Wednesday, March 18, 2015

CONTOH PEMIMPIN OLEH FAISAL EFENDI


NAMA : FAISAL EFENDI

CONTOH PEMIMPIN :

Presiden Soekarno
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika.
Bung Karno adalah Sang Proklamator, seorang orator ulung yg bisa membangkitkan semangat nasionalisme Rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yg sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai keindahan.
Gaya kepemimpinan yg diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yg juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif & inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara barat (Amerika dan Eropa).
Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan Bangsanya.
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik di dlm negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia pasca-kolonial. Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi kemasyarakatan dan visi tentang negara merdeka. Ini khususnya ada dalam dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme kelihatan kokoh secara alamiah dan legal di Dunia

Berikut adalah kelemahan dan kelebihan kepemimpinan presiden soekarno :
Kelemahan
a.       Perekonomian berjalan tidak mulus disebabkan ketidakstabilan politik dalam negeri yang dicerminkan oleh beberapa pemberontakan di sejumlah wilayah.
b.      Kondisi perekonomian Indonesia di orde lama hampir mengalami stagflasi selama 1965 – 1966 dengan PDB hanya 0,5 persen  dan 0,6 persen
c.       Kehancuran ekonomi Indonesia menjelang akhir periode orde lama juga di dorong oleh hiperinflasi yang pada tahun 1966 mencapai 650%.
d.      Sistem perekonomian terpengaruh haluan komunis meskipun indonesia berdasrkan haluan pancasila
Kelebihan
a.       Melakukan kebijakan ekonomi yang di anggap penting dengan mereformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang saat itu masih gulden dan dan pemotongan uang sebesar 50 % atas semua uang yang beredar pada kabinet natsi.
b.      Berani menentang kapitalisme yang di anut perusahaan-perusahaan peninggalan belanda
c.       Menasionalisasi/ mengambil alih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan belanda.






















NAMA : EMAYANA MANURUNG
KELAS        : C
NIM             : 130907201
ILMU ADM.NIAGA/BISNIS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


CONTOH PEMIMPIN
Presiden Soeharto
            Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
            Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
            Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.
            Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
  1. Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
  2. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
  3. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sesuai dengan masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya kepemimpinan Presiden Soeharto di sini diukur dari aspek-aspek: (1) Status kepemimpinan dan kekuasaan; (2) Orientasi pada hubungan; (3) Orientasi pada tugas; (4) Cara mempengaruhi orang lain, dan (5) Kepribadian. Maka hasil analisis menunjukkan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
  • Status kepemimpinan dan kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan sebagai seorang individu atau pribadi. Kecenderungan ini secara jelas terlihat dari frekuensi kemunculan berita yang menunjukkan status Presiden Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik adalah sebagai Kepala Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai  Ketua Dewan Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada  di lokasi pusat kekuasaan, di Jakarta sebagai ibukota negara. Meskipun ia sering  melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di luar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara,  dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding di  Bina Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.
  • Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut “exploitative-authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur, memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada pihak lainnya.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu juga  Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa  jabatan pertama 1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.
  • Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto  sebagai pemimpin yang memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
  • Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive ataucoercive). Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan itu.
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
  • Kepribadian
Menurut penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari Gaya kepemimpinan Soeharto
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan juga kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung kepada gaya kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya kepemimpinan Soeharto yaitu:
  • Keberhasilan yang Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
Walaupun terdapat berbagai kekurangan dari pemerintahan Soeharto tapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Soeharto Indonesia menjadi salah satu negara kaya dan disegani negara lain.
  1. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
  2. Kemajuan sektor migas
  3. Swasembada beras
  4. Sukses transmigrasi
  5. Sukses Program  KB
  6. Sukses memerangi buta huruf
  7. Sukses swasembada pangan
  8. Pengangguran minimum
  9. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
  10. Sukses Gerakan Wajib Belajar
  11. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  12. Sukses keamanan dalam negeri
  13. Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
  14. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
  • Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
  1. Politik
  2. Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
  1. Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
  1. Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigrasi.
  1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah.
  3. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
4.      Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus).






NAMA : RAHMA LINDA SITANGGANG
KELAS        : C
NIM             : 130907173
ILMU ADM.NIAGA/BISNIS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

CONTOH PEMIMPIN

Presiden Megawati Soekarno Putri

            Berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan. Tetapi dalam hal-hal tertentu megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya, misalnya mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM dan pemberlakuan darurat militer di Aceh Nanggroe Darussalam.

            Gaya kepemimpinan megawati yang anti kekerasan itu tepat sekali untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang memanas.
           
            Calon yang satu ini merupakan calon lebih banyak menjual image orang tua beliau, dari pada image dirinya sendiri. Beliau merupakan presidennya “wong cilik”, memang benar “wong cilik” yang sering kami tanya mengenai hal ini banyak yang memilih beliau karena beliau mempunyai perhatian yang tinggi kepada mereka dengan menyediakan bahan pokok murah, namun banyak aset perusahaan negara yang dijual untuk membeli bahan pokok bagi rakyat. Memang orang yang hanya berfikir hidup, akan merasa terbantu sekali dengan model kepemimpinan beliau ini. Namun sebagian orang juga tidak setuju penjualan aset tersebut. kurang dapat memprediksikan gaya pemerintahan beliau, karena semuanya lebih bergantung kepada anggota kabinet daripada sosok beliau sendiri.

            Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang-nimbang sesuatu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi begitu keputusan itu diambil, tidak akan berubah lagi. Gaya kepemimpinan seperti bukanlah suatu ke1emahan. Seperti dikatakan oleh Frans Seda: "Dia punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya."

            Cukup demokratis, tapi pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya.










No comments:

Post a Comment