Oleh : Faisal Efendi
BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya,
memohon ampunan-Nya, serta bertobat kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusannya. Selamat dan sejahtera semoga melimpah kepadanya,
kepada keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya.
Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung
kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, megetahui dan memahami ilmu
tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah SWT, tentang asma-asma-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas semua hamba-Nya. Ilmu tauhid juga
merupakan kunci jalan menuju Allah, serta dasar syariat-Nya. Oleh karena itu
para Rasul bersepakat untuk mendakwahkannya kepada seluruh manusia. Allah
mempersaksikan keesaan pada diri-Nya. Demikian juga para malaikat dan ahli
ilmu. Allah berfirman:
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Imran: 18).
BAB II
TAUHID RUBUBIYAH, TAUHID ULUHIYAH
DAN TAUHID UBUDIYAH
Kata tauhid berasal dari kata
wahhada yuwahhidu tauhîdan, yang berarti menjadikan-Nya satu. Kata tauhid
secara istilah didefenisikan sebagai “mengesakan Allah SWT” Tuhan sembahan dengan
segala nama, sifat dan perbuatan-Nya.
Berdasarkan produk sejarah,
permasalahan-permasalahan dalam ilmu kalam, dan untuk memudahkan dalam
mempelajari dan memahami tentang tauhid, serta secara teoritis tauhid dapat
diklarifikasikan dalam tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Tauhid Rububiyah
Rububiyah adalah kata yang
dinisbatkan kepada salah satu nama Allah SWT, yaitu “Rabb”. Nama ini mempunyai
beberapa arti, antara lain: al-Murabbi (pemelihara), al-Nashir (penolong),
al-Malik (pemilik), al-Muslih (yang memperbaiki), al-Sayyid (tuan), dan al-Wali
(wali). Sedangkan menurut istilah tauhid rububiyah berarti “percaya bahwa hanya
Allah-lah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang dengan
takdirnya Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan
sunnah-sunnah-Nya.[1]
Allah SWT berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raaf: 54).[2]
Tauhid Rububiyah mencakup
dimensi-dimensi keimanan berikut ini:
Pertama
: Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Misalnya
menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, menguasai, dan lain-lain.
Kedua
: Beriman kepada takdir Allah.
Ketiga
: Beriman kepada Zat Allah SWT.[3]
Landasan Tauhid Rububiyah adalah
dalil-dalil berikut ini:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1).
Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS.
At-Thuur: 35).
Runtut pembuktian akal sehat atas
ayat ini adalah bahwa ada tiga asumsi yang mungkin dapat diterima secara logis
disini, yaitu:
Asumsi pertama
: Mereka diciptakan dari ketiadaan. Ini secara mutlak jelas tidak
mungkin, karena ketiadaan kontra kewujudan.
Asumsi kedua
: Mereka adalah pencipta-pencipta. Ini tentu
mustahil karena mengansumsikan kewujudan sesuatu pada saat ketiadaannya.
Asumsi ketiga
: Ada pencipta selain mereka, yaitu Allah SWT.
Asumsi inilah yang harus diterapkan.
Dalil akal sehat (logika) lainnya adalah “at-Tamanu” (pertentangan)
yaitu jika diasumsikan ada dua pencipta, maka ada dua kemungkinan:
Pertama
: Derajat mereka sama, jika derajat mereka sama maka ada kemungkinan
tindakan salah satu dari keduanya adalah syarat bagi tindakan yang lain. Yakni
bila yang satu menginginkan satu benda bergerak, sementara yang lain
menginginkan tidak bergerak. Ini tentu mustahil, maka otomatis hal ini gugur.
Kedua
: Derajat mereka berbeda atau bertingkat, maka yang
terkuatlah mengendalikan, hal ini bukti kelemahan dan menyebabkan kerusakan.
Asumsi ini jelas salah, alam semesta memiliki keteraturan yang kokoh dan
sempurna tanpa cacat, maka benar adanya bahwa Tuhan itu hanya satu yakni Allah
SWT.
Kedua: Tauhid Uluhiyah
Kata Uluhiyah diambil dari akar kata Illah yang berarti: Yang disembah
dan Yang ditaati. Kata ini digunakan untuk menyebut sembahan yang hak dan yang
batil. Untuk sembahan yang hak misalnya dalam firman Allah SWT:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).” (QS.
Al-Baqarah: 255).
Dengan kata lain Tauhid Uluhiyah ialah percaya sepenuhnya, bahwa
Allah-lah yang berhak menerima semua peribadatan makhluk, dan hanya Allah
sajalah yang sebenarnya dan yang harus disembah.
Allah SWT berfirman:
“ Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Baqarah: 163).
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang
tidak ada Tuhan selain Dia.” (QS. Thaaha: 98).
“Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu, dan Kami
hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al-Ankabut: 46).
Singkatnya, keyakinan tentang Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya, baik
zat-Nya, maupun sifat dan perbuatan-Nya itulah yang disebut Tauhid Uluhiyah.
Uluhiyah kata nisbat dari Al-Illah. (اُلُوْلُهِيَّةُ) (الاله – الاله)
Al-Illah berarti: Tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan Uluhiyah
berarti: Mengakui dan meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Satu atau Esa dalam sifatnya berarti:
1. Satu persatunya sifat Allah
itu hanya satu, tidak terdiri dari bagian-bagian. Misalnya sifat Kudrat itu
satu dan tidak terbagi-bagi, sifat ilmu satu dan tidak terbagi-bagi. Begitu
juga lain-lain sifat. Berbeda dengan sifat manusia, misalnya kekuatan atau
kekuasaan yang selal terbagi-bagi, sebab kekuatan dan kekuasaan manusia tidak
bisa meliputi segala keadaan, segala suasana dan segala zaman. Ilmu alam, ilmu
ukur….dan sebagainya.
2. Tidak ada yang memiliki
sifat Allah. Kekuatan/kemampuan atau kekuasaan atau kudrat manusia tidak sama
dengan kekuasaan atau Kudrat Allah. Pokoknya, segala perkiraan yang
mempersamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya itu tidak benar.
Allah berfirman:
“Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari
sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. Al-An’am: 100)
Kemudian yang dimaksud dengan Satu atau Esa dalam perbuatan-perbuatan ialah
bahwa alam semesta ini seluruhnya ciptaan Allah. Tidak ada bagian-bagian alam
yang diciptakan oleh selain Allah SWT.[4]
Oleh karena itu, realisasi yang benar dari Tauhid Uluhiyah hanya bisa
terjadi dengan dua dasar:
Pertama
: Memberikan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah SWT semata
tanpa adanya sesuatu yang lain.
Kedua
: Hendaklah semua ibadah itu sesuai dengan perintah Allah
dan meninggalkan larangan-Nya yang disimpulkan dengan kata “Ikhlas dan
Mutaba’ah”.
Dengan begitu, maka Tauhid Uluhiyah merupakan jenis tauhid yang
terpenting dan paling mendasar karena dengan Tauhid Uluhiyah kehidupan
dijalankan dan syariat ditegakkan. Tauhid Uluhiyah merupakan dasar fitrah dan
sejarah manusia, sejak manusia diciptakan Allah menanamkan pada diri manusia
yang memungkinkannya menerima dan mencintai kebenaran, memilih Tauhid atas
Syirik atau Iman atas Kufur.
Allah berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)." (QS. Al-A’raf: 172).
Ketiga: Tauhid Ubudiyah
Sebagai konsekuensi dari keyakinan kita, bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah SWT (Tauhid Uluhiyah) dan bahwa tidak ada yang mencipta, mengurus dan
mengatur alam semesta ini selain Allah SWT (Tauhid Rububiyah), maka kita pun
harus meyakini bahwa tidak ada yang berhak mendapat pengabadian (ibadah) dari
kita selain Allah SWT. Itulah yang dimaksud dengan Tauhid Ubudiyah. Kata
Ubudiyah berasal dari kata kerja “abada” yang berarti mengabdikan diri
(ibadah), beribadah kepada Allah menyembah kepada-Nya. Penyembahan di sini
bukan bermaksud Allah berhajat disembah hambanya karena Allah tidak ingin
disembah akan tetapi penyembahan di sini merupakan ketaatan, kepatuhan ketumbuhan
antara hamba dengan Tuhannya,, antara makhluk dengan Khaliknya tidak ubahnya
kita atau kepatuhan ketundukannya seorang anak terhadap orang tua. Seorang
karyawan kepada pimpinannya, yang semua kewajibannya dikerjakan dengan penuh
rasa tanggung jawab, hanya saja di dalam ketaatan menjalankan kewajiban tidak
terdapat unsur benci sedikitpun kepadanya. Dengan selalu memelihara dan
menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
Maka dengan demikian, baik yang beribadah langsung kehadirat Allah SWT
seperti sembahyang dan puasa, maupun ibadah sosial melalui amal kebaikan untuk
kesejahteraan masyarakat tempat kita hidup seperti zakat, sedekah, penyantunan
fakir miskin dan lain-lain, semua itu untuk keselamatan dan kebahagiaan kita
sendiri.
وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ
“Dan bertaqwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 181).
Sebaliknya Allah SWT tidak perlu kepada ibadah kita, sebab sebagaimana
yang telah difirmankan, bahwa Allah SWT tidak butuh kepada alam semesta ini,
sehingga walaupun kita bersikap kufur, sama sekali tidak akan mengurangi
keagungan Allah SWT.
Dalam praktek, ibadah itu dilakukan
karena mengingat Allah sebagai Penguasa Tunggal dan Maha pencipta, dan juga
karena didorong oleh keinginan menyatakan syukur itu bukan hanya dengan ucapan
syukur atau terima kasih atau yang lazim dengan ucapan alhamdulillah saja,
tetapi terutama dengan cara mentaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya
atau dengan kata lain harus takwa dan sekaligus menyatakan syukur atas nikmat
dan karunia-Nya.
Ibadah yang semata-mata mengingat
perintah Allah SWT seperti dalam firman-Nya, antara lain:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23).
“Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyat: 56).
“Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan
kamu Maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf: 64).
Ketiga macam tauhid itu satu sama lain saling berkaitan. Artinya, sahnya
Tauhid Uluhiyah tergantung kepada ada dan sahnya Tauhid Rububiyah dan Ubudiyah.
Tauhid Rububiyah sah kalau disertai Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubudiyah.
Ketiga-tiganya tidak bisa dipisah-pisahkan, baik dalam teori (ilmu)
maupun dalam praktek (amal) harus secara terpadu dan merupakan tiga serangkai.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Hukum mempelajari Tauhid Rububiyah,
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubuditah adalah wajib ‘ain, karena semua manusia
diwajibkan atau diperintahkan untuk mengenal Allah dan mengakui keesaan-Nya.
Hubungan antara tiga tauhid ini seperti sebuah segitiga sama sisi, yang
sisi-sisinya saling menopang sisi yang lain, tanpa adanya satu sisi tauhid
tertentu maka tauhid seseorang belum sempurna.
Dasar pengklasifikasian tiga
tauhid ini adalah karena adanya permasalahn ilmu kalam atau produk sejarah, dan
pengklasifikasian ini juga berfungsi untuk mempermudah seseorang dalam memahami
tauhid.
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Ubudiyah
memiliki makna yang identik, tetapi sebenarnya berbeda, Tauhid Uluhiyah adalah
sebuah pengakuan akan keesaan Allah (Iman dan Islam) sedangkan Tauhid Ubudiyah
merupakan konsekuensi dari Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah itu sendiri dalam
pengabdian kepada Allah swt melalui praktek dalam keseharian (Iman, Islam dan
Ihsan).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh.
2003. Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Riyadh: Haiatul Iqhatsah Al-Islamiah
Al-Alamiah.
Ahmad, Muhammad. 1997. Tauhid Ilmu
Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zainuddin. 1992. Ilmu Tahid Lengkap.
Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Al-Buraikan, Muhammad Ibrahim bin
Abdullah. 1998. Pengantar Studi Aqidah Islam. Jakarta: Robbani Press.
[1] Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin,
2003, Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan, Riyadh: Haiatul Iqhatsah Al-Islamiah
Al-Alamiah.
[2] Muhammad Ahmad, 1997, Tauhid
Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
[2]
[3] Zainuddin, 1992, Ilmu Tahid
Lengkap, Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
[4] Muhammad Ibrahim bin Abdullah
Al-Buraikan, 1998, Pengantar Studi Aqidah Islam, Jakarta: Robbani Press.
[4]
No comments:
Post a Comment