubungan antara tiga tauhid ini seperti sebuah segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya saling menopang sisi yang lain, tanpa adanya satu sisi tauhid tertentu maka tauhid seseorang belum sempurna.
 Dasar pengklasifikasian tiga tauhid ini adalah karena adanya permasalahn ilmu kalam atau produk sejarah, dan pengklasifikasian ini juga berfungsi untuk mempermudah seseorang dalam memahami tauhid.
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubudiyah memiliki makna yang identik, tetapi sebenarnya berbeda, Tauhid Uluhiyah adalah sebuah pengakuan akan keesaan Allah (Iman dan Islam) sedangkan Tauhid Ubudiyah merupakan konsekuensi dari Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah itu sendiri dalam pengabdian kepada Allah swt melalui praktek dalam keseharian (Iman, Islam dan Ihsan).















DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Riyadh: Haiatul Iqhatsah Al-Islamiah Al-Alamiah.
Ahmad, Muhammad. 1997. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zainuddin. 1992. Ilmu Tahid Lengkap. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Al-Buraikan, Muhammad Ibrahim bin Abdullah. 1998. Pengantar Studi Aqidah Islam. Jakarta: Robbani Press.
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, 2003, Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan, Riyadh: Haiatul Iqhatsah Al-Islamiah Al-Alamiah.
Muhammad Ahmad, 1997, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zainuddin, 1992, Ilmu Tahid Lengkap, Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Muhammad Ibrahim bin Abdullah Al-Buraikan, 1998, Pengantar Studi Aqidah Islam, Jakarta: Robbani Press.



No comments:

Post a Comment