KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA LAHAN
PASCA TAMBANG TIMAH
PAPER
Oleh :
FAISAL EFENDI
(100705001)
Abstrak
Kegiatan
penambangan timah di darat telah lama berlangsung terutama di Pulau Bangka,
Belitung dan Singkep. Dampak dari operasi penambangan adalah penurunan
sifat-sifat fisik dan kimia tanah, perubahan topografi lahan, hilangnya
vegetasi alami, berkurangnya habitat satwa liar. Lahan pasca tambang timah didominasi
oleh hamparan tailing, overburden, dan kolong. Tailing timah mempunyai
karakterisitik fisika dan kimia tanah serta kondisi iklim mikro yang jelek.
Untuk memanfaatkan kembali lahan pasca tambang timah, terutama lahan tailing
perlu dilakukan reklamasi dan rehabilitasi. Berbagai aplikasi teknologi telah
dan akan dikembangkan untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Sejumlah spesies
tumbuhan spesifik lokal, tanaman eksotik seperti akasia, dan tanaman budidaya
dikembangkan sebagai tanaman untuk revegatasi lahan pasca tambang timah.
Meskipun demikian sampai saat ini belum ada manfaat ekonomis yang secara nyata
dirasakan oleh masyarakat dari reklamasi tersebut.
PENDAHULUAN
Pembangunan memerlukan
sumberdaya alam (SDA), antara lain mineral, batubara dan panas bumi. Indonesia
relatif kaya dengan berbagai SDA yang harus dioptimalkan pemanfaatannya. Salah
satu sumberdaya mineral yang dimiliki Indonesia adalah bijih timah dengan
kandungan stanium (Sn). Menurut Noer (1998), kasiterit (SnO2) adalah mineral
utama pembentuk timah dengan batuan pembawanya adalah granit. Sujitno (2007)
menjelaskan kegunaan timah antara lain untuk bahan pencampur dalam pembuatan
alat-alat musik (seperti gong gamelan, dan lonceng), bahan pembuat kemasan
kaleng, bahan solder, senjata (peluru), fire retardant, bahan pelapis anti
karat, dan kerajinan cindera mata (pewter).
Pertambangan
Timah
Endapan
timah di Indonesia merupakan lanjutan dari salah satu jalur timah terkaya di
dunia yang membujur dari Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga
Indonesia. Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau Karimun,
Kundur, Singkep, Bangka Belitung, Beling, dan daerah Bangkinang serta Kepulauan
Anambas, Natuna dan Karimata (Noer, 1998). Pulau Bangka merupakan pulau
penghasil timah terbesar di Indonesia. Dari luas Pulau Bangka 1.294.050 ha,
sebesar 27,56 % daratan pulau ini merupakan areal Kuasa Penambangan (KP) timah.
PT. Tambang Timah (anak perusahaan PT. Timah Tbk,) menguasai lahan seluas
321.577 ha dan PT. Kobatin seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain
kedua perusahan tersebut, izin kuasa penambangan (KP) timah juga diberikan
kepada perusahaan swasta, Sampai dengan pertengahan tahun 2007, jumlah KP timah
mencapai 101 izin dengan luas pencadangan 320.219 ha, dan yang telah ditambang
6.084 ha (Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2007).
Penambangan
timah lepas pantai dilakukan dengan teknologi kapal keruk (Departemen
Pertambangan dan energi, 1998) sedangkan penambangan timah di darat dilakukan
dengan sistem tambang semprot, tambang dalam dan kapal keruk darat (Sujitno,
2007). Tahapan utama penambangan timah dengan sistem terbuka (open pit)
meliputi pembukaan permukaan lahan dari penutupan vegetasi (land clearing),
pengupasan tanah bagian atas (stripping), penggalian, pembuatan dam, pencucian,
dan pembuangan bahan padat sisa hasil pencucian timah (tailing) (PT. Timah Tbk,
1991).
Kegiatan
operasi tambang berdampak secara nyata terhadap lingkungan hidup. Menurut
Sujitno (2007), dampak kegiatan ini terutama perubahan drastis atas sifat fisik
dan kimia tanah. Setiadi (2006) menambahkan dampak tersebut termasuk gangguan
terhadap vegetasi, hewan dan tanah yang ada, serta ekosistem alami. Dampak
kehilangan vegetasi dan degradasi lahan secara potensial dapat menyebabkan
erosi tanah, kehilangan biodiversitas, berkurangnya habitat hewan liar, dan
degradasi daerah penampung air.
Pertambangan
adalah kegiatan dengan penggunaan lahan yang bersifat sementara, oleh karena
itu lahan pasca tambang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produktif
lain. Untuk memanfaatkan lahan pasca tambang maka harus ada upaya untuk
memulihkan kembali lahan yang telah rusak akibat dari kegiatan penambangan.
Upaya perbaikan lahan bekas tambang dilakukan melalui program reklamasi dan
revegetasi lahan bekas tambang.
Dampak Penambangan Timah
Kegiatan
penambangan di darat berpengaruh terutama pada sifat fisik dan kimia tanah.
Perubahan struktur tanah terjadi akibat penggalian top soil untuk mencapai
lapisan bertimah yang lebih dalam. Pembuatan dam (phok) telah mengubah
topografi dan komposisi tanah permukaan akibat digunakannya tanah overburden
sebagai sarana penimbun. Top soil musnah karena tertimbun tailing atau terendam
genangan air (Sujitno, 2007).
Dampak
penambangan limbah
Lebih
lanjut Sujitno (2007) menjelaskan, pemandangan umum yang dijumpai pada lahan
bekas tambang timah berupa kolong (lahan bekas penambangan yang berbentuk
semacam danau kecil dengan kedalaman mencapai 40 m), timbunan liat hasil galian
(overburden), dan hamparan taling yang berupa rawa atau lahan kering. Latifah
(2004) mengindikasikan bahwa sejalan dengan waktu, timbunan tailing akan
membentuk hamparan tailing yang semakin luas. Kolong yang terbentuk pada proses
penambangan skala besar umumnya tidak memunginkan untuk ditimbun sehingga
menjadi semacam danau buatan.
Sejauh
ini pemanfaatan kolong timah di Pulau Bangka belum optimal. Sebagian besar
hanya dibiarkan, secara ekologis kolong tersebut berfungsi sebagai kolam
retensi dan water catchment area untuk menampung hujan yang mengalir melalui
aliran permukaan. Secara ekonomi, potensi kolong untuk dimanfaatkan sebagai
sumber air baku, budidaya perairan, atau tempat rekreasi air Belum banyak dilakukan,
baik oleh perusahaan penambang maupun pemerintah. Demikian juga pemanfaatan
lahan tailing yang semakin luas sampai saat ini hanya sebatas diâ€hijauâ€kan
dengan tanaman-tanaman serbaguna (multipurpose tree species, MPTS), terutama
akasia.
Reklamasi dan Revegetasi Lahan
Bekas Tambang Timah
Reklamasi
sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak
sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Departemen Kehutanan, 1997).
Ruang
lingkup reklamasi lahan meliputi:
(1) pemulihan lahan bekas tambang untuk
memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan
(2) mempersiapkan lahan bekas tambang
yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran
akhir dari reklamasi tersebut adalah terciptanya lahan bekas tambang yang
kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan
kembali sesuai dengan peruntukannya (Direktorat Jenderal Mineral Batubara Dan
Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006).
Menurut
Sujitno (2007), arah dari upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ditinjau dari
aspek teknis adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah agar stabil dan
tidak rawan erosi. Dari aspek ekonomis dan estetika lahan, kondisi tanah
diperbaiki agar nilai/potensi ekonomisnya dapat dikembalikan sekurang-kurangnya
seperti keadaan semula. Dari aspek ekosistem, upaya pengembalian kondisi
ekosistem ke ekosistem semula. Dalam hal ini revegetasi/reforestisasi adalah
upaya yang dapat dinilai mencakup kepada kepentingan aspek-aspek tersebut.
Reklamasi hampir selalu identik dengan revegetasi.
Revegetasi
adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang ((Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). Menurut
Setiadi (2006), tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas
tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan,
perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap
secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa
liar, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air.
Landasan
hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan. Pada Pasal 30 dari Undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian
pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Penambangan (KP) diwajibkan
mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi
masyarakat sekitarnya. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun
2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 46 ayat (4)
disebutkan bahwa sebelum meninggalkan bekas wilayah KP-nya, baik karena
pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus terlebih dahulu
melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan
dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum.
Pada
Pasal 46 ayat (5) disebutkan bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian
keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang KP sebelum
meninggalkan bekas wilayah KP.
Peraturan
pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan Umum. Pada Pasal
12 ayat (1) reklamasi areal bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai
dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2), reklamasi
dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen. Pada Pasal 13 ayat (1),
Kepala Teknik Tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang, termasuk
daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.
Pemanfaatan Lahan Pasca Tambang
Timah
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk memanfaatkan tailing timah. Penanaman dengan
tanaman hortikultura dan tanaman pangan telah berhasil. Sejumlah area digunakan
untuk pemukiman, sementara areal lain dikonversi menjadi taman rekreasi (Majid
et al, 1994). Sekitar 80 % dari tailing timah merupakan sand dan sisanya slime
dan sandy slime. Slime tailing merupakan hamparan permukaan yang lebih baik
dibandingkan sand tailing untuk pertanian karena drainasenya baik. Sand tailing
sangat tidak subur dan tidak cocok untuk budidaya tanaman.
Hanya
sebagian kecil dari lahan tidak subur tersebut yang dimanfaatkan untuk
peternakan, penanaman sayuran, dan buah (Ang, 1994). Sujitno (2007) melaporkan
sejumlah tanaman sudah pernah dicoba perusahaan maupun masyarakat untuk
memanfaatkan lahan tailing timah di Pulau Bangka, Belitung dan Singkep. Tanaman
tersebut antar lain kelapa, jambu monyet, pisang, ubi, pepaya, kacang tanah,
dan sayuran. Budidaya tanaman tersebut dikombinasikan dengan usaha peternakan
ayam yang merupakan sumber bahan organik bagi lahan ini. Menurut Majid et al.
(1994), produksi pertanian di tailing timah sangat intensif dan membutuhkan
masukan modal yang besar dan tentu saja sulit terjangkau oleh petani umumnya.
Reklamasi
lahan dengan vegetasi
Penggunaan
pohon, terutama spesies pohon multiguna (multipurpose tree species, MPTS)
seperti Acacia mangium, Acacia auriculiformis dan Leucaena diversifolia telah
digunakan untuk silvikultur di lahan bekas tambang di Semenanjung Malaysia
sejak 1987. Luas tailing timah yang harus di reklamasi di negara tersebut
diperkirakan 202.700 ha atau sekitar 1,5% dari total daratan semenanjung
Malaysia ((Awang, 1994).
PT.
Timah Tbk selaku perusahaan pertambangan timah utama di Indonesia mulai
melakukan penelitian secara sistematis dan ilmiah untuk revegetasi lahan pasca
tambang timah pada tahun 1982 bekerjasama dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian. Selanjutnya revegetasi dilakukan dengan
menggunakan tanaman akasia (A. mangium dan A. auriculiformis), gamal dan sengon
(Sujitno, 2007). Revegetasi selama lebih dari 6 tahun dengan A. mangium di
lahan pasca tambang PT. Timah Tbk dikategorikan berhasil (Latifah, 2000).
Sampai dengan April 2001, PT. Timah Tbk. telah mereklamasi sekitar 5.251. ha di
Pulau Bangka dan Belitung (PT. Timah Tbk., 2002).
Sejak
tahun 2001, perusahaan ini untuk sementara menghentikan program reklamasinya
karena lahan-lahan yang telah direklamasi ditambang kembali secara illegal oleh
masyarakat setempat. Program tersebut baru dilaksanakan kembali pada tahun 2007
melalui pencanangan program â€Green Babelâ€.
Sementara
itu, PT. Koba Tin sudah mulai melakukan upaya reklamasi dan revegetasi pada
tahun 1976 dengan melakukan berbagai percobaan. Semenjak tahun 1988-1989,
perusahaan telah mulai kegiatan reklamasi dengan penanaman tanaman pohon
seperti akasia, sengon dan gelam (Setiawan, 2003). Sampai tahun 2002, PT. Koba
Tin telah mereklamasi 3.304 ha lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka Tengah
(PT. Koba Tin, 2003 in Nurtjahya, 2003).
Alternatif Komoditi
Ditinjau
dari aspek konservasi lahan, revegetasi dengan menggunakan jenis MPTS telah
dilakukan berhasil menghijaukan kembali lahan-lahan bekas tambang serta mampu
mencegah erosi. Akan tetapi, sangat disayangkan tanaman yang dikembangkan belum
memberikann manfaat secara ekonomi, baik bagi perusahaan maupun masyarakat
setempat. Oleh sebab itu perlu dikembangkan spesies lain yang bernilai ekonomis
lebih tinggi, seperti tanaman pangan, buah, industri dan tanaman perkebunan.
Gofar
et al. (1999) dan Naning et al (1999) telah melakukan penelitian terhadap
tanaman jagung sedangkan Hanura (2005) terhadap tanaman kedelai. Sementara itu
Santi (2005) meneliti pengembangan tanaman nilam. Sejak tahun 2006, PT. Tambang
Timah (anak perusahaan PT. Timah Tbk.) membuat demplot budidaya jarak pagar
(Jatropha curcas L.) di beberapa lahan bekas tambang, dengan bekerjasama dengan
Universitas Bangka Belitung (PT. Timah Tbk, 2006).
Penelitian-penelitian
serupa untuk komoditi lain perlu terus diintensifkan agar manfaat ekonomis dari
hasil reklamasi dan revegetasi dapat dinikmati oleh masyarakat pasca era
kejayaan timah. Riset terapan yang memfokuskan pada satu komoditi yang dianggap
prospektif untuk memperoleh paket teknologi reklamasi yang paripurna, murah dan
sederhana. Terdapat banyak komoditi yang dapat dikembangkan sebagai alternatif,
terutama tanaman-tanaman buah dan perkebunan. Tanaman buah yang telah banyak
ditanam di pekrangan rumah seperti mangga dan jeruk di beberapa lokasi berhasil
tumuh dan berproduksi dengan baik di tanah bekas tambang.
Selain
pilihan komoditi, pengembangan teknologi reklamasi tambang timah juga perlu
menekankan pada pemanfaatan bahan organik yang tersedia secara lokal, misalnya
limbah padat dan cair pengolahan kelapa sawit, limbah cair pengolahan karet,
kompos yang berasal dari sampah kota, kompos dari sisa-sisa tanaman pada suatu
pembukaan lahan, dan sebagainya. Hal ini perlu dilakukan, karena selain
bahan-bahan tersebut belum dimanfaatkan, juga untuk menekan biaya reklamasi
terutama biaya penambahan bahan organik pada tailing timah yang cukup tinggi.
KESIMPULAN
1. Lahan pasca tambang timah merupakan
lahan marjinal yang mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia serta iklim mikro
yang jelek, sehingga untuk memanfaatkannya kembali diperlukan upaya reklamasi
dan revegetasi lahan.
2. Reklamasi lahan pasca tambang timah
secara hukum wajib dilaksanakan oleh perusahaan tambang timah sebagai wujud
tanggung jawabnya untuk memulihkan kembali lahan yang telah mengalami degradasi
akibat operasional tambang.
3. Kegiatan revegetasi lahan tailing
timah telah dilakukan dengan menggunakan spesies asli setempat (native
species), spesies pohon multiguna (multipurpose tree species), dan tanaman
budidaya.
4. Sejumlah bidang penelitian mempunyai
prospek untuk diteliti lebih lanjut untuk meningkatkan keberhasilan reklamasi,
baik secara teknis, ekologis maupun ekonomis.
No comments:
Post a Comment